PETISI: Presiden Jokowi, Tutup Tambang Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu!


Kampanye

PETISI: Presiden Jokowi, Tutup Tambang Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu!


Oleh JATAM

22 Agustus 2016





T7 2016-10-19__ (1) 4fb

KEMBALIKAN FUNGSI TUMPANG PITU SEBAGAI HUTAN LINDUNG,
STOP TAMBANG EMAS TUMPANG PITU

Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Sebagai sarjana kehutanan tentu anda tahu jika sebuah pulau harus memiliki minimal 30 persen hutan alami demi keseimbangan ekologi dan demi keberlanjutan hidup manusia di pulau tersebut. Hutan diperlukan manusia (khususnya hutan Pulau Jawa) karena fungsi-fungsi yang diemban oleh hutan itu sendiri sebagai rumah terakhir satwa lindung berkembang biak, sebagai kawasan resapan air yang menjamin kesinambungan kebutuhan air penduduk P Jawa maupun kebutuhan pangan (karena pertanian pun membutuhkan keberlanjutan pasokan air).

Sayangnya, dari tahun ke tahun jumlah luasan hutan P. Jawa kian menyusut (jauh di bawah luasan ideal; 30 persen luas pulau). Pada tahun 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas hutan P. Jawa tinggal 11 persen. Sementara pada Agustus tahun 2016, Departemen Hukum Lingkungan – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai penyelenggara “Forum Akademisi untuk Reposisi Tata Kelola Hutan Jawa” memiliki data jika luas hutan P. Jawa tinggal 3 juta hektar (kurang lebih 4,3 persen luasan pulau).

Dengan hutan seluas 4,3 persen dari luasan pulau, hutan P. Jawa harus menyangga kebutuhan pangan, air, dan oksigen kurang lebih 4.600 desa. Dengan luasan yang jauh di bawah angka ideal, menyusutnya hutan P. Jawa ini kian diperparah dengan diizinkannya alihfungsi hutan lindung, khususnya izin penambangan di hutan lindung. Menyusutnya luas hutan P. Jawa yang semestinya disikapi dengan membuat kebijakan konservasi hutan (minimal menjaga hutan yang tersisa agar tak kian menyusut) justru direspon dengan pemberian izin alihfungsi hutan lindung, utamanya izin penambangan di hutan P. Jawa.

Pemberian izin alihfungsi hutan di sebuah pulau yang tak memiliki luasan ideal hutan tentu akan memicu masalah dan bencana ekologis. Apalagi jika alihfungsi tersebut diterapkan di titik-titik P. Jawa yang sebelumnya secara akademis sudah dinyatakan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB).

Masalah dan bencana ekologis yang lahir karena adanya alihfungsi hutan yang sekaligus menjadi titik Kawasan Rawan Bencana (KRB) tersebut hari ini dapat kita lihat di Banyuwangi. Di kabupaten yang berada di ujung timur P. Jawa terdapat Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang sekaligus masuk kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sejarah mencatat, pada tanggal 3 Juni 1994 kawasan Tumpang Pitu dan sekitarnya pernah luluh-lantak diterjang tsunami. Tak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air serta tempat berkembiang-biaknya satwa lindung, Gunung Tumpang Pitu juga memiliki nilai penting bagi masyarakat karena berfungsi sebagai benteng alami dari terjangan tsunami. Sebagai benteng alami dari terjangan tsunami dan daya rusak musim angin barat, tentulah keberadaan Gunung Tumpang Pitu memiliki korelasi dengan aspek keselamatan warga. Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi).

Meskipun Gunung Tumpang Pitu memiliki nilai penting bagi pertanian, pasokan air, dan keselamatan warga, rupanya pemerintah tetap berkeinginan untuk mengalihfungsi Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dan sekaligus mengizinkan penambangan di area tersebut. Pemerintah justru membuat kebijakan yang berbenturan dengan keselamatan warga, padahal Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi).

Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung. Larangan ini rupanya disiasati oleh penguasa dan korporasi dengan melakukan sejumlah langkah untuk menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP). Mengapa status HLGTP perlu diturunkan? Sebab jika Tumpang Pitu statusnya masih hutan lindung, maka rencana penambangan emas di dalamnya akan terganjal dengan larangan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena itu, dengan tujuan memuluskan rencana penambangan emas, maka status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu diturunkan dari hutan lindung menjadi hutan produksi

Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat oleh Dzulkifli Hasan telah tega mengalihfungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Lewat surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 Menteri Kehutanan Dzulkifli Hasan menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi. Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu sebesar 1.942 hektar.

Surat yang ditandatangani Menteri Kehutanan pada tanggal 19 November 2013 itu lahir karena Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas + 9.743, 28 (sembilan ribu tujuh ribu tujuh ratus empat puluh tiga dan dua pulu delapan per seratus hektar) terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap. Usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas tersebut tertuang secara tertulis dalam surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012

Usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas agar Menteri Kehutanan Dzulkifli Hasan mengalihfungsi Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi, selain untuk memuluskan pelaksanaan eksploitasi emas, juga untuk menguatkan surat keputusan Bupati Banyuwangi yang memberikan persetujuan Izin Usaha Pertambang (IUP) kepada PT. Bumi Suksesindo (PT BSI).

Pada tanggal 11 Juli 2012, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menandatangani Surat Keputusan Bupati Nomor 188/555/KEP/429.011/2011 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Bumi Suksesindo.

Untuk informasi lebih lanjut dan menandatangani petisi, dapat klik disini.







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

PETISI: Presiden Jokowi, Tutup Tambang Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu!


Share


Oleh JATAM

22 Agustus 2016



T7 2016-10-19__ (1) 4fb

KEMBALIKAN FUNGSI TUMPANG PITU SEBAGAI HUTAN LINDUNG,
STOP TAMBANG EMAS TUMPANG PITU

Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Sebagai sarjana kehutanan tentu anda tahu jika sebuah pulau harus memiliki minimal 30 persen hutan alami demi keseimbangan ekologi dan demi keberlanjutan hidup manusia di pulau tersebut. Hutan diperlukan manusia (khususnya hutan Pulau Jawa) karena fungsi-fungsi yang diemban oleh hutan itu sendiri sebagai rumah terakhir satwa lindung berkembang biak, sebagai kawasan resapan air yang menjamin kesinambungan kebutuhan air penduduk P Jawa maupun kebutuhan pangan (karena pertanian pun membutuhkan keberlanjutan pasokan air).

Sayangnya, dari tahun ke tahun jumlah luasan hutan P. Jawa kian menyusut (jauh di bawah luasan ideal; 30 persen luas pulau). Pada tahun 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas hutan P. Jawa tinggal 11 persen. Sementara pada Agustus tahun 2016, Departemen Hukum Lingkungan – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai penyelenggara “Forum Akademisi untuk Reposisi Tata Kelola Hutan Jawa” memiliki data jika luas hutan P. Jawa tinggal 3 juta hektar (kurang lebih 4,3 persen luasan pulau).

Dengan hutan seluas 4,3 persen dari luasan pulau, hutan P. Jawa harus menyangga kebutuhan pangan, air, dan oksigen kurang lebih 4.600 desa. Dengan luasan yang jauh di bawah angka ideal, menyusutnya hutan P. Jawa ini kian diperparah dengan diizinkannya alihfungsi hutan lindung, khususnya izin penambangan di hutan lindung. Menyusutnya luas hutan P. Jawa yang semestinya disikapi dengan membuat kebijakan konservasi hutan (minimal menjaga hutan yang tersisa agar tak kian menyusut) justru direspon dengan pemberian izin alihfungsi hutan lindung, utamanya izin penambangan di hutan P. Jawa.

Pemberian izin alihfungsi hutan di sebuah pulau yang tak memiliki luasan ideal hutan tentu akan memicu masalah dan bencana ekologis. Apalagi jika alihfungsi tersebut diterapkan di titik-titik P. Jawa yang sebelumnya secara akademis sudah dinyatakan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB).

Masalah dan bencana ekologis yang lahir karena adanya alihfungsi hutan yang sekaligus menjadi titik Kawasan Rawan Bencana (KRB) tersebut hari ini dapat kita lihat di Banyuwangi. Di kabupaten yang berada di ujung timur P. Jawa terdapat Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang sekaligus masuk kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sejarah mencatat, pada tanggal 3 Juni 1994 kawasan Tumpang Pitu dan sekitarnya pernah luluh-lantak diterjang tsunami. Tak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air serta tempat berkembiang-biaknya satwa lindung, Gunung Tumpang Pitu juga memiliki nilai penting bagi masyarakat karena berfungsi sebagai benteng alami dari terjangan tsunami. Sebagai benteng alami dari terjangan tsunami dan daya rusak musim angin barat, tentulah keberadaan Gunung Tumpang Pitu memiliki korelasi dengan aspek keselamatan warga. Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi).

Meskipun Gunung Tumpang Pitu memiliki nilai penting bagi pertanian, pasokan air, dan keselamatan warga, rupanya pemerintah tetap berkeinginan untuk mengalihfungsi Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dan sekaligus mengizinkan penambangan di area tersebut. Pemerintah justru membuat kebijakan yang berbenturan dengan keselamatan warga, padahal Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi).

Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung. Larangan ini rupanya disiasati oleh penguasa dan korporasi dengan melakukan sejumlah langkah untuk menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP). Mengapa status HLGTP perlu diturunkan? Sebab jika Tumpang Pitu statusnya masih hutan lindung, maka rencana penambangan emas di dalamnya akan terganjal dengan larangan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena itu, dengan tujuan memuluskan rencana penambangan emas, maka status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu diturunkan dari hutan lindung menjadi hutan produksi

Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat oleh Dzulkifli Hasan telah tega mengalihfungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Lewat surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 Menteri Kehutanan Dzulkifli Hasan menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi. Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu sebesar 1.942 hektar.

Surat yang ditandatangani Menteri Kehutanan pada tanggal 19 November 2013 itu lahir karena Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas + 9.743, 28 (sembilan ribu tujuh ribu tujuh ratus empat puluh tiga dan dua pulu delapan per seratus hektar) terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap. Usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas tersebut tertuang secara tertulis dalam surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012

Usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas agar Menteri Kehutanan Dzulkifli Hasan mengalihfungsi Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi, selain untuk memuluskan pelaksanaan eksploitasi emas, juga untuk menguatkan surat keputusan Bupati Banyuwangi yang memberikan persetujuan Izin Usaha Pertambang (IUP) kepada PT. Bumi Suksesindo (PT BSI).

Pada tanggal 11 Juli 2012, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menandatangani Surat Keputusan Bupati Nomor 188/555/KEP/429.011/2011 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Bumi Suksesindo.

Untuk informasi lebih lanjut dan menandatangani petisi, dapat klik disini.



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang