Warga Pulau Jawa: Kami Tak Butuh UU Minerba 2020
Siaran Pers
Warga Pulau Jawa: Kami Tak Butuh UU Minerba 2020
Oleh JATAM
31 Mei 2020
JAKARTA – Masyarakat Pulau Jawa sepakat menolak pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) karena dampak kerusakan lingkungan dan kegiatan ekonomi warga sekitar pertambangan dipercaya akan bertambah buruk. Penolakan ini disampaikan perwakilan warga terdampak di Pulau Jawa pada ‘Sidang Rakyat’ yang digelar hari ini, Minggu, 31 Mei 2020.
Saat ini, kondisi Pulau Jawa mengalami kelebihan suplai listrik sekitar 40%. Dengan demikian, pembangunan PLTU baru yang mendapat karpet merah dari UU Minerba tahun 2020 sebenarnya tidak diperlukan lagi.
Dua mega proyek PLTU yang akan dan sedang dibangun di Pulau Jawa adalah PLTU Indramayu 2 di Jawa Barat dan PLTU Batang, Jawa Tengah, yang masing-masing memiliki total kapasitas sebesar 2×1.000 MW. Nilai investasi tiap proyek tersebut mencapai US$4 miliar.
Domo, Anggota Jaringan Tanpa Asap Indramayu (JATAYU) menolak pembangunan PLTU 2 yang akan dibangun bersebelahan dengan PLTU Indramayu 1 yang berkapasitas 3×330 MW. Ia khawatir polusi dan pencemaran yang ditimbulkan akibat PLTU Indramayu 1 akan bertambah parah. “Terlebih, UU Minerba 2020 berpotensi kian memuluskan pembangunan PLTU Indramayu 2 yang sempat tertunda pada 2018,” tegasnya.
Tindakan pengusaha tambang yang tidak bertanggung jawab atas dampak eksploitasi hasil perut bumi menjadi salah satu alasan kuat warga menolak UU yang disahkan secara diam-diam dan tergesa-gesa tersebut. Seperti diketahui, pada Pasal 1 ayat 28a UU Minerba disebutkan bahwa wilayah hukum pertambangan adalah ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai kesatuan wilayah yakni Kepulauan Indonesia, tanah, perairan, dan landas kontinen.
Artinya, kewenangan diberikan seluas-luasnya bagi pengusaha atas semua komoditas tambang yang terkandung di kawasan pegunungan hingga pesisir. Hal ini membuat warga di kawasan penambangan karst Gunung Guha, Sukabumi, Jawa Barat, ketar-ketir.
Bagaimana tidak? Selama ini, mereka sudah dirugikan atas kerusakan lahan tempat mereka bercocok tanam dan kematian hewan-hewan ternak. Hal ini lantaran sumber air bersih yang digunakan untuk mengairi sawah dan minuman hewan ternak tercemar.
“Dulu kami bisa mengairi sawah dua hingga tiga kali setahun, sekarang sekali saja susah. Wilayah penambangan dan pemukiman warga jaraknya hanya ratusan meter,” ujar Uus Kusnadi, Anggota Forum Warga Terdampak Bangkit Sukabumi.
“Belum lagi, dentuman bahan peledak yang digunakan untuk menambang karst telah membuat beberapa rumah warga retak,” dia berujar.
Tindakan represif yang dilakukan para pengusaha tambang ini juga menjadi sorotan. Banyak perusahaan-perusahaan tambang menyewa centeng, bahkan berkongsi dengan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melanggengkan bisnis sumber energi kotor tersebut.
Situasi tersebut misalnya terjadi di wilayah tambang pasir besi Urut Sewu, Jawa Tengah. PT Mitra Niagatama Cemerlang yang beroperasi di kawasan tersebut ditengarai mendapat beking dari oknum TNI Angkatan Darat (AD) untuk tetap melanjutkan penambangan. Padahal eksploitasi perut bumi yang dilakukan perusahaan tersebut telah berhasil dihentikan warga pada 2012.
Rakyat selalu menjadi pihak yang dirugikan, padahal merekalah yang mengalami dampak buruk akibat kesewenang-wenangan korporasi tambang ini.
Warga yang diwakili oleh Forum Warga Peduli Lingkungan Bogor pernah mengajukan gugatan atas surat izin penambangan yang dikeluarkan Bupati Bogor. Warga memenangkan kasus ini dalam sidang kasasi di Mahkamah Agung (MA) tahun 2017. Namun, putusan MA ternyata tidak diindahkan pemerintah dan pejabat daerah setempat, karena tidak lama berselang, izin baru pun terbit.
Ketika warga meminta penjelasan pada Dinas Penanaman Modal Satu Pintu Bogor, mereka beralasan tidak tahu menahu bahwa gugatan tersebut dimenangkan warga. Perum Perhutani yang memiliki kewenangan atas pengelolaan hutan yang merupakan lokasi penambangan tidak menggubris gerakan warga. Kolusi terstruktur yang terlihat jelas tersebut membuat warga sulit memperoleh hak-hak mereka, yang berakhir dengan kerugian ekonomi, sosial, dan bahkan kesehatan.
“Penggunaan merkuri oleh PT Aneka Tambang telah menyebabkan beberapa warga mengalami cacat mental”
Iqbal
warga Lebak, Banten
“Kawasan penambangan karst Gunung Guha yang telah dieksploitasi membuat kegiatan ekonomi masyarakat kecil terganggu. Kegiatan cocok tanam, peternakan tradisional lenyap”
Uus Kusnadi
Anggota Forum Warga Terdampak Bangkit Sukabumi
“Masyarakat tidak diberikan hak partisipasi ketika izin galian penambangan dikeluarkan. Ada mafia-mafia, preman yang disewa perusahaan. Mereka melakukan intimidasi dengan merusak fasilitas umum di desa kami”
Iwan Kurniawan
Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Kuningan
“Pemerintah tidak menjalankan fungsinya melindungi rakyat. Ketika investor atau perampas tanah datang, pemerintah cenderung hanya memfasilitasi mereka tapi tidak memberikan edukasi ke masyarakat, seperti memberi tahu bagaimana hak-hak mereka dan memberikan informasi yang objektif. Pemerintah seolah-olah hadir menyelesaikan permasalahan, tetapi kenyataannya malah menjerumuskan masyarakat untuk menjual tanahnya. Ibarat memasukkan anak ayam ke kandang macan”
Sunu
warga Urut Sewu, Jawa Tengah
“Revisi UU Minerba ini mengabaikan penghormatan dan perlindungan warga negara karena partisipasi warga diabaikan. Tidak heran jika pengesahan revisi UU Minerba banyak menuai kritik. Dengan disahkannya UU Minerba, menggambarkan sekaligus berpotensi perbuatan represif”
Herlambang Perdana
Dosen Universitas Airlangga Surabaya
Narahubung:
Lini Zurlia: 08111717201
Zainal Arifin (LBH Semarang): 081391282443
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang