Tolak Pesta Elektoral yang Tidak Menjamin Keselamatan Rakyat dan Lingkungan


Siaran Pers

Tolak Pesta Elektoral yang Tidak Menjamin Keselamatan Rakyat dan Lingkungan


Oleh JATAM

02 Juni 2018





Sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu sektor strategis yang rawan dengan praktik korupsi. Pada industri berbasis sumberdaya alam seperti pertambangan, misalnya, potensi korupsi sangat mungkin terjadi di sepanjang rantai proses ekstraksi: mulai dari proses alih fungsi lahan, prosedur dan proses perijinan, pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, penjualan dan ekspor hasil produksi, kepatuhan pembayaran pajak/penerimaan negara, hingga perencanaan dan pengalokasian dana rehabilitasi lingkungan dan pasca-operasi.

Kasus-kasus korupsi yang terjadi selama ini, menunjukkan tambang sebagai mesin penghasil uang kontan bagi politisi dan pelaku bisnis/korporasi. Salah satu momentum yang seringkali dimanfaatkan adalah pesta elektoral seperti Pilkada Serentak, Pileg, maupun Pilpres. Biaya politik yang demikian besar, menjadi celah yang selalu dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk mendapat jaminan keamanan dan keberlangsungan bisnis mereka. Satu pendekatan yang sudah jadi pengetahuan umum adalah menunggangi dan mengendalikan kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik. Maka, investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk kebutuhan politik pilkada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan.

Contoh-contoh nyata korupsi di sektor pertambangan ini bisa kita temukan dalam kasus yang melibatkan Bupati Tanah Laut, Adriansyah, yang menerima suap dari pemegang saham PT Mitra Maju Sukses, Andrew Hidayat pada 2015 lalu. Kasus serupa juga terjadi di Sulawesi Tenggara, dimana Nur Alam selaku Gubernur saat itu, menerima suap persetujuan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi operasi produksi PT. Anugrah Harisma Barakah. Pada 2017 itu juga, Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat praktik suap atas penerbitan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Konawe Utara pada 2007 dan 2014.

Kasus-kasus yang melibatkan para kepala daerah, ini seperti fenomena puncak gunung es korupsi di sektor tambang. Masih terdapat banyak potensi korupsi lainnya dalam setiap rantai proses ekstraksi industri pertambangan. Dalam hal perizinan, misalnya, JATAM mencatat, hingga Januari 2018, masih terdapat 8.710 izin tambang di Indonesia, yang penuh masalah dan pelanggaran, mulai dari tumpang tindih kawasan, masuk kawasan hutan lindung dan konservasi, tidak membayar pajak dan royalty, bahkan tidak memiliki NPWP.

Kompleksitas permasalahan ini diperparah dengan maraknya praktik obral izin tambang di tahun politik. Tercatat 170 SK izin tambang baru yang dikeluarkan sepanjang 2017 dan 2018, mulai dari Jawa Tengah 120 izin, Jawa Barat 34 izin yang terbit hanya dua pekan sebelum penetapan masa calon diumumkan KPU, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Fenomena lainnya adalah maraknya aktifitas penambangan illegal sebelum pesta elektoral digelar, seperti yang terjadi di Kalimantan Timur, dimana terdapat 6 titik tambang illegal yang tidak mendapat sentuhan penegakan hukum.

Selain orbal izin dan pertambangan illegal, izin-izin tambang yang habis masa berlaku juga berpotensi menjadi bancakan para calon kepala daerah, terutama bagi petahana. Mengingat di Indonesia saat ini, terdapat 3.078 izin tambang yang telah habis masa berlaku sejak November 2017, dan sebanyak  1.682 di antaranya berada di daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak.

Obral izin tambang dan pembiaran pelanggaran hukum ini potensial dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan pragmatis politisi dan pelaku bisnis tertentu yang terlibat dalam praktik ijon politik. Pada akhirnya, pesta elektoral yang seyogianya bertujuan untuk membawa kesejahteraan rakyat, justru hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan dan investasi berbasis lahan skala besar tanpa membahas urusan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya.

Suara rakyat tidak lebih dari sekedar alat tukar yang harus ditangguk dengan segala cara. Dari cara yang paling lunak, lewat gincu-gincu pencitraan kandidat, hingga cara yang paling menjijikkan, seperti penyebarluasan fitnah-fitnah keji terhadap lawan politik. Pada hakekatnya, semua cara tersebut seolah menunjukkan satu pandangan dan anggapan bahwa rakyat Indonesia bodoh dan miskin. Mereka mudah dibohongi. Jika pun sulit dibohongi sedikitnya mereka mudah dibeli dengan harga sangat murah.

Atas kondisi inilah JATAM menyerukan kepada segenap elemen bangsa yang peduli untuk menolak pesta elektoral yang tidak menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan, apabila: (1) Tidak ada jaminan perlindungan hukum yang berkeadilan terhadap penggusuran rumah, halaman, kebun dan sawah sebagai sumber dan alat produksi rakyat atas nama pertumbuhan ekonomi nasional, yang akan diwujudkan lewat perluasan perkebunan skala raksasa, tambang-tambang mineral, tambang-tambang batubara, serta penggalian pasir dan batu di wilayah tangkapan air dan badan-badan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan; (2) Tidak ada jaminan langkah-langkah hukum yang berkeadilan untuk pemulihan hak-hak rakyat atas penggusuran dan penyerobotan rumah, halaman, kebun dan sawah serta penghancuran ruang hidup yang sudah terjadi; (3) Tidak ada niat dan kemauan politik dari mereka yang berkontestasi pada Pilada Serentak tahun 2018 serta Pileg dan Pilpres tahun 2019 untuk membongkar dan menuntaskan tunggakan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini telah menjadi beban bagi setiap rezim penguasa untuk dapat menyelenggarakan pelayanan publik dan pengembangan ekonomi-politik yang berkeadilan.

Tiga poin di atas sangat penting guna menunjukkan, bahwa legitimasi tetap berada di tangan rakyat tanpa perantara. Rakyat perlu menunjukkan bahwa kita tidak bodoh dan tidak mudah dibodohi. Rakyat perlu menunjukkan bahwa, meskipun kita miskin secara material karena akses produksi dan konsumsi dikendalikan oleh pelaku pasar bebas, harga diri kita tidak semurah harga beberapa bungkus Sembako.

 

Narahubung:

Merah Johanysah Melky Nahar Kibagus Hadi Kusuma
0813 4788 2228 0813 1978 9181 0857 8198 5822

 







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Tolak Pesta Elektoral yang Tidak Menjamin Keselamatan Rakyat dan Lingkungan


Share


Oleh JATAM

02 Juni 2018



Sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu sektor strategis yang rawan dengan praktik korupsi. Pada industri berbasis sumberdaya alam seperti pertambangan, misalnya, potensi korupsi sangat mungkin terjadi di sepanjang rantai proses ekstraksi: mulai dari proses alih fungsi lahan, prosedur dan proses perijinan, pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, penjualan dan ekspor hasil produksi, kepatuhan pembayaran pajak/penerimaan negara, hingga perencanaan dan pengalokasian dana rehabilitasi lingkungan dan pasca-operasi.

Kasus-kasus korupsi yang terjadi selama ini, menunjukkan tambang sebagai mesin penghasil uang kontan bagi politisi dan pelaku bisnis/korporasi. Salah satu momentum yang seringkali dimanfaatkan adalah pesta elektoral seperti Pilkada Serentak, Pileg, maupun Pilpres. Biaya politik yang demikian besar, menjadi celah yang selalu dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk mendapat jaminan keamanan dan keberlangsungan bisnis mereka. Satu pendekatan yang sudah jadi pengetahuan umum adalah menunggangi dan mengendalikan kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik. Maka, investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk kebutuhan politik pilkada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan.

Contoh-contoh nyata korupsi di sektor pertambangan ini bisa kita temukan dalam kasus yang melibatkan Bupati Tanah Laut, Adriansyah, yang menerima suap dari pemegang saham PT Mitra Maju Sukses, Andrew Hidayat pada 2015 lalu. Kasus serupa juga terjadi di Sulawesi Tenggara, dimana Nur Alam selaku Gubernur saat itu, menerima suap persetujuan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi operasi produksi PT. Anugrah Harisma Barakah. Pada 2017 itu juga, Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat praktik suap atas penerbitan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Konawe Utara pada 2007 dan 2014.

Kasus-kasus yang melibatkan para kepala daerah, ini seperti fenomena puncak gunung es korupsi di sektor tambang. Masih terdapat banyak potensi korupsi lainnya dalam setiap rantai proses ekstraksi industri pertambangan. Dalam hal perizinan, misalnya, JATAM mencatat, hingga Januari 2018, masih terdapat 8.710 izin tambang di Indonesia, yang penuh masalah dan pelanggaran, mulai dari tumpang tindih kawasan, masuk kawasan hutan lindung dan konservasi, tidak membayar pajak dan royalty, bahkan tidak memiliki NPWP.

Kompleksitas permasalahan ini diperparah dengan maraknya praktik obral izin tambang di tahun politik. Tercatat 170 SK izin tambang baru yang dikeluarkan sepanjang 2017 dan 2018, mulai dari Jawa Tengah 120 izin, Jawa Barat 34 izin yang terbit hanya dua pekan sebelum penetapan masa calon diumumkan KPU, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Fenomena lainnya adalah maraknya aktifitas penambangan illegal sebelum pesta elektoral digelar, seperti yang terjadi di Kalimantan Timur, dimana terdapat 6 titik tambang illegal yang tidak mendapat sentuhan penegakan hukum.

Selain orbal izin dan pertambangan illegal, izin-izin tambang yang habis masa berlaku juga berpotensi menjadi bancakan para calon kepala daerah, terutama bagi petahana. Mengingat di Indonesia saat ini, terdapat 3.078 izin tambang yang telah habis masa berlaku sejak November 2017, dan sebanyak  1.682 di antaranya berada di daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak.

Obral izin tambang dan pembiaran pelanggaran hukum ini potensial dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan pragmatis politisi dan pelaku bisnis tertentu yang terlibat dalam praktik ijon politik. Pada akhirnya, pesta elektoral yang seyogianya bertujuan untuk membawa kesejahteraan rakyat, justru hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan dan investasi berbasis lahan skala besar tanpa membahas urusan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya.

Suara rakyat tidak lebih dari sekedar alat tukar yang harus ditangguk dengan segala cara. Dari cara yang paling lunak, lewat gincu-gincu pencitraan kandidat, hingga cara yang paling menjijikkan, seperti penyebarluasan fitnah-fitnah keji terhadap lawan politik. Pada hakekatnya, semua cara tersebut seolah menunjukkan satu pandangan dan anggapan bahwa rakyat Indonesia bodoh dan miskin. Mereka mudah dibohongi. Jika pun sulit dibohongi sedikitnya mereka mudah dibeli dengan harga sangat murah.

Atas kondisi inilah JATAM menyerukan kepada segenap elemen bangsa yang peduli untuk menolak pesta elektoral yang tidak menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan, apabila: (1) Tidak ada jaminan perlindungan hukum yang berkeadilan terhadap penggusuran rumah, halaman, kebun dan sawah sebagai sumber dan alat produksi rakyat atas nama pertumbuhan ekonomi nasional, yang akan diwujudkan lewat perluasan perkebunan skala raksasa, tambang-tambang mineral, tambang-tambang batubara, serta penggalian pasir dan batu di wilayah tangkapan air dan badan-badan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan; (2) Tidak ada jaminan langkah-langkah hukum yang berkeadilan untuk pemulihan hak-hak rakyat atas penggusuran dan penyerobotan rumah, halaman, kebun dan sawah serta penghancuran ruang hidup yang sudah terjadi; (3) Tidak ada niat dan kemauan politik dari mereka yang berkontestasi pada Pilada Serentak tahun 2018 serta Pileg dan Pilpres tahun 2019 untuk membongkar dan menuntaskan tunggakan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini telah menjadi beban bagi setiap rezim penguasa untuk dapat menyelenggarakan pelayanan publik dan pengembangan ekonomi-politik yang berkeadilan.

Tiga poin di atas sangat penting guna menunjukkan, bahwa legitimasi tetap berada di tangan rakyat tanpa perantara. Rakyat perlu menunjukkan bahwa kita tidak bodoh dan tidak mudah dibodohi. Rakyat perlu menunjukkan bahwa, meskipun kita miskin secara material karena akses produksi dan konsumsi dikendalikan oleh pelaku pasar bebas, harga diri kita tidak semurah harga beberapa bungkus Sembako.

 

Narahubung:

Merah Johanysah Melky Nahar Kibagus Hadi Kusuma
0813 4788 2228 0813 1978 9181 0857 8198 5822

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang