Tegakan Hukum, Lakukan Moratorium Operasi Tambang Freeport
Siaran Pers
Tegakan Hukum, Lakukan Moratorium Operasi Tambang Freeport
Oleh JATAM
11 Agustus 2016
JATAM: Fasilitas perpanjangan Izin Ekspor, kado hari Kemerdekaan yang indah bagi Freeport, terburuk bagi Papua dan Indonesia.
Jakarta (11/8). Tindakan Pemerintah kembali memperpanjang izin ekspor konsentrat Freeport hingga 11 Januari 2017 adalah pelanggaran Hukum. Perpanjangan izin ekspor untuk Freeport ini adalah yang kelima-kalinya sejak kewajiban pemurnian di dalam Negeri diberlakukan 2014. Sesuai ketentuan UU 4/2009 pasal 170, pemegang KK yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam Negeri selambat-labatnya lima tahun sejak UU 4/2009 diberlakukan.
Dengan memberikan izin ekspor pada Freeport, Pemerintah telah memfasilitasi pelanggaran hukum dan merendahkan dirinya menjadi “Departemen Produksi dan Pemasaran” bagi Freeport. Perpanjangan Izin ekspor menjadi modus untuk meningkatkan produksi dan penjualan demi meningkatkan keuntungan Freeport.
Pada perpanjangan izin ekspor ke 3, Freeport meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 775.000 ton dari hanya 580.000 ton sebelumnya. Begitu juga saat pemerintah memberikan kembali izin ekspor yang ke 4, Freeport kembali memanfaatkan fasilitas perpanjangan izin ini untuk kembali meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 1,03 juta ton.
Kali ini, saat Pemerintah memberikan kembali perpanjangan izin ekspor untuk yang 5 kalinya, mulai 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2016, Freeport kembali memanfaatkannya untuk untuk meningkatkan produksi hingga 1,4 juta ton.
Totalnya, melalui fasilitas perpanjangan izin ekspor yang diperoleh sejak 2014, Freeport telah mengekspor 4,55 juta ton konsentrat atas “jasa” kementerian ESDM yang bersama-sama melanggar UU Minerba No. 4 Tahun 2009. Dari 4,55 juta ton konsentrat ini, menyumbang keuntungan bagi Freeport yang memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz ( Troy Ons) emas dalam kurun waktu dua tahun ini.
Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Angka tersebut senilai dua kali APBN Indonesia.
Presiden dan Menteri ESDM Melalui PP 1/2014, telah mengundurkan kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam Negeri hingga 11 Januari 2017. Ketentuan ini berlaku bagi pemegang KK yang telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam Negeri.
Freeport adalah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan Negara bisa dinegosiasikan oleh korporasi. Dalam Peraturan Menteri ESDM 11/2014 pasal 13, perpanjangan ekspor diberikan apabila pembangunan Smelter mencapai 60%. Faktanya, hingga April 2016, kemajuan pembangunan smelter Freeport di Gresik hanya 30%, namun perpanjangan izin ekspor Freeport tetap diberikan hingga lima kali.
Sebelumnya, saat berakhirnya perpanjangan izin ekspor yang ketiga (25 Januari 2016), Pemerintah menyatakan tidak akan memperpanjang izin ekspor sebelum Freeport membayar dana jaminan pembangunan smelter sebesar USD 530 juta.
Namun ketentuan ini kembali bisa dinegosiasikan oleh Freeport. Tanpa membayar sepeserpun dana jaminan smelter, Freeport akhirnya mendapatkan perpanjangan izin ekspor.
Dengan alasan menyelamatkan Pendapatan Negara, Pemerintah selalu memberi “kenyamanan” bagi Freeport untuk terus mengeruk emas Papua.
Pada tahun 2014, Freeport menyetor pajak dan royalty sebesar Rp 5,6 triliun. Di tahun yang sama, Pendapatan Negara dalam APBN sebesar Rp 1.667,1 triliun. Artinya, besaran pajak dan royalti yang disetorkan Freeport tidak sampai 0,4% dari pendapatan Negara.
Pemerintah dalam hal ini jelas hanya melihat berapa rupiah yang akan masuk dalam kas Negara. Pemerintah telah mengabaikan fakta yang terjadi. Sederet kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang selama ini terjadi setengah abad Freeport bercokol di Papua.
Kehadiran Freeport telah mendorong eskalasi kekerasan terhadap orang asli Papua, penggusuran kampung dan penangkapan sewenang-wenang. Dengan statusnya sebagai Obyek Vital Nasional, Freeport mendapat keistimewaan untuk mendapatkan perlindungan aparat keamanan Negara. Freeport terbukti memberikan setoran kepada aparat keamanan sebesar Rp 5,6 triliun untuk mengamankan operasi Freeport.
Bahkan Komnas HAM merekomendasikan Freeport telah melakukan pelanggaran HAM berat dalam kasus meninggalnya 28 pekerja yang terjebak longsor pada 14 Mei 2013.
Setidaknya lebih dari 1,6 miliar ton tailing telah digelontorkan di Sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa. Bahkan saat ini Freeport sedang memperpanjang dan memperluas tanggul barat dan timur, sungai Minajerwi dan Tipuka adalah calon sungai yang terancam pencemaran Tailing Freeport saat ini.
Pemerintah hingga saat ini tidak pernah melakukan evaluasi atas pencemaran dan perusakan lingkungan yang telah dilakukan Freeport. Seharusnya ini penjadi poin penting bagi Pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan perpanjangan Izin operasi Freeport yang akan dimulai pada 2019.
Pemerintah seharusnya bersikap tegas dan tidak lagi tunduk pada korporasi. Permasalahan Freeport tidak bisa hanya dilihat dari sisi investasi, namun juga harus mempertimbangkan pelanggaran HAM, pencemaran dan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi.
Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Freeport, dengan melibatkan berbagai pihak secara terbuka dan independen. Serta harus bisa menekan Freeport untuk melakukan rehabilitasi dan reklamasi bekas tambangnya.
Pemerintah harus melakukan Moratorium Operasi Freeport, menghentikan seluruh aktifitasnya selama evaluasi tersebut dilaksanakan. DPR harus memanggil Pemerintah dan Menteri ESDM untuk dimintai Pertanggungjawaban atas 5 kali pelanggaran UU Minerba No 4 Tahun 2009, melalui modus perpanjangan izin ekspor Freeport. Jika DPR dan pemerintah diam maka ini adalah kado kemerdekaan terburuk bagi warga Papua dan Indonesia. Sebaliknya kado yang indah bagi Freeport dan Investasi Amerika Serikat.
Kontak:
Ki Bagus Hadi Kusuma (Pengkampanye JATAM) 085781985822
Merah Johansyah Ismail (Koordinator Nasional JATAM) 081347882228
jatam@jatam.org / www.jatam.org
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang