Tebang Pilih Penegakan Hukum Sektor Pertambangan


Siaran Pers

Tebang Pilih Penegakan Hukum Sektor Pertambangan


Oleh JATAM

02 September 2022





Keras Terhadap Rakyat Demi Melayani Korporasi

Jakarta, 02 September 2022


 

Kementerian ESDM mengungkapkan, ada 2.700 tambang ilegal di Indonesia, akhir Juli lalu. Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi adalah pertambangan batubara. Pemerintah menilai, maraknya tambang ilegal ini berdampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Berbagai upaya penegakan hukum gencar dilakukan pemerintah, utamanya, institusi Polri. Meski perlu didukung, namun dasar penegakan hukum yang melulu berkutat urusan administratif ini sarat bias kepentingan.

Lebih jauh dari urusan ketidaklengkapan administrasi, ada tindak kejahatan korporasi (perusahaan legal) atas lingkungan dan kemanusiaan yang musti mendapat perhatian serius.

Contoh bias kepentingan ini, tercermin dari banyak kasus tambang di Indonesia, antara lain: di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, Pasar Seluma, Bengkulu, Buli dan Maba di Halmahera Timur, dan Sagea dan Kiya di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Di Pulau Sangihe, misalnya, operasi tambang emas ilegal yang menggunakan alat berat di Tanah Merah, Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah tampak dibiarkan, tanpa penegakan hukum. Polisi justru sibuk mengkawal mobilisasi alat berat PT Tambang Mas Sangihe yang, secara hukum sudah ilegal pasca Izin Lingkungan dibatalkan PTUN Manado. Bahkan, sebanyak 15 warga penolak tambang PT TMS justru dikriminalisasi. Satu di antaranya atas nama Robison Saul yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Kepulauan Sangihe.

Hal serupa juga terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP/Harita Group) yang telah enam kali menerobos lahan milik warga di Desa Sukarela Jaya dibiarkan tanpa penegakan hukum. Lahan-lahan yang diterobos itu tidak pernah diserahkan warga kepada PT GKP, juga tidak menjadi bagian dari konsesi tambang perusahaan. Parahnya, warga penolak tambang yang mempertahankan tanahnya justru diintimidasi, 30 orang dikriminalisasi.

Demikian juga di Desa Pasar Seluma, Bengkulu. Keberadaan PT Faminglevto Bakti Abadi yang ilegal, akibat secara administratif belum terpenuhi, juga tak pernah diproses hukum. Sebaliknya, warga yang menentang operasi perusahaan itu justru diintimidasi, delapan orang warga yang melakukan aksi bahkan sempat ditangkap oleh polisi.

Sementara di Buli dan Maba, Halmahera Timur, operasi PT ANTAM yang menyebabkan pencemaran kawasan pesisir dan laut dan berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan tak pernah diproses hukum. Hal yang sama juga di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, operasi PT First Pacific Mining dan PT Zhong Hai Rare Metals Mining mencemari Talaga Sagea atau Danau Legaelol. Kini, pemerintah justru memberikan karpet merah bagi perusahaan ini untuk membangun smelter nikel dan menambang di kawasan karst dan hutan Sagea yang kaya akan sumber mata air dan keanekaragaman hayati serta satwa endemik.

Kuat kesan pemerintah dan polisi cepat memproses tuntutan dari perusahaan besar yang aktivitasnya merusak ruang hidup warga dan lambat memproses tuntutan warga yang mempertahankan ruang hidup mereka.

Bersihkan Institusi Penegak Hukum

Selain terjadi bias kepentingan dalam penegakan hukum terhadap penambang ilegal dan korporasi (legal), pemerintah dan institusi Polri juga mesti membersihkan tubuhnya sendiri dari praktik mafia pertambangan. Di tubuh Polri sendiri, selain cenderung berpihak kepada korporasi dalam menekan resistensi warga, dugaan aparat kepolisian bermain di balik maraknya tambang ilegal juga santer terdengar.

Sebagian contoh ihwal keterlibatan aparat kepolisian dalam sektor pertambangan itu, bisa terlihat dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara, atau anggota polisi yang diduga berada di balik penambangan pasir timah di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka, serta kasus anggota polisi yang diduga bermain tambang ilegal di Sungai Walanae, Kebo, Lilirilau, Soppeng, Sulsel.

Sudah menjadi rahasia umum, aparat keamanan juga banyak terlibat di tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Dengan demikian, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan institusi Polri itu sudah seharusnya menyasar akar persoalan, yakni kejahatan korporasi tambang legal dan ilegal, berikut sanksi yang diberikan tidak sebatas pada aspek administratif, tetapi pidana kejahatan lingkungan.

Narahubung:

  1. Muh Jamil – Pengacara Publik JATAM – +62 821-5647-0477
  2. Ki Bagus Hadi Kusuma – Kepala Kampanye JATAM – +62 857-8198-5822






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Tebang Pilih Penegakan Hukum Sektor Pertambangan


Share


Oleh JATAM

02 September 2022



Keras Terhadap Rakyat Demi Melayani Korporasi

Jakarta, 02 September 2022


 

Kementerian ESDM mengungkapkan, ada 2.700 tambang ilegal di Indonesia, akhir Juli lalu. Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi adalah pertambangan batubara. Pemerintah menilai, maraknya tambang ilegal ini berdampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Berbagai upaya penegakan hukum gencar dilakukan pemerintah, utamanya, institusi Polri. Meski perlu didukung, namun dasar penegakan hukum yang melulu berkutat urusan administratif ini sarat bias kepentingan.

Lebih jauh dari urusan ketidaklengkapan administrasi, ada tindak kejahatan korporasi (perusahaan legal) atas lingkungan dan kemanusiaan yang musti mendapat perhatian serius.

Contoh bias kepentingan ini, tercermin dari banyak kasus tambang di Indonesia, antara lain: di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, Pasar Seluma, Bengkulu, Buli dan Maba di Halmahera Timur, dan Sagea dan Kiya di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Di Pulau Sangihe, misalnya, operasi tambang emas ilegal yang menggunakan alat berat di Tanah Merah, Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah tampak dibiarkan, tanpa penegakan hukum. Polisi justru sibuk mengkawal mobilisasi alat berat PT Tambang Mas Sangihe yang, secara hukum sudah ilegal pasca Izin Lingkungan dibatalkan PTUN Manado. Bahkan, sebanyak 15 warga penolak tambang PT TMS justru dikriminalisasi. Satu di antaranya atas nama Robison Saul yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Kepulauan Sangihe.

Hal serupa juga terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP/Harita Group) yang telah enam kali menerobos lahan milik warga di Desa Sukarela Jaya dibiarkan tanpa penegakan hukum. Lahan-lahan yang diterobos itu tidak pernah diserahkan warga kepada PT GKP, juga tidak menjadi bagian dari konsesi tambang perusahaan. Parahnya, warga penolak tambang yang mempertahankan tanahnya justru diintimidasi, 30 orang dikriminalisasi.

Demikian juga di Desa Pasar Seluma, Bengkulu. Keberadaan PT Faminglevto Bakti Abadi yang ilegal, akibat secara administratif belum terpenuhi, juga tak pernah diproses hukum. Sebaliknya, warga yang menentang operasi perusahaan itu justru diintimidasi, delapan orang warga yang melakukan aksi bahkan sempat ditangkap oleh polisi.

Sementara di Buli dan Maba, Halmahera Timur, operasi PT ANTAM yang menyebabkan pencemaran kawasan pesisir dan laut dan berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan tak pernah diproses hukum. Hal yang sama juga di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, operasi PT First Pacific Mining dan PT Zhong Hai Rare Metals Mining mencemari Talaga Sagea atau Danau Legaelol. Kini, pemerintah justru memberikan karpet merah bagi perusahaan ini untuk membangun smelter nikel dan menambang di kawasan karst dan hutan Sagea yang kaya akan sumber mata air dan keanekaragaman hayati serta satwa endemik.

Kuat kesan pemerintah dan polisi cepat memproses tuntutan dari perusahaan besar yang aktivitasnya merusak ruang hidup warga dan lambat memproses tuntutan warga yang mempertahankan ruang hidup mereka.

Bersihkan Institusi Penegak Hukum

Selain terjadi bias kepentingan dalam penegakan hukum terhadap penambang ilegal dan korporasi (legal), pemerintah dan institusi Polri juga mesti membersihkan tubuhnya sendiri dari praktik mafia pertambangan. Di tubuh Polri sendiri, selain cenderung berpihak kepada korporasi dalam menekan resistensi warga, dugaan aparat kepolisian bermain di balik maraknya tambang ilegal juga santer terdengar.

Sebagian contoh ihwal keterlibatan aparat kepolisian dalam sektor pertambangan itu, bisa terlihat dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara, atau anggota polisi yang diduga berada di balik penambangan pasir timah di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka, serta kasus anggota polisi yang diduga bermain tambang ilegal di Sungai Walanae, Kebo, Lilirilau, Soppeng, Sulsel.

Sudah menjadi rahasia umum, aparat keamanan juga banyak terlibat di tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Dengan demikian, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan institusi Polri itu sudah seharusnya menyasar akar persoalan, yakni kejahatan korporasi tambang legal dan ilegal, berikut sanksi yang diberikan tidak sebatas pada aspek administratif, tetapi pidana kejahatan lingkungan.

Narahubung:

  1. Muh Jamil – Pengacara Publik JATAM – +62 821-5647-0477
  2. Ki Bagus Hadi Kusuma – Kepala Kampanye JATAM – +62 857-8198-5822


Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang