Tambang Merajalela, Negara Turut Serta Menghancurkan Ruang Hidup Rakyat


Kampanye

Tambang Merajalela, Negara Turut Serta Menghancurkan Ruang Hidup Rakyat


Oleh JATAM

28 April 2017





[Jakarta, 28 April 2017] – Sejak Orde Baru berkuasa, Indonesia jadi ruang akumulasi kapital yang menjadikan Tanah Air sebagai sumber ekstraksi bahan mentah bagi korporasi- korporasi raksasa dan bank-bank pendukungnya. Selain itu, pasar raksasa (captive market) menjadi produk mereka, mulai dari pangan,  elektronik, hingga otomotif. Sistem politik, berikut dengan beragam produk kebijakan yang dihasilkan, terbukti terus menopang menguatnya rezim ekstraksi.

Presiden Jokowi, setelah sebulan dilantik menjadi Presiden, dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan kekayaan alam dan perusakkan ruang hidup rakyat. Pengerukan kekayaan alam secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

Tidak heran kemudian, ekstraksi bahan mentah kian hari terus berlangsung, bertambah, tentu seiring dengan permintaan pasar global. Hingga Januari 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat 9.314 Izin Usaha Pertambangan di seluruh Indonesia. Mulai dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, hingga pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara.

Lantas, dimana posisi Negara dihadapan ekspansi pertambangan tersebut? Apakah Negara turut hadir, menghancurkan ruang hidup rakyat melalui penerbitan berbagai izin pertambangan, berikut dengan pendekatan penegakan hukum lingkungan yang lebih banyak menguntungkan pihak koorporasi? Bagaimana posisi Negara beserta ruang hidupnya dihadapan arogansi korporasi tambang tersebut?

Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan  pernah memberikan harapan ke publik untuk menjawabi segala tuntutan keselamatan ruang hidup rakyat. Pada 29 Mei 2014, misalnya, Jokowi berkampanye dan mengatakan dengan lantang di depan warga korban semburan Lumpur Lapindo ihwal absennya Negara ditengah ratusan ribu rakyat korban semburan lumpur.

 “Dalam kasus seperti ini, Negara seharusnya hadir sebagai representasi Kedaulatan Rakyat,” katanya.

Fakta hari ini, janji Jokowi tersebut jauh panggang dari api. Justeru yang terjadi adalah Negara betul hadir tapi tidak untuk menyelamatkan rakyat dan ruang hidupnya. Negara hadir bersama korporasi, menghancurkan ruang hidup rakyat.

Persoalan pertambangan karst dan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah, menjadi contoh. Negara yang seyogianya berada di pihak rakyat, justeru menjadi pembangkang dengan melawan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah dimenangkan warga. Bahkan Pemerintah, melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap ngotot untuk meresmikan keberadaan pabrik semen milik Semen Indonesia itu.

Contoh lain juga terjadi di Papua, soal bagaimana kebijakan Negara dengan mudah dinegosiasi oleh korporasi. JATAM mencatat, sudah setengah lusin jumlah pelanggaran undang-undang yang dilakukan PT Freeport Indonesia (PT FI). PT FI dengan leluasa mengekspor bahan tambang mentah ke luar negeri.

Apa yang terjadi di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah dan Papua, juga takbeda jauh dengan wilayah-wilayah lainnya, seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

Relasi kuasa politik dan modal makin kentara, tak ubah dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Lingkaran kuasa modal terbungkus dalam struktur partai, utamanya di pemerintahan, menggerogoti kebijakan, dan pada akhirnya rakyat kembali menjadi korban.

Kuasa modal ini terang benderang dalam target elektrifikasi Jokowi – JK. Hitungan bisnis dikedepankan untuk memprioritaskan energi fosil yang berbahaya terhadap keselamatan rakyat ketimbang mengutamakan energi terbarukan dan ramah lingkungan.

Klaim Pemerintah bahwa proyek 35.000 MW akan memenuhi pasokan bagi 13% rakyat Indonesia yang belum teraliri llistrik, agaknya jauh panggang dari api. Mengingat, sekitar 60% (21.000 MW) dari total 35.000 megawatt pembangkit listrik, justru dibangun di wilayah industri Jawa dan Bali, yang rasio elektrifikasinya sudah hampir mencapai 99%. Artinya, mega proyek ini dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan industri semata,

Karena itu, dalam rangka Hari Anti Tambang (HATAM) 29 Mei 2017 mendatang, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan seluruh jaringan di daerah, mengajak seluruh elemen bangsa yang peduli pada keselamatan rakyat dan ruang hidupnya, untuk mendedikasikan waktu, pikiran dan dukungannya guna melakukan aksi atau kegiatan lainnya pada Hari Anti Tambang 2017, sebagai bentuk perlawanan terhadap daya rusak industri ekstraktif dan solidaritas terhadap perjuangan warga selama ini yang selalu menjadi korban.

Adapun tema nasional Hari Anti Tambang 2017 adalah “Tambang Merajalela, Negara Turut Serta Menghancurkan Ruang Hidup Rakyat”. Tema ini di pilih mengingat ekspansi pertambangan yang menghancurkan ruang hidup rakyat selama ini, taklepas dari peranserta Negara, melalui penerbitan ribuan izin tambang, pendekatan keamanan, dan penegakan hukum lingkungan yang jauh dari azas keadilan.

Apa itu HATAM?

Hari Anti Tambang atau disingkat HATAM, adalah mandat dari Pertemuan Nasional JATAM 2010, lalu. Sejak 2011, tanggal 29 Mei diapresiasi sebagai Hari Anti Tambang, bertepatan dengan semburan pertama Lumpur Lapindo pada 29 Mei, sebelas tahun lalu, sebuah tragedi kemanusiaan akibat arogansi dan rakusnya korporasi tambang.

HATAM didasari atas kenyataan bahwa, sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah (make mining history) dalam perjalanan bangsa ini ke depan. Terbukti, pertambangan di Indonesia yang sudah berlangsung ratusan tahun ini malah terus menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin dan terjajah. Tidak hanya itu, industri pertambangan telah berhasil menghapus mimpi dan cita-cita Anak Bangsa, bahkan telah merenggut ratusan nyawa, anak negeri.

Siapa dan di mana saja yang melakukan HATAM?

JATAM dan segenap simpul jaringannya pada Mei 2017 mendatang, akan melakukan rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan perlawanan terhadap daya rusak pertambangan. Puncaknya, puluhan simpul jaringan JATAM akan melakukan aksi sebagai bentuk upaya penyelamatan ruang hidup dan keselamatan rakyat, khususnya solidaritas kepada korban Lapindo dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Dukungan dan solidaritas dari masyarakat luas juga sangat diharapkan, bisa melalui berbagai aksi, dialog publik, atau kegiatan-kegiatan sejenis lainnya sebagai bentuk dukungan terhadap HATAM dan desakan kepada Negara untuk berhenti terlibat dalam penghancuran ruang hidup rakyat, saatnya Negara berdiri di pihak rakyat.

 







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

Tambang Merajalela, Negara Turut Serta Menghancurkan Ruang Hidup Rakyat


Share


Oleh JATAM

28 April 2017



[Jakarta, 28 April 2017] – Sejak Orde Baru berkuasa, Indonesia jadi ruang akumulasi kapital yang menjadikan Tanah Air sebagai sumber ekstraksi bahan mentah bagi korporasi- korporasi raksasa dan bank-bank pendukungnya. Selain itu, pasar raksasa (captive market) menjadi produk mereka, mulai dari pangan,  elektronik, hingga otomotif. Sistem politik, berikut dengan beragam produk kebijakan yang dihasilkan, terbukti terus menopang menguatnya rezim ekstraksi.

Presiden Jokowi, setelah sebulan dilantik menjadi Presiden, dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan kekayaan alam dan perusakkan ruang hidup rakyat. Pengerukan kekayaan alam secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

Tidak heran kemudian, ekstraksi bahan mentah kian hari terus berlangsung, bertambah, tentu seiring dengan permintaan pasar global. Hingga Januari 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat 9.314 Izin Usaha Pertambangan di seluruh Indonesia. Mulai dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, hingga pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara.

Lantas, dimana posisi Negara dihadapan ekspansi pertambangan tersebut? Apakah Negara turut hadir, menghancurkan ruang hidup rakyat melalui penerbitan berbagai izin pertambangan, berikut dengan pendekatan penegakan hukum lingkungan yang lebih banyak menguntungkan pihak koorporasi? Bagaimana posisi Negara beserta ruang hidupnya dihadapan arogansi korporasi tambang tersebut?

Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan  pernah memberikan harapan ke publik untuk menjawabi segala tuntutan keselamatan ruang hidup rakyat. Pada 29 Mei 2014, misalnya, Jokowi berkampanye dan mengatakan dengan lantang di depan warga korban semburan Lumpur Lapindo ihwal absennya Negara ditengah ratusan ribu rakyat korban semburan lumpur.

 “Dalam kasus seperti ini, Negara seharusnya hadir sebagai representasi Kedaulatan Rakyat,” katanya.

Fakta hari ini, janji Jokowi tersebut jauh panggang dari api. Justeru yang terjadi adalah Negara betul hadir tapi tidak untuk menyelamatkan rakyat dan ruang hidupnya. Negara hadir bersama korporasi, menghancurkan ruang hidup rakyat.

Persoalan pertambangan karst dan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah, menjadi contoh. Negara yang seyogianya berada di pihak rakyat, justeru menjadi pembangkang dengan melawan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah dimenangkan warga. Bahkan Pemerintah, melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap ngotot untuk meresmikan keberadaan pabrik semen milik Semen Indonesia itu.

Contoh lain juga terjadi di Papua, soal bagaimana kebijakan Negara dengan mudah dinegosiasi oleh korporasi. JATAM mencatat, sudah setengah lusin jumlah pelanggaran undang-undang yang dilakukan PT Freeport Indonesia (PT FI). PT FI dengan leluasa mengekspor bahan tambang mentah ke luar negeri.

Apa yang terjadi di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah dan Papua, juga takbeda jauh dengan wilayah-wilayah lainnya, seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

Relasi kuasa politik dan modal makin kentara, tak ubah dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Lingkaran kuasa modal terbungkus dalam struktur partai, utamanya di pemerintahan, menggerogoti kebijakan, dan pada akhirnya rakyat kembali menjadi korban.

Kuasa modal ini terang benderang dalam target elektrifikasi Jokowi – JK. Hitungan bisnis dikedepankan untuk memprioritaskan energi fosil yang berbahaya terhadap keselamatan rakyat ketimbang mengutamakan energi terbarukan dan ramah lingkungan.

Klaim Pemerintah bahwa proyek 35.000 MW akan memenuhi pasokan bagi 13% rakyat Indonesia yang belum teraliri llistrik, agaknya jauh panggang dari api. Mengingat, sekitar 60% (21.000 MW) dari total 35.000 megawatt pembangkit listrik, justru dibangun di wilayah industri Jawa dan Bali, yang rasio elektrifikasinya sudah hampir mencapai 99%. Artinya, mega proyek ini dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan industri semata,

Karena itu, dalam rangka Hari Anti Tambang (HATAM) 29 Mei 2017 mendatang, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan seluruh jaringan di daerah, mengajak seluruh elemen bangsa yang peduli pada keselamatan rakyat dan ruang hidupnya, untuk mendedikasikan waktu, pikiran dan dukungannya guna melakukan aksi atau kegiatan lainnya pada Hari Anti Tambang 2017, sebagai bentuk perlawanan terhadap daya rusak industri ekstraktif dan solidaritas terhadap perjuangan warga selama ini yang selalu menjadi korban.

Adapun tema nasional Hari Anti Tambang 2017 adalah “Tambang Merajalela, Negara Turut Serta Menghancurkan Ruang Hidup Rakyat”. Tema ini di pilih mengingat ekspansi pertambangan yang menghancurkan ruang hidup rakyat selama ini, taklepas dari peranserta Negara, melalui penerbitan ribuan izin tambang, pendekatan keamanan, dan penegakan hukum lingkungan yang jauh dari azas keadilan.

Apa itu HATAM?

Hari Anti Tambang atau disingkat HATAM, adalah mandat dari Pertemuan Nasional JATAM 2010, lalu. Sejak 2011, tanggal 29 Mei diapresiasi sebagai Hari Anti Tambang, bertepatan dengan semburan pertama Lumpur Lapindo pada 29 Mei, sebelas tahun lalu, sebuah tragedi kemanusiaan akibat arogansi dan rakusnya korporasi tambang.

HATAM didasari atas kenyataan bahwa, sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah (make mining history) dalam perjalanan bangsa ini ke depan. Terbukti, pertambangan di Indonesia yang sudah berlangsung ratusan tahun ini malah terus menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin dan terjajah. Tidak hanya itu, industri pertambangan telah berhasil menghapus mimpi dan cita-cita Anak Bangsa, bahkan telah merenggut ratusan nyawa, anak negeri.

Siapa dan di mana saja yang melakukan HATAM?

JATAM dan segenap simpul jaringannya pada Mei 2017 mendatang, akan melakukan rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan perlawanan terhadap daya rusak pertambangan. Puncaknya, puluhan simpul jaringan JATAM akan melakukan aksi sebagai bentuk upaya penyelamatan ruang hidup dan keselamatan rakyat, khususnya solidaritas kepada korban Lapindo dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Dukungan dan solidaritas dari masyarakat luas juga sangat diharapkan, bisa melalui berbagai aksi, dialog publik, atau kegiatan-kegiatan sejenis lainnya sebagai bentuk dukungan terhadap HATAM dan desakan kepada Negara untuk berhenti terlibat dalam penghancuran ruang hidup rakyat, saatnya Negara berdiri di pihak rakyat.

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang