IUP Dihentikan Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Cabut dan Hentikan Pendanaan JBIC


Kampanye

IUP Dihentikan Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Cabut dan Hentikan Pendanaan JBIC


Oleh JATAM

08 September 2017





[Jakarta, Indonesia] – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Friends of the Earth Japan (FoE Jepang)  mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak hanya sekedar memberikan sanksi administratif dan penghentian sementara kepada empat perusahaan tambang batu bara yang ditemukan melanggar dan mencemari Sungai Malinau di Kalimantan Utara, namun juga mencabut izin dan melakukan penyelidikan potensi tindak pelanggaran pidana lingkungan hidup serius.

Empat perusahaan tambang batu bara yang terbukti bersalah telah mencemari sungai Malinau ini dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Utara, yakni PT. Arth Mart Kramo (AMNK ) mendapatkan sanksi Teguran Ringan, PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC) dan PT. Baradinamika Muda Sukses (PT BDMS)  mendapatkan sanksi teguran keras, dan PT. Mitrabara Adiperdana (MA) mendapatkan sanksi penghentian sementara selama 60 hari kalender kerja.

Perusahaan-perusahaan ini terbukti melanggar Pasal 96 hingga Pasal 98 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mengatur tentang pelanggaran pengelolaan sisa limbah tambang yang belum memenuhi standar baku mutu namun sudah dilepas secara sengaja ke media lingkungan yaitu sungai Malinau pada medio Juni  hingga awal Juli 2017 lalu.

Dalam SK sanksi yang diperoleh JATAM, perusahaan juga melanggar sejumlah peraturan lain seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara,  dan Permen ESDM No 34 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta Kepmen ESDM mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan hingga Peraturan Keselamatan Kerja.

“PT Mitrabara Adiperdana (MA) diakusisi oleh Idemitsu Kosan, sebuah perusahaan energy di Jepang, yang mendapat sokongan dana dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation) untuk bertanggungjawab atas kejadian ini. Sebagai penyokong dana, JBIC harus ikut bertanggungjawab atas pencemaran yang dilakukan pihak perusahaan di Malinau,” tegas Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM Nasional.

Simpul JATAM Kalimantan Utara menyatakan, proses pinjam – meminjam kolam pengendapan limbah (sediment pond) yang dilakukan PT Mitrabara Adiperdana dari PT Baradinamika Muda Sukses tidak melalui proses yang benar, hanya dilakukan antar perusahaan tanpa ada diketahui pemerintah dan masyarakat.

“Sejak tahun 2010 lalu, untuk pertama kalinya tanggul kolam pengendapan limbah PT BDMS dan PT KPUC jebol dan mengkontaminasi Sungai Malinau. Kami menduga pencemaran ini dilakukan dengan sengaja dan sudah terjadi berulangkali, ungkap Koordinator JATAM Kalimantan Utara, Theodorus G. Immanuel.

Menurut Theodorus, pada 2010 lalu, masyarakat Malinau melakukan demonstrasi terkait dengan pencemaran sungai Malinau. Namun, pada 2011 peristiwa yang sama kembali terulang dan menyebabkan Sungai Malinau dan Sungai Sesayap terkontaminasi limbah beracun. Begitu juga di tahun 2012, kejadian serupa berulang.

”Pada tanggal 4 Juli 2017, kejadian pencemaran Sungai Malinau dan Sungai Sesayap terjadi kembali, kami menduga ini dilakukan empat perusahaan sekaligus yakni PT BDMA, PT. MA, PT KPUC, dan PT AMNK,” ujar Theodorus.

Akibat pencemaran ini, air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang berasal dari Sungai Sesayap tidak dapat dikonsumsi warga selama tiga hari (5, 6 dan 7 Juli 2017).

“Pada 6 Juli 2017, Kepala Dinas Kesehatan menyatakan bahwa air minum warga Malinau tidak layak dikonsumsi. Hal ini mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum bahwa batas NTU (Nephelometric Turbidity Unit) standar seharusnya 5 NTU. Sedangkan, yang terjadi adalah tingkat kekeruhan air mencapai 1.993 NTU. Air kemudian tetap mengalir namun sangat keruh pada tanggal 8 dan 9 Juli 2017. Atas kondisi ini, PDAM Malinau mendistribusikan air untuk lima kecamatan dan 23 desa di Kabupaten Malinau. Warga yang terdampak akibat sumber air mereka terkontaminasi diperkirakan sektiar 30.000 jiwa” beber Theodorus.

Sejak adanya aktivitas pertambangan batu bara di Kabupaten Malinau, warga setempat merasakan berbagai daya rusak, terutama yang terkait dengan masalah-masalah lingkungan. Konsesi-konsesi tambang batu bara ini dekat dengan pemukiman warga serta dua sungai utama yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari warga Malinau yaitu Sungai Malinau dan Sungai Sesayap.

Tindakan jahat pencemaran sungai di Malinau yang dilakukan perusahaan batu bara tersebut mengakibatkan; Pertama, PDAM Malinau harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga serta memulihkan lingkungan akibat pencemaran; Kedua, Warga Malinau kehilangan hak atas air selama nyaris seminggu, selain itu setelah tiga hari air mati total, air yang mengalir pun keruh pada tanggal 8 dan 9 Juli 2017 dan membahayakan kesehatan warga. Ketiga, Sebanyak tiga desa yang dihuni masyarakat ada dayak di daerah konsesi tambang telah dipindah-pindah (ada yang dipindah satu kali dan sudah ada yang dua kali) yaitu Desa Punan Rian, Desa Langap, dan Desa Seturan, tak ada kejelasan proses dan penanganan pemindahan ini sehingga membuka ruang dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Keempat, Sungai Sesayap yang merupakan habitat hidup mamalia langka, lumba-lumba air tawar (pesut), populasinya menurun karena habitatnya tercemar dan terkungkung oleh operasi pertambangan batu bara.

Sebelumnya, pada April 2017, JATAM telah melaporkan PT. Mitrabara Adiperdana dan PT. Bara Dinamika Muda Sukses – yang keduanya bagian dari Baramulti Group – ke Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakum KLHK) terkait kasus pelanggaran dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

 


 

Jatam Temukan Modus Salin Rekat Amdal Tambang Batubara di Kaltara: https://www.jatam.org/2017/04/29/jatam-temukan-modus-salin-rekat-amdal-tambang-batubara-di-kaltara/

Tanggul Limbah Jebol, Tambang Batubara Sokongan Jepang Cemari Sungai di Malinau: https://www.jatam.org/2017/07/11/tanggul-limbah-jebol-tambang-batubara-sokongan-jepang-cemari-sungai-di-malinau/

Daftar Perusahaan Tambang yang Dihentikan Sementara di Kalimantan Utara: https://www.jatam.org/2017/07/24/daftar-perusahaan-tambang-yang-dihentikan-sementara-di-kalimantan-utara/

 







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

IUP Dihentikan Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Cabut dan Hentikan Pendanaan JBIC


Share


Oleh JATAM

08 September 2017



[Jakarta, Indonesia] – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Friends of the Earth Japan (FoE Jepang)  mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak hanya sekedar memberikan sanksi administratif dan penghentian sementara kepada empat perusahaan tambang batu bara yang ditemukan melanggar dan mencemari Sungai Malinau di Kalimantan Utara, namun juga mencabut izin dan melakukan penyelidikan potensi tindak pelanggaran pidana lingkungan hidup serius.

Empat perusahaan tambang batu bara yang terbukti bersalah telah mencemari sungai Malinau ini dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Utara, yakni PT. Arth Mart Kramo (AMNK ) mendapatkan sanksi Teguran Ringan, PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC) dan PT. Baradinamika Muda Sukses (PT BDMS)  mendapatkan sanksi teguran keras, dan PT. Mitrabara Adiperdana (MA) mendapatkan sanksi penghentian sementara selama 60 hari kalender kerja.

Perusahaan-perusahaan ini terbukti melanggar Pasal 96 hingga Pasal 98 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mengatur tentang pelanggaran pengelolaan sisa limbah tambang yang belum memenuhi standar baku mutu namun sudah dilepas secara sengaja ke media lingkungan yaitu sungai Malinau pada medio Juni  hingga awal Juli 2017 lalu.

Dalam SK sanksi yang diperoleh JATAM, perusahaan juga melanggar sejumlah peraturan lain seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara,  dan Permen ESDM No 34 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta Kepmen ESDM mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan hingga Peraturan Keselamatan Kerja.

“PT Mitrabara Adiperdana (MA) diakusisi oleh Idemitsu Kosan, sebuah perusahaan energy di Jepang, yang mendapat sokongan dana dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation) untuk bertanggungjawab atas kejadian ini. Sebagai penyokong dana, JBIC harus ikut bertanggungjawab atas pencemaran yang dilakukan pihak perusahaan di Malinau,” tegas Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM Nasional.

Simpul JATAM Kalimantan Utara menyatakan, proses pinjam – meminjam kolam pengendapan limbah (sediment pond) yang dilakukan PT Mitrabara Adiperdana dari PT Baradinamika Muda Sukses tidak melalui proses yang benar, hanya dilakukan antar perusahaan tanpa ada diketahui pemerintah dan masyarakat.

“Sejak tahun 2010 lalu, untuk pertama kalinya tanggul kolam pengendapan limbah PT BDMS dan PT KPUC jebol dan mengkontaminasi Sungai Malinau. Kami menduga pencemaran ini dilakukan dengan sengaja dan sudah terjadi berulangkali, ungkap Koordinator JATAM Kalimantan Utara, Theodorus G. Immanuel.

Menurut Theodorus, pada 2010 lalu, masyarakat Malinau melakukan demonstrasi terkait dengan pencemaran sungai Malinau. Namun, pada 2011 peristiwa yang sama kembali terulang dan menyebabkan Sungai Malinau dan Sungai Sesayap terkontaminasi limbah beracun. Begitu juga di tahun 2012, kejadian serupa berulang.

”Pada tanggal 4 Juli 2017, kejadian pencemaran Sungai Malinau dan Sungai Sesayap terjadi kembali, kami menduga ini dilakukan empat perusahaan sekaligus yakni PT BDMA, PT. MA, PT KPUC, dan PT AMNK,” ujar Theodorus.

Akibat pencemaran ini, air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang berasal dari Sungai Sesayap tidak dapat dikonsumsi warga selama tiga hari (5, 6 dan 7 Juli 2017).

“Pada 6 Juli 2017, Kepala Dinas Kesehatan menyatakan bahwa air minum warga Malinau tidak layak dikonsumsi. Hal ini mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum bahwa batas NTU (Nephelometric Turbidity Unit) standar seharusnya 5 NTU. Sedangkan, yang terjadi adalah tingkat kekeruhan air mencapai 1.993 NTU. Air kemudian tetap mengalir namun sangat keruh pada tanggal 8 dan 9 Juli 2017. Atas kondisi ini, PDAM Malinau mendistribusikan air untuk lima kecamatan dan 23 desa di Kabupaten Malinau. Warga yang terdampak akibat sumber air mereka terkontaminasi diperkirakan sektiar 30.000 jiwa” beber Theodorus.

Sejak adanya aktivitas pertambangan batu bara di Kabupaten Malinau, warga setempat merasakan berbagai daya rusak, terutama yang terkait dengan masalah-masalah lingkungan. Konsesi-konsesi tambang batu bara ini dekat dengan pemukiman warga serta dua sungai utama yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari warga Malinau yaitu Sungai Malinau dan Sungai Sesayap.

Tindakan jahat pencemaran sungai di Malinau yang dilakukan perusahaan batu bara tersebut mengakibatkan; Pertama, PDAM Malinau harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga serta memulihkan lingkungan akibat pencemaran; Kedua, Warga Malinau kehilangan hak atas air selama nyaris seminggu, selain itu setelah tiga hari air mati total, air yang mengalir pun keruh pada tanggal 8 dan 9 Juli 2017 dan membahayakan kesehatan warga. Ketiga, Sebanyak tiga desa yang dihuni masyarakat ada dayak di daerah konsesi tambang telah dipindah-pindah (ada yang dipindah satu kali dan sudah ada yang dua kali) yaitu Desa Punan Rian, Desa Langap, dan Desa Seturan, tak ada kejelasan proses dan penanganan pemindahan ini sehingga membuka ruang dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Keempat, Sungai Sesayap yang merupakan habitat hidup mamalia langka, lumba-lumba air tawar (pesut), populasinya menurun karena habitatnya tercemar dan terkungkung oleh operasi pertambangan batu bara.

Sebelumnya, pada April 2017, JATAM telah melaporkan PT. Mitrabara Adiperdana dan PT. Bara Dinamika Muda Sukses – yang keduanya bagian dari Baramulti Group – ke Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakum KLHK) terkait kasus pelanggaran dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

 


 

Jatam Temukan Modus Salin Rekat Amdal Tambang Batubara di Kaltara: https://www.jatam.org/2017/04/29/jatam-temukan-modus-salin-rekat-amdal-tambang-batubara-di-kaltara/

Tanggul Limbah Jebol, Tambang Batubara Sokongan Jepang Cemari Sungai di Malinau: https://www.jatam.org/2017/07/11/tanggul-limbah-jebol-tambang-batubara-sokongan-jepang-cemari-sungai-di-malinau/

Daftar Perusahaan Tambang yang Dihentikan Sementara di Kalimantan Utara: https://www.jatam.org/2017/07/24/daftar-perusahaan-tambang-yang-dihentikan-sementara-di-kalimantan-utara/

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang