Surat Terbuka Masyarakat Sipil Kalimantan Timur untuk Menteri Siti Nurbaya
Kampanye
Surat Terbuka Masyarakat Sipil Kalimantan Timur untuk Menteri Siti Nurbaya
Oleh JATAM
07 Juli 2017
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) berencana memberikan penghargaan lingkungan hidup Nirwasita Tantra kepada sejumlah Kepala Daerah di Indonesia.
Nirwasita Tantra merupakan penghargaan dari Pemerintah yang diberikan kepada Kepala Daerah atas kepemimpinannya dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan, dan/atau program kerja sesuai prinsip metodologi pembangunan berkelanjutan guna memperbaiki kualitas lingkungan hidup di daerahnya.
Salah satu Kepala Daerah yang menjadi nominator atas penghargaan ini adalah Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak yang, notabene salah satu Kepala Daerah paling banyak mengobral Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tidak bertanggungjawab atas tewas tenggelamnya 28 anak-anak di lubang maut batu bara Kalimantan Timur.
Kejadian baru-baru ini, tepatnya pada 25 Juni 2017, misalnya, seorang siswi SMK Barong Tongkok, Desa Bekokong Makmur, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat atasnama Novita Sari (18 tahun), tewas tenggelam di Lubang Tambang Batubara milik PT Gunung Bayan Pratama Coal di Desa Belusuh, Kecamatan Siluq Ngurai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Berikut ini adalah isi lengkap ‘surat terbuka’ dari Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur untuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dan Panitia Seleksi (Pansel) Nirwasita Tantra 2017 di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Sipil Kalimatan Timur
Kepada Yth,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Panitia Seleksi Nirwasita Tantra 2017
di –
Tempat
Salam,
Sehubungan dengan masuknya Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, sebagai salah satu nominator dalam Nirwasita Tantra 2017, melalui surat terbuka ini kami sampaikan sejumlah informasi kepada Panitia Seleksi agar meninjau kembali keputusan tersebut.
Kami, selaku warga masyarakat menilai Gubernur Awang Faroek Ishak belum pantas menjadi nominator Penghargaan Nirwasita Tantra 2017, hal ini dikarenakan kebijakan dan kinerja kepemimpinannya di bidang lingkungan hidup yang tidak memuaskan.
Berikut ini adalah beberapa informasi sekaligus sikap kami sebagai masyarakat sipil atas masuknya Gubernur Awang Faroek Ishak sebagai salah satu nominator Nirwasita Tantra Tahun 2017.
Pertama, Kurun waktu 2011 – 2017 telah meninggal 28 orang di lokasi bekas lubang tambang. Rinciannya 27 tenggelam di lubang tambang dan 1 terpapar runtuhan batu bara yang terbakar, dari jumlah tersebut 23 diantaranya adalah anak-anak. Hal ini bisa terjadi dikarenakan kelalaian perusahaan tambang serta absenya peran pemerintah Provinsi Kaltim dalam mengawasi aktifitas tambang batu bara. Gubernur selalu berkilah tak punya kewenangan, padahal pemerintah provinsi sudah punya kewenangan sejak lama, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan dan Pelaksanaan Usaha Pertambangan Minerba. PP ini diperkuat lagi dengan Undang-undang (UU) No 23 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi untuk bertindak.
Tidak adanya upaya tegas Gubernur Awang Faroek Ishak dalam menggunakan kewenangannya untuk menindak pelaku usaha pertambangan yang lalai adalah cerminan lemah atau tiadanya komitmen dan integritas yang tinggi dalam memastikan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup di Kalimantan Timur.
Korban meninggal di lubang maut tambang batu bara terakhir, terjadi pada 25 Juni lalu, menjelang diselenggarakannya ajang penghargaan Nirwasita Tantra 2017. Tanggal 25 Juni tersebut merupakan hari pertama Idul Fitri, moment dimana semua keluarga berkumpul, merayakan kebahagiaan bersama. Namun, hari itu malah menjadi hari yang penuh tragedi buat sebuah keluarga di Kampung Bekokong Makmur, Kabupaten Kutai Barat.
Kini, Lubang-lubang tambang di Kaltim telah berubah menjadi ajang pembantaian anak-anak kami, calon pemimpin generasi masa depan bangsa.
Kedua, Gubernur Awang Faroek Ishak membolehkan Sungai Kedang Kepala dilintasi kapal-lapal dan tongkang batu bara dan ekosistem gambut Mahakam Tengah dirusaki akibat aktifitas angkut batu bara. Padahal, anak sungai Mahakam ini merupakan kawasan cagar alam sekaligus konservasi gambut yang dilindungi, juga terdapat spesies pesut Mahakam yang oleh pemerintah masuk sebagai binatang yang dilindungi. Sejak dilintasi kapal dan ponton batu bara, populasinya menurun setiap tahunnya, dan terancam punah. Hilir mudiknya kapal membuat pesut-pesut tertekan, belum lagi tumpahan batubara yang turut menyebabkan pencemaran.
Ketiga, Hingga Mei 2017 dari 1.404 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur, sebanyak 60% diantaranya tidak menyetor Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang. Tiadanya Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang ini membuktikan ketidaktegasan Gubernur Awang Faroek dalam menjamin penyelamatan dan pemulihan lingkungan serta keselamatan rakyat.
Keempat, Dalam RTRW Kalimantan Timur tahun 2016 – 2035 yang telah ditetapkan Gubernur tahun lalu, terdapat ketidakadilan ruang hidup, tidak memihak keberlanjutan ekologi dan keselamatan rakyat. Penetapan Perda No. 1 Tahun 2016 oleh pemerintah Kalimantan Timur tersebut tidak membuka ruang partisipasi publik yang luas dan terbuka. Perda tersebut menetapkan sebanyak 80% dari luas daratan Kalimantan Timur untuk (izin) pengerukan sumber daya alam, 42% diantaranya dialokasikan untuk tambang batu bara yang cenderung eksploitatif dan merusak, terlebih lagi memberikan dampak pencemaran lingkungan yang masif. Klaim menekan perubahan iklim dan gembar-gembor program Green Kaltim tidak sesuai kenyataan.
Kelima, Gubernur Awang Faroek juga tidak memiliki komitmen untuk melindungi kawasan karst di Kalimantan Timur. Di kawasan lindung Geologi Karst Sangkulirang – Mangkalihat, misalnya, Gubernur Awang Faroek, telah menerbitkan Izin Pabrik dan Pertambangan Karst, dan tentu saja akan menambah daftar panjang kerusakan lingkungan, hilangnya sumber air, dan mengorbankan keselamatan rakyat.
Keenam, Selama Gubernur Awang Faroek berkuasa di Kalimantan Timur, kami tidak menemukan fakta soal inovasi dan terobosan yang mengarah pada penyelamatan sumber daya alam dan keselamatan rakyat. Yang terjadi, khusus sepanjang 2010 – 2017, penjarahan emas hitam (Ilegal Mining) kerap terjadi. Tiadanya pengawasan dan pada akhirnya pajak rakyat yang akan dibebankan untuk memulihkan kerusakan-kerusakan lingkungan yang dilakukan para mafia tambang tersebut.
Ketujuh, Sejak kebijakan obral izin pengerukan sumber daya alam, ribuan petani di Kalimantan Timur terancam kehilangan wilayah garapannya. Selain tambang, perkebunan sawit sekala besar telah merampas serta mencemari lahan sawah dan kebun petani di Kabupaten Kutai Kartanegara khususnya warga di Kecamatan Muara Jawa, Sanga-Sanga, dan Kecamatan Loa Janan Ulu.
Sepanjang tahun 2014 hingga 2015 saja, terdapat sekitar 25 konflik lahan sawit yang diadukan ke WALHI Kalimantan Timur. Kasus-kasus ini didominasi masalah lahan antara masyarakat dan pihak perusahaan (pengusaha), juga masyarakat dengan pemerintah sebagai pemberi izin dan regulator. Akibatnya, banyak warga kehilangan lahan garapan, dan kriminalisasi dan intimidasi pun kerap terjadi.
Demikian Surat Terbuka ini dibuat, kiranya menjadi pertimbangan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pansel Nirwasita Tantra 2017 dalam melakukan penilaian.
Terima kasih
Samarinda, 7 Juli 2017
Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Sipil Kalimatan Timur
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim , Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Kaltim, Jaringan Advokasi Lingkungan Hidup (JALH) Balikpapan, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, Kawal Borneo Community Foundation (KBCF), NALADWIPA Samarinda, POKJA 30, Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL) Balikpapan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang