Siklon Seroja Bukan Terakhir jika Krisis Iklim Tak Segera Ditangani


Berita

Siklon Seroja Bukan Terakhir jika Krisis Iklim Tak Segera Ditangani


Oleh JATAM

22 April 2021





Krisis iklim yang memburuk tiap tahun dinilai berkorelasi dengan alih fungsi kawasan menjadi lahan tambang, industri properti wisata, sawit, dll.

Mario Lawi tak pernah menyangka bila satu hari setelah Malam Paskah tahun ini akan berakhir dengan bencana.

Rencana Mario cukup sederhana hari itu: menjemput sang ibu dari rumah sakit untuk kemudian kembali ke rumah. Cuaca ternyata tak bersahabat. Hujan deras mengguyur Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada sore hari hanyalah permulaan dari amuk badai siklon.

“Untung saya bisa membawa ibu dengan selamat sampai rumah,” ucapnya lewat sambungan telepon.

Hujan dan angin menyapu kencang. Sinyal telepon terputus. Kupang dan daerah lain seketika berubah mencekam.

“Sebetulnya kondisi di Kupang relatif enggak terlalu parah dibandingkan kabupaten. Di sana rumah rusak dan korban banyak,” tuturnya. “Ini pengalaman pertama yang pernah dialami masyarakat di sini. Sebelumnya enggak pernah terjadi kayak gini.”

Delapan belas dari 22 kabupaten/kota di NTT, dan sebagian Nusa Tenggara Barat, terdampak siklon tersebut: rumah dan fasilitas umum rusak dan ratusan korban jiwa. Lebih dari sepekan beberapa daerah masih terisolasi dan belum teraliri listrik.

Seroja adalah siklon pertama yang mampu tiba di daratan, menurut Herizal, Deputi Bidang Klimatologi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Penyebabnya, suhu air laut terus merangkak naik.

“Siklon tropis itu sebetulnya jarang masuk [Indonesia] kalau kondisinya normal,” ungkapnya. “Mereka [masuk] selalu di luar lintang 10 di perairan Indonesia. Nah, ini karena suhu [perairan] hangat, maka jadi mendorong. Dan jadi seperti itu karena tidak bisa dilepaskan dari faktor perubahan iklim.”

Bencana Meningkat Seiring Krisis Iklim Sepanjang Januari-Maret tahun ini saja, setidaknya terjadi 763 gelombang bencana di seluruh Indonesia, menurut BNPB, yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia, jutaan lain mengungsi, serta membikin rusak ribuan infrastruktur umum.

Dalam catatan yang sama, BNPB menyebut bencana alam disebabkan faktor hidrometeorologi, suhu dan cuaca ekstrem seperti hujan lebat plus angin kencang, mendominasi temuan tiga sampai empat bulan belakangan.

Awal Januari silam, curah hujan tinggi selama 10 hari membikin beberapa wilayah kota/kabupaten di Kalimantan Selatan tersapu air bah yang menyebabkan puluhan ribu rumah tenggelam, belasan orang meninggal, dan puluhan ribu lain terpaksa mengungsi.

Sama halnya dengan Seroja, banjir di Kalimantan Selatan merupakan yang pertama sekaligus terparah selama 50 tahun terakhir. Persamaan lainnya: keduanya ialah dampak krisis iklim.

Perubahan iklim telah menjadi topik perbincangan global selama dekade terakhir. Puncaknya, pada 2019, demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi oleh anak muda, kelompok sipil, dan ilmuwan merebak di berbagai belahan dunia dengan tuntutan serupa: selamatkan bumi.

Masifnya protes ditandai tahun 2019 adalah tahun terpanas kedua sepanjang satu dekade belakangan. Kemudian, tingkat karbondioksida (CO2) serta gas rumah kaca lain naik pada rekor baru di waktu yang sama.

Darurat iklim ditandai karakteristik sebagai berikut: massa lapisan es di Antartika dan Greenland konsisten berkurang. Data NASA menyebut sejak 1993 hingga 2019, Greenland kehilangan rata-rata 279 miliar ton es dan Antartika 148 miliar ton es setiap tahun.

Lalu, permukaan air laut turut naik sekira 8 inci—setara 20 cm—dalam satu abad terakhir. Pada kurun dua dekade, kenaikannya bahkan dua kali lipat dari abad sebelumnya. Dari sisi keasaman laut terjadi peningkatan 30 persen, disebabkan aktivitas industri manusia yang lebih banyak mengeluarkan karbondioksida ke atmosfer.

Nantinya, karbondioksida diserap lautan. Total ada 20 sampai 30 persen emisi karbondioksida antropogenik yang masuk ke laut dalam beberapa dekade belakangan—kurang lebih 7,2 hingga 10,8 miliar metrik ton per tahun.

Contoh nyata krisis iklim bisa dilihat lewat serangkaian peristiwa ekstrem. Misalnya badai musim dingin terburuk dalam 100 tahun terakhir yang menghajar Texas, Amerika Serikat, Februari lalu.

Krisis Pengetahuan soal Krisis Iklim

Kehadiran siklon Seroja, pada dasarnya, bukan gambaran tunggal mengenai krisis iklim.

Siklon Cempaka, misalnya, menjadi salah satu siklon terkuat menerjang sebagian Pulau Jawa dan Bali pada 2017. Namun, siklon ini hanya sedikit menyentuh daratan karena berpusat di laut. Begitu masuk ke darat, siklon ini pecah dan berurai.

“Karena anomali, muncul di perairan dalam, Indonesia yang sebelumnya merasa aman dari siklon sekarang tidak boleh merasa aman lagi. Sebab kondisi lautnya sudah panas,” kata Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

Widada Sulistya, Ketua Umum Asosiasi Ahli Atmosfer Indonesia, mengatakan pengetahuan mengenai krisis iklim belum merata dan belum sepenuhnya tertangkap oleh publik. Padahal, menurutnya, ada beberapa tanda krisis iklim cukup signifikan seperti naiknya muka laut, perubahan atau pergeseran pola hujan dan musim, serta perubahan suhu di beberapa tempat.

“Contoh nyatanya kalau di Indonesia, air laut sering naik ke darat [rob]. Atau, kadang kita dengar orang ngomong sekarang Bogor nggak dingin kayak dulu,” ujar lulusan fisika Universitas Indonesia ini.

Hasil jajak pendapat oleh YouGov pada 2019 menyatakan 18 persen orang Indonesia tidak percaya aktivitas manusia berpengaruh terhadap perubahan dan krisis iklim. Sedangkan 8 persen lain meyakini korelasi ulah manusia dan krisis iklim hanyalah hoaks dan teori konspirasi.

Studi Climate Central memprediksi air laut akan meninggi 20 hingga 30 sentimeter pada 2050, menyebabkan permukiman-permukiman yang dihuni sekitar 23 juta penduduk di kawasan pesisir Indonesia, termasuk DKI Jakarta, tenggelam. Ancaman ini merupakan efek parah dari emisi karbon.

Sistem Mitigasi Amburadul, Dana Minim

Herizal dari BMKG mengatakan dari sisi penyebaran informasi dan monitoring, telah berupaya bekerja semaksimal mungkin. Ia mencontohkan dari tim meteorologi, lewat pemantauan citra satelit, konsisten mengawasi situasi terkini, termasuk Siklon Seroja kemarin, yang nantinya diolah menjadi informasi untuk kepentingan mitigasi.

“Informasi itu tersedia baik dari kanal informal dan formal,” ujarnya. “Namun, koordinasi [antarlembaga] belum berjalan baik, cenderung terlambat, serta sering terhalang birokrasi,”–tanpa menyebut spesifik letak persis kurangnya koordinasi itu.

Data Badan Pusat Statistik menggambarkan masih timpang ketersediaan sistem peringatan dini bencana alam di seluruh desa Indonesia.

Jawa Timur, misalnya pada 2018, terdapat 1.162 desa dengan sistem peringatan dini bencana alam. Jumlah ini berbeda jauh dengan sebut saja Kalimantan Selatan yang hanya punya 63 desa di tahun yang sama.

Pulau Jawa masih mendominasi keberadaan desa dengan sistem peringatan dini bencana. Tiga wilayahnya rata-rata memiliki lebih dari 500 desa dengan sistem peringatan dini bencana.

Gambaran lebih timpang adalah kategori desa dengan perlengkapan keselamatan. Di Pulau Sulawesi, angka rata-rata desa dengan perlengkapan keselamatan di enam provinsi tak sampai 100 buah pada 2018. Di Sulawesi Barat malah hanya ada 9 desa yang punya perlengkapan keselamatan.

Keadaan itu diperburuk dengan alokasi anggaran.

Maret kemarin, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Doni Monardo mengungkapkan alokasi anggaran rutin BNPB rata-rata turun sebesar 22,08 persen per tahun. Rinciannya seperti berikut: Rp1,661 triliun (2015), Rp1,653 triliun (2016), Rp1,084 triliun (2017), Rp784 miliar (2018), Rp614 miliar (2019), Rp430 miliar (2020), dan Rp481 miliar (2021).

“Rp610 miliar untuk meng-cover seluruh wilayah Indonesia tentu sangat berkurang. Jadi, sistem peringatan dini bencana di Indonesia itu masih jauh dari memadai,” jelasnya.

Catatan BNPB menyebut sepanjang 2020 telah terjadi 2.925 kejadian bencana alam, yang didominasi bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bencana banjir muncul sebanyak 1.065 kali pada 2020.

Pada Maret 2021, DPR menyetujui permintaan penambahan pagu anggaran oleh BNPB. Nilai yang disepakati sekitar Rp814 miliar dari semula Rp813 miliar. Angka ini naik ketimbang tiga tahun belakangan, tapi masih di bawah anggaran 2015 dan 2016 yang menyentuh satu triliun.

Raditya Jati, Kapusdatinkom BNPB, mengklaim alokasi anggaran itu bukanlah masalah, tapi tantangannya “bagaimana memanfaatkan anggaran itu dengan baik, selain meningkatkan koordinasi antarlembaga yang sebetulnya makin ke sini makin bisa bersinergi.”

Selain anggaran untuk respons bencana alam, beban lain adalah anggaran untuk mitigasi krisis iklim itu sendiri.

Data Kementerian Keuangan menjelaskan sekitar Rp72 miliar dialokasikan untuk mitigasi perubahan iklim pada 2018. Jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya, yakni Rp95 miliar. Angka itu diambil dari enam kementerian—Kemenhub, Kemenperin, Kementan, KLHK, KESDM, KPUPR—yang dipasrahi tugas pengendalian dampak atas perubahan iklim.

Dan, sekalipun sudah ada alokasi anggarannya, tapi serapannya belum maksimal.

Hanya ada tiga kementerian yang serapan anggarannya melebihi 90 persen: PUPR (91 persen, 2017), Kementan (96 persen, 2017), dan Kemenperin (92 persen, 2017). Sisanya masih 50 hingga 80 persen.

Alokasi anggaran mengatasi krisis iklim ini—apakah nilainya kecil atau besar—menggambarkan fokus pemerintahan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, fokus pemerintah berkutat pada “percepatan pembangunan,” “struktur perekonomian yang kokoh,” “transformasi ekonomi,” atau “sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.” Sementara Presiden Joko Widodo menempatkan isu perubahan dan krisis iklim di urutan nomor lima dari enam agenda pembangunan setelah “ketahanan ekonomi,” “mengembangkan wilayah,” “revolusi mental,” dan “memperkuat infrastruktur.”

Padahal bencana yang disebabkan krisis iklim membikin negara merugi hingga Rp20 triliun per tahun, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Investasi Lapar Lahan

Menempatkan krisis iklim sebagai prioritas utama pembangunan adalah memutus ekonomi sebuah negara tidak terlalu bergantung pada batubara, tambang, dan industri perkebunan dan properti skala besar, di antara hal lain. Industri-industri ini dinilai telah mengubah alih fungsi lahan dan kawasan secara besar-besaran, dari pegunungan hingga laut, dari sungai, hutan, hingga teluk.

Sebagai gambaran, sebuah daerah bernama Bahodopi di Morowali, Sulawesi Tengah, pada Juli tahun lalu banjir besar, dua desanya terendam. Di daerah yang kaya nikel ini, pada 2013, pemerintah memberikan izin pabrik nikel terbesar bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), hasil kongsi swasta antara Indonesia dan Cina; Shanghai Decent Investment Group serta Sulawesi Mining Investment dan Bintang Delapan Group, disebut-sebut bisa mendulang penjualan hingga 2,6 miliar dolar AS. Tahun ini, mereka merencanakan membangun empat pabrik produksi katoda nikel cobalt berkapasitas 240 ribu ton nikel murni, dengan nilai investasi setara Rp43,5 triliun, yang bakal menjadi salah satu smelter nikel cobalt terbesar di dunia.

Kerusakan ekologi itu dianggap ongkos pembangunan. “Setiap tahun kecamatan Bahodopi terkena banjir akibat eksploitasi tambang di wilayah hulu,” kata Direktur Jatam Sulawesi Tengah, Mohammad Taufik, kepada reporter Tirto, Reja Hidayat. Data Puskesmas Bahodopi tahun 2018 menunjukkan 52 persen warga yang memeriksa kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan milik pemerintah mengidap infeksi saluran pernafasan atas.

“Ini memperlihatkan pertumbuhan ekonomi adalah segalanya, dan konsekuensinya kerusakan lingkungan. Bangun ekonomi, [tapi] perbaiki lingkungannya belakangan,” pendapat Tata Mustasya dari Greenpeace Asia Tenggara.

Banjir meluas awal tahun ini di Kalimantan Selatan juga dari ekor perubahan kawasan itu yang 1,2 juta dari 3,7 juta hektarenya dieskploitasi untuk tambang batu bara dan 618 ribu ha telah berubah jadi kebun sawit, menurut Jaringan Advokasi Tambang.

Sejauh ini pemerintahan Jokowi meyakini penyebab banjir dan badai itu adalah cuaca ekstrem. Sebagaimana kisah umumnya, proyek-proyek investasi yang lapar lahan dan merusak lingkungan ini jalan terus meski ditolak masyarakat.

Upaya penanganan krisis iklim di Indonesia dinilai tambah berat setelah para legislator dan pemerintahan Jokowi mengesahkan UU Cipta Kerja, sebuah Omnibus Law untuk kemudahan izin investasi dan tenaga kerja murah, menurut Tauhid Ahmad dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), lembaga riset di Jakarta.

“Yang bisa jadi solusi supaya kondisi tidak jadi bertambah buruk,” ujarnya, “harus menjaga komitmen dengan regulasi pengendalian perubahan iklim. Sementara di level praktis bisa mempertahankan lahan produktif hingga mulai fokus ke energi terbarukan.”

Sumber: Tirto







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Berita

Siklon Seroja Bukan Terakhir jika Krisis Iklim Tak Segera Ditangani


Share


Oleh JATAM

22 April 2021



Krisis iklim yang memburuk tiap tahun dinilai berkorelasi dengan alih fungsi kawasan menjadi lahan tambang, industri properti wisata, sawit, dll.

Mario Lawi tak pernah menyangka bila satu hari setelah Malam Paskah tahun ini akan berakhir dengan bencana.

Rencana Mario cukup sederhana hari itu: menjemput sang ibu dari rumah sakit untuk kemudian kembali ke rumah. Cuaca ternyata tak bersahabat. Hujan deras mengguyur Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada sore hari hanyalah permulaan dari amuk badai siklon.

“Untung saya bisa membawa ibu dengan selamat sampai rumah,” ucapnya lewat sambungan telepon.

Hujan dan angin menyapu kencang. Sinyal telepon terputus. Kupang dan daerah lain seketika berubah mencekam.

“Sebetulnya kondisi di Kupang relatif enggak terlalu parah dibandingkan kabupaten. Di sana rumah rusak dan korban banyak,” tuturnya. “Ini pengalaman pertama yang pernah dialami masyarakat di sini. Sebelumnya enggak pernah terjadi kayak gini.”

Delapan belas dari 22 kabupaten/kota di NTT, dan sebagian Nusa Tenggara Barat, terdampak siklon tersebut: rumah dan fasilitas umum rusak dan ratusan korban jiwa. Lebih dari sepekan beberapa daerah masih terisolasi dan belum teraliri listrik.

Seroja adalah siklon pertama yang mampu tiba di daratan, menurut Herizal, Deputi Bidang Klimatologi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Penyebabnya, suhu air laut terus merangkak naik.

“Siklon tropis itu sebetulnya jarang masuk [Indonesia] kalau kondisinya normal,” ungkapnya. “Mereka [masuk] selalu di luar lintang 10 di perairan Indonesia. Nah, ini karena suhu [perairan] hangat, maka jadi mendorong. Dan jadi seperti itu karena tidak bisa dilepaskan dari faktor perubahan iklim.”

Bencana Meningkat Seiring Krisis Iklim Sepanjang Januari-Maret tahun ini saja, setidaknya terjadi 763 gelombang bencana di seluruh Indonesia, menurut BNPB, yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia, jutaan lain mengungsi, serta membikin rusak ribuan infrastruktur umum.

Dalam catatan yang sama, BNPB menyebut bencana alam disebabkan faktor hidrometeorologi, suhu dan cuaca ekstrem seperti hujan lebat plus angin kencang, mendominasi temuan tiga sampai empat bulan belakangan.

Awal Januari silam, curah hujan tinggi selama 10 hari membikin beberapa wilayah kota/kabupaten di Kalimantan Selatan tersapu air bah yang menyebabkan puluhan ribu rumah tenggelam, belasan orang meninggal, dan puluhan ribu lain terpaksa mengungsi.

Sama halnya dengan Seroja, banjir di Kalimantan Selatan merupakan yang pertama sekaligus terparah selama 50 tahun terakhir. Persamaan lainnya: keduanya ialah dampak krisis iklim.

Perubahan iklim telah menjadi topik perbincangan global selama dekade terakhir. Puncaknya, pada 2019, demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi oleh anak muda, kelompok sipil, dan ilmuwan merebak di berbagai belahan dunia dengan tuntutan serupa: selamatkan bumi.

Masifnya protes ditandai tahun 2019 adalah tahun terpanas kedua sepanjang satu dekade belakangan. Kemudian, tingkat karbondioksida (CO2) serta gas rumah kaca lain naik pada rekor baru di waktu yang sama.

Darurat iklim ditandai karakteristik sebagai berikut: massa lapisan es di Antartika dan Greenland konsisten berkurang. Data NASA menyebut sejak 1993 hingga 2019, Greenland kehilangan rata-rata 279 miliar ton es dan Antartika 148 miliar ton es setiap tahun.

Lalu, permukaan air laut turut naik sekira 8 inci—setara 20 cm—dalam satu abad terakhir. Pada kurun dua dekade, kenaikannya bahkan dua kali lipat dari abad sebelumnya. Dari sisi keasaman laut terjadi peningkatan 30 persen, disebabkan aktivitas industri manusia yang lebih banyak mengeluarkan karbondioksida ke atmosfer.

Nantinya, karbondioksida diserap lautan. Total ada 20 sampai 30 persen emisi karbondioksida antropogenik yang masuk ke laut dalam beberapa dekade belakangan—kurang lebih 7,2 hingga 10,8 miliar metrik ton per tahun.

Contoh nyata krisis iklim bisa dilihat lewat serangkaian peristiwa ekstrem. Misalnya badai musim dingin terburuk dalam 100 tahun terakhir yang menghajar Texas, Amerika Serikat, Februari lalu.

Krisis Pengetahuan soal Krisis Iklim

Kehadiran siklon Seroja, pada dasarnya, bukan gambaran tunggal mengenai krisis iklim.

Siklon Cempaka, misalnya, menjadi salah satu siklon terkuat menerjang sebagian Pulau Jawa dan Bali pada 2017. Namun, siklon ini hanya sedikit menyentuh daratan karena berpusat di laut. Begitu masuk ke darat, siklon ini pecah dan berurai.

“Karena anomali, muncul di perairan dalam, Indonesia yang sebelumnya merasa aman dari siklon sekarang tidak boleh merasa aman lagi. Sebab kondisi lautnya sudah panas,” kata Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

Widada Sulistya, Ketua Umum Asosiasi Ahli Atmosfer Indonesia, mengatakan pengetahuan mengenai krisis iklim belum merata dan belum sepenuhnya tertangkap oleh publik. Padahal, menurutnya, ada beberapa tanda krisis iklim cukup signifikan seperti naiknya muka laut, perubahan atau pergeseran pola hujan dan musim, serta perubahan suhu di beberapa tempat.

“Contoh nyatanya kalau di Indonesia, air laut sering naik ke darat [rob]. Atau, kadang kita dengar orang ngomong sekarang Bogor nggak dingin kayak dulu,” ujar lulusan fisika Universitas Indonesia ini.

Hasil jajak pendapat oleh YouGov pada 2019 menyatakan 18 persen orang Indonesia tidak percaya aktivitas manusia berpengaruh terhadap perubahan dan krisis iklim. Sedangkan 8 persen lain meyakini korelasi ulah manusia dan krisis iklim hanyalah hoaks dan teori konspirasi.

Studi Climate Central memprediksi air laut akan meninggi 20 hingga 30 sentimeter pada 2050, menyebabkan permukiman-permukiman yang dihuni sekitar 23 juta penduduk di kawasan pesisir Indonesia, termasuk DKI Jakarta, tenggelam. Ancaman ini merupakan efek parah dari emisi karbon.

Sistem Mitigasi Amburadul, Dana Minim

Herizal dari BMKG mengatakan dari sisi penyebaran informasi dan monitoring, telah berupaya bekerja semaksimal mungkin. Ia mencontohkan dari tim meteorologi, lewat pemantauan citra satelit, konsisten mengawasi situasi terkini, termasuk Siklon Seroja kemarin, yang nantinya diolah menjadi informasi untuk kepentingan mitigasi.

“Informasi itu tersedia baik dari kanal informal dan formal,” ujarnya. “Namun, koordinasi [antarlembaga] belum berjalan baik, cenderung terlambat, serta sering terhalang birokrasi,”–tanpa menyebut spesifik letak persis kurangnya koordinasi itu.

Data Badan Pusat Statistik menggambarkan masih timpang ketersediaan sistem peringatan dini bencana alam di seluruh desa Indonesia.

Jawa Timur, misalnya pada 2018, terdapat 1.162 desa dengan sistem peringatan dini bencana alam. Jumlah ini berbeda jauh dengan sebut saja Kalimantan Selatan yang hanya punya 63 desa di tahun yang sama.

Pulau Jawa masih mendominasi keberadaan desa dengan sistem peringatan dini bencana. Tiga wilayahnya rata-rata memiliki lebih dari 500 desa dengan sistem peringatan dini bencana.

Gambaran lebih timpang adalah kategori desa dengan perlengkapan keselamatan. Di Pulau Sulawesi, angka rata-rata desa dengan perlengkapan keselamatan di enam provinsi tak sampai 100 buah pada 2018. Di Sulawesi Barat malah hanya ada 9 desa yang punya perlengkapan keselamatan.

Keadaan itu diperburuk dengan alokasi anggaran.

Maret kemarin, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Doni Monardo mengungkapkan alokasi anggaran rutin BNPB rata-rata turun sebesar 22,08 persen per tahun. Rinciannya seperti berikut: Rp1,661 triliun (2015), Rp1,653 triliun (2016), Rp1,084 triliun (2017), Rp784 miliar (2018), Rp614 miliar (2019), Rp430 miliar (2020), dan Rp481 miliar (2021).

“Rp610 miliar untuk meng-cover seluruh wilayah Indonesia tentu sangat berkurang. Jadi, sistem peringatan dini bencana di Indonesia itu masih jauh dari memadai,” jelasnya.

Catatan BNPB menyebut sepanjang 2020 telah terjadi 2.925 kejadian bencana alam, yang didominasi bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bencana banjir muncul sebanyak 1.065 kali pada 2020.

Pada Maret 2021, DPR menyetujui permintaan penambahan pagu anggaran oleh BNPB. Nilai yang disepakati sekitar Rp814 miliar dari semula Rp813 miliar. Angka ini naik ketimbang tiga tahun belakangan, tapi masih di bawah anggaran 2015 dan 2016 yang menyentuh satu triliun.

Raditya Jati, Kapusdatinkom BNPB, mengklaim alokasi anggaran itu bukanlah masalah, tapi tantangannya “bagaimana memanfaatkan anggaran itu dengan baik, selain meningkatkan koordinasi antarlembaga yang sebetulnya makin ke sini makin bisa bersinergi.”

Selain anggaran untuk respons bencana alam, beban lain adalah anggaran untuk mitigasi krisis iklim itu sendiri.

Data Kementerian Keuangan menjelaskan sekitar Rp72 miliar dialokasikan untuk mitigasi perubahan iklim pada 2018. Jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya, yakni Rp95 miliar. Angka itu diambil dari enam kementerian—Kemenhub, Kemenperin, Kementan, KLHK, KESDM, KPUPR—yang dipasrahi tugas pengendalian dampak atas perubahan iklim.

Dan, sekalipun sudah ada alokasi anggarannya, tapi serapannya belum maksimal.

Hanya ada tiga kementerian yang serapan anggarannya melebihi 90 persen: PUPR (91 persen, 2017), Kementan (96 persen, 2017), dan Kemenperin (92 persen, 2017). Sisanya masih 50 hingga 80 persen.

Alokasi anggaran mengatasi krisis iklim ini—apakah nilainya kecil atau besar—menggambarkan fokus pemerintahan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, fokus pemerintah berkutat pada “percepatan pembangunan,” “struktur perekonomian yang kokoh,” “transformasi ekonomi,” atau “sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.” Sementara Presiden Joko Widodo menempatkan isu perubahan dan krisis iklim di urutan nomor lima dari enam agenda pembangunan setelah “ketahanan ekonomi,” “mengembangkan wilayah,” “revolusi mental,” dan “memperkuat infrastruktur.”

Padahal bencana yang disebabkan krisis iklim membikin negara merugi hingga Rp20 triliun per tahun, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Investasi Lapar Lahan

Menempatkan krisis iklim sebagai prioritas utama pembangunan adalah memutus ekonomi sebuah negara tidak terlalu bergantung pada batubara, tambang, dan industri perkebunan dan properti skala besar, di antara hal lain. Industri-industri ini dinilai telah mengubah alih fungsi lahan dan kawasan secara besar-besaran, dari pegunungan hingga laut, dari sungai, hutan, hingga teluk.

Sebagai gambaran, sebuah daerah bernama Bahodopi di Morowali, Sulawesi Tengah, pada Juli tahun lalu banjir besar, dua desanya terendam. Di daerah yang kaya nikel ini, pada 2013, pemerintah memberikan izin pabrik nikel terbesar bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), hasil kongsi swasta antara Indonesia dan Cina; Shanghai Decent Investment Group serta Sulawesi Mining Investment dan Bintang Delapan Group, disebut-sebut bisa mendulang penjualan hingga 2,6 miliar dolar AS. Tahun ini, mereka merencanakan membangun empat pabrik produksi katoda nikel cobalt berkapasitas 240 ribu ton nikel murni, dengan nilai investasi setara Rp43,5 triliun, yang bakal menjadi salah satu smelter nikel cobalt terbesar di dunia.

Kerusakan ekologi itu dianggap ongkos pembangunan. “Setiap tahun kecamatan Bahodopi terkena banjir akibat eksploitasi tambang di wilayah hulu,” kata Direktur Jatam Sulawesi Tengah, Mohammad Taufik, kepada reporter Tirto, Reja Hidayat. Data Puskesmas Bahodopi tahun 2018 menunjukkan 52 persen warga yang memeriksa kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan milik pemerintah mengidap infeksi saluran pernafasan atas.

“Ini memperlihatkan pertumbuhan ekonomi adalah segalanya, dan konsekuensinya kerusakan lingkungan. Bangun ekonomi, [tapi] perbaiki lingkungannya belakangan,” pendapat Tata Mustasya dari Greenpeace Asia Tenggara.

Banjir meluas awal tahun ini di Kalimantan Selatan juga dari ekor perubahan kawasan itu yang 1,2 juta dari 3,7 juta hektarenya dieskploitasi untuk tambang batu bara dan 618 ribu ha telah berubah jadi kebun sawit, menurut Jaringan Advokasi Tambang.

Sejauh ini pemerintahan Jokowi meyakini penyebab banjir dan badai itu adalah cuaca ekstrem. Sebagaimana kisah umumnya, proyek-proyek investasi yang lapar lahan dan merusak lingkungan ini jalan terus meski ditolak masyarakat.

Upaya penanganan krisis iklim di Indonesia dinilai tambah berat setelah para legislator dan pemerintahan Jokowi mengesahkan UU Cipta Kerja, sebuah Omnibus Law untuk kemudahan izin investasi dan tenaga kerja murah, menurut Tauhid Ahmad dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), lembaga riset di Jakarta.

“Yang bisa jadi solusi supaya kondisi tidak jadi bertambah buruk,” ujarnya, “harus menjaga komitmen dengan regulasi pengendalian perubahan iklim. Sementara di level praktis bisa mempertahankan lahan produktif hingga mulai fokus ke energi terbarukan.”

Sumber: Tirto



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang