Tambang Tunggangi Politik Indonesia
Seruan Aksi
Tambang Tunggangi Politik Indonesia
Oleh JATAM
21 Mei 2018
“Bersihkan Demokrasi Indonesia dari Jejak Busuk Industri Tambang dan Ekstraktif”
Latar belakang
Sejak masa Orde Baru (Orba) berkuasa, negara sudah seringkali tampil sebagai oligarki-predator ekonomi dan politik yang mengakumulasi jaringan bisnis dan politik. Jaringan bisnis dan politik ini selain melibatkan aktor-aktor politik di dalam birokrasi pemerintahan, juga melibatkan para pemilik modal yang menjadi kroni atau klien bisnis. Kini kekuasaan oligarki-predatoris tersebut telah menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik melalui struktur jaringan bisnis dan politik antara negara dan modal dalam pola hubungan saling menguntungkan.
Pesta demokrasi seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) merupakan salah satu celah yang selalu dimanfaatkan para aktor politik dan pemilik modal tersebut. Tujuannya jelas untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik. Maka investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk kebutuhan politik Pemilukada, Pileg dan Pilpres ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan.
Fenomena-fenomena di atas sesungguhnya sering terjadi, hanya saja berlangsung dalam ruang tertutup, luput dari pantauan penegak hukum dan publik luas. Akan tertapi, tindak pidana korupsi yang dilakukan Bupati Tanah Laut, Andriansyah pada 2015 yang menerima suap dari pemegang saham PT Mitra Maju Sukses; Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang menerima suap persetujuan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi PT Anugrah Harisma Barakah pada 2017; juga Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman yang terlibat praktik suap atas penerbitan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Konawe Utara sepanjang 2007 dan 2014 hingga Kasus Praktik Suap Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang menerima dana politik dari Pengusaha Sawit, Hery Susanto (Abun) PT Sawit Golden Prima sebesar 6 miliar rupiah merupakan deretan contoh-contoh kasus yang menunjukkan persekongkolan antara pemilik modal dan politisi, atau apa yang sering disebut sebagai ijon politik.
Contoh-contoh lain di sektor tambang juga terkait fenomena obral izin tambang menjelang pesta elektoral digelar. Sepanjang 2017 dan 2018 tahun dimana Pilkada Serentak digelar, misalnya, JATAM mencatat terdapat 170 izin tambang baru yang diterbitkan para kepala daerah. Trend peningkatan izin tambang di tahun politik ini cenderung terkait kepentingan pembiayaan kampanye melalui ijon politik.
Pesta elektoral yang memilih wakil rakyat di legislatif maupun eksekutif, dan seyogianya bertujuan untuk membawa kesejahteraan bersama, justru meningkatkan laju krisis sosial ekologis, bahkan hanya dimanfaatkan untuk menangguk kekayaan pribadi elit politik, juga mengisi kantong-kantong kekuasaan semata.
Suara rakyat kemudian tidak lebih dari sekedar alat tukar yang harus ditangguk dengan segala cara. Dari cara yang paling lunak, lewat gincu-gincu pencitraan kandidat, hingga cara yang paling menjijikkan, seperti penyebarluasan fitnah-fitnah keji terhadap lawan politik. Pada hakekatnya, semua cara tersebut seolah menunjukkan satu pandangan dan anggapan bahwa rakyat Indonesia bodoh dan miskin. Mereka mudah dibohongi. Jika pun sulit dibohongi sedikitnya mereka mudah dibeli dengan harga sangat murah.
Atas kondisi inilah JATAM bersama Simpul dan Jaringan Daerah menyerukan kepada segenap elemen bangsa yang peduli untuk bersatu, melakukan aksi dan atau kegiatan lainnya dalam kerangka untuk menolak pesta elektoral yang tidak menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan. Hal ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa legitimasi tetap berada di tangan rakyat tanpa perantara. Rakyat perlu menunjukkan bahwa kita tidak bodoh dan tidak mudah dibodohi. Rakyat perlu menunjukkan bahwa, meskipun kita miskin secara material karena akses produksi dan konsumsi dikendalikan oleh pelaku pasar bebas, harga diri kita tidak semurah harga beberapa bungkus Sembako.
Kesadaran kritis rakyat juga harus dibangkitkan untuk menghargai apa yang saat ini sudah dikuasai dan dimiliki, karena itu adalah alas dan kapital organik setempat yang harus digunakan untuk mewujudkan jejaring produksi dan konsumsi yang berdaya-pulih. Karena rakyat tidak dapat lagi berharap bahwa negara akan menjamin keselamatan mereka. Rakyat sendiri yang mampu menentukan apakah mereka akan selamat atau harus menyingkir dari ruang hidup mereka.
Kini Indonesia sedang menghadapi Tahun Politik, Pilkada Serentak akan diselenggarakan 171 wilayah di Indonesia yang merupakan wilayah dimana 7180 IUP atau 83 persen keberadaan izin tambang selama ini, karena itu sangat rentan mobilisasi izin tambang dan sumberdaya alam dimobilisasi untuk mendukung pembiayaan politik para kandidat.
Apa yang dapat kita lakukan? Menolak berpartisipasi pada Pilkada serentak tahun 2018 serta Pileg dan Pilpres tahun 2019 apabila:
- Tidak ada jaminan perlindungan hukum yang berkeadilan terhadap penggusuran rumah, halaman, kebun dan sawah sebagai sumber dan alat produksi rakyat atas nama pertumbuhan ekonomi nasional, yang akan diwujudkan lewat perluasan perkebunan skala raksasa, tambang-tambang mineral, tambang-tambang batubara, serta penggalian pasir dan batu di wilayah tangkapan air dan badan-badan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan.
- Tidak ada jaminan langkah-langkah hukum yang berkeadilan untuk pemulihan hak-hak rakyat atas penggusuran dan penyerobotan rumah, halaman, kebun dan sawah serta penghancuran ruang hidup yang sudah terjadi.
- Tidak ada niat dan kemauan politik dari mereka yang berkontestasi pada Pilada serentak tahun 2018 serta Pileg dan Pilpres tahun 2019 untuk membongkar dan menuntaskan tunggakan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini telah menjadi beban bagi setiap rezim penguasa untuk dapat menyelenggarakan pelayanan publik dan pengembangan ekonomi-politik yang berkeadilan.
Apa itu HATAM?
Sejak 2011, tanggal 29 Mei diperingati sebagai Hari Anti Tambang atau HATAM. Tanggal 29 Mei sebagai HATAM karena bertepatan dengan semburan pertama tragedi Lumpur Lapindo di Sidoarjo. HATAM didasari pada kenyataan bahwa sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah (Make Mining History) dalam perjalanan bangsa ke depan.
Terbukti, pertambangan di Indonesia yang sudah berusia ratusan tahun ini malah terus menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin dan terjajah. Tidak hanya itu, industri pertambangan telah berhasil menghapus mimpi dan cita-cita anak bangsa dan bahkan telah merenggut ratusan nyawa.
Bagaimana Merayakan HATAM?
Kita semua dapat mendesakkan Pandangan dan Tuntutan kita dengan berbagai cara kreatif, dimulai dari Aksi, Diskusi Publik, Pemutaran Film ataupun melalui berbagai Kegiatan kesenian dan kebudayaan rakyat yang relevan.
Pada HATAM 2017 lalu, terdapat 29 simpul dan jaringan yang ikut merayakan HATAM dengan berbagai bentuk Aksi, Diskusi, Kegiatan Seni dan Kebudayaan mendesakkan perubahan kebijakan terkait pertambangan mutakhir yang terus menciptakan dehumanisasi dan degradasi kehidupan.
Informasi Tambahan:
Untuk mengeksplorasi lebih lanjut, JATAM mengeluarkan Dokumen Q&A Kampanye Berjudul “Tambang Tunggangi Politik di Indonesia” dan produk Kampanye lainnya silahkan kunjungi www.jatam.org
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang