Separuh Pulau Jadi Wilayah Tambang Emas, Warga Sangihe Keberatan
Berita
Separuh Pulau Jadi Wilayah Tambang Emas, Warga Sangihe Keberatan
Oleh JATAM
09 Mei 2021
Lebih dari separuh luas Pulau Sangihe, Sulut, ditetapkan sebagai wilayah pertambangan emas milik PT Tambang Mas Sangihe. Koalisi 25 organisasi masyarakat di Kepulauan Sangihe meresponsnya dengan penolakan.
Lebih dari separuh luas Pulau Sangihe di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, ditetapkan sebagai wilayah pertambangan emas milik PT Tambang Mas Sangihe. Koalisi 25 organisasi masyarakat di Kepulauan Sangihe meresponsnya dengan penolakan karena khawatir akan kerusakan alam. Pemberian izin usaha pertambangan tersebut juga disebut menyalahi hukum.
Diakses pada Rabu (21/4/2021), data Minerba One Map Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) mengantongi kontrak karya pertambangan emas di paruh selatan Pulau Sangihe seluas 42.000 hektar. Wilayah itu lebih dari setengah luas Pulau Sangihe beserta pulau kecil di sekitarnya, yaitu 73.698 hektar.
PT TMS kini telah memasuki tahapan kegiatan operasi produksi setelah mengantongi Surat Keputusan 163.K/MB.04/DJB/2021. Perusahaan itu pun berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun, terhitung dari 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054.
Hal ini menuai penolakan dari gerakan Save Sangihe Island. Menurut koordinator gerakan, Alfred Pontolondo, isu ini baru menjadi perhatian mereka satu bulan terakhir. Itu setelah media setempat mengabarkan PT TMS akan membeli tanah warga Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, seharga Rp 50 juta per hektar alias Rp 5.000 per meter persegi.
Sebelum itu, ia mengaku tidak ada satu pun anggota gerakan yang mengetahui adanya tambang emas di Sangihe, termasuk Badan Adat Sangihe. ”Setelah kami cari informasi, ternyata PT TMS sudah ada di Sangihe sejak 2007 sampai 2017. Mereka melanjutkan sisa kontrak karya eksplorasi selama 30 tahun sejak 1987,” kata Alfred.
Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk PT TMS telah rampung dan menjadi landasan izin lingkungan dari Pemprov Sulut pada September 2020. Namun, ia mengklaim masyarakat tidak pernah diajak berkonsultasi, terutama yang tinggal di paruh utara pulau.
Izin lingkungan itu baru mencakup lahan seluas 65 hektar di Kampung Bowone, tetapi dikhawatirkan akan terus meluas. Secara hukum, kata Alfred, tidak boleh ada tambang di Sangihe yang tergolong pulau kecil, dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi, sesuai Pasal 23 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP3K).
Alfred juga mempertanyakan keabsahan perpanjangan kontrak karya PT TMS. Menurut UU No 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), kontrak karya hanya boleh diperpanjang dua kali, masing-masing 10 tahun. Namun, Kementerian ESDM langsung memberikan izin sampai 33 tahun setelah jeda 4 tahun sejak 2017.
”Kami akan ajukan gugatan lewat pengadilan dan mengadukannya ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kami juga akan mengirimkan surat kepada Pak Presiden Joko Widodo dengan melampirkan surat penolakan masyarakat. Sementara kami juga menggalang dukungan lewat petisi online,” kata Alfred.
Save Sangihe Island sepakat tidak ingin alam Sangihe dirusak tambang. Menurut Alfred, penambangan di daerah pesisir akan memicu pencemaran laut akibat tailing (pembuangan limbah ke laut), sebagaimana terjadi di Teluk Buyat, Minahasa Tenggara sehingga warga keracunan merkuri pada 2004.
Tambang di wilayah daratan juga akan menggusur perkebunan warga yang ditumbuhi sagu, kelapa, dan umbi-umbian. Sangihe juga akan kehilangan hutan lindung di Gunung Sahendarumang yang menjadi sumber oksigen dan air bersih. Satwa-satwa endemik, seperti burung serindit dan burung seriwang, pun akan hilang.
Peradaban Sangihe tidak dibangun oleh tambang, melainkan perikanan dan perkebunan. Kami bahagia-bahagia saja tanpa tambang. Masa depan pulau ini penting untuk kami wariskan kepada anak-cucu kami,” ujar Alfred.
Alfred berharap masyarakat menolak menjual tanahnya tanpa kompromi. Namun, ia mengatakan, di Kampung Bowone telah ada pertambangan rakyat. Padahal, wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang resmi di Sulut hanya ada di Desa Tatelu (Minahasa Utara) dan Desa Tobongon (Bolaang Mongondow Timur).
Operasi produksi PT TMS dikabarkan akan dimulai pada Juni 2021. Hingga berita ini ditulis, salah satu manajer tambang PT TMS belum menjawab permintaan wawancara dari Kompas.
Dalam kunjungan ke Manado pekan lalu, Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana mengatakan, izin dari pemerintah pusat sudah terbit. Pemkab pun tidak mungkin menentangnya.
Jabes menambahkan, luas wilayah operasi produksi saat ini juga hanya 65 hektar. ”Itu, kan, kecil sekali areanya. Sejauh ini, masyarakat di Sangihe masih aman-aman saja,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Marly Gumalag mengatakan, kegiatan PT TMS di wilayah 65 hektar sudah mengantongi amdal sehingga tak perlu dikhawatirkan. Artinya, perusahaan itu sudah memiliki perencanaan dan memperhitungkan dampak penting yang ditimbulkan dan menanganinya dengan teknologi.
”Kalau sudah ada amdal, itu justru baik buat kita semua. Saat melakukan pengawasan, kami bisa melihat apakah perusahaan menepati semua persyaratan sesuai dokumen amdal. Perusahaan juga wajib melaporkan apa yang sudah dilakukan, bagaimana caranya, dan apa hasilnya,” ujarnya.
Marly menambahkan, PT TMS wajib membuat amdal baru jika ingin memperlebar wilayah operasi produksinya, asalkan masih di dalam wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) menurut kontrak karya. ”Bisa saja saat ini mereka baru menemukan potensi tambang di satu area tersebut,” kata Marly.
Sementara itu, Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sulut Jemmy Mokolensang mengatakan, UU Nomor 3/2020 menetapkan, pemprov tidak terlibat dalam penerbitan izin perpanjangan masa kontrak karya. Pengawasan nantinya juga langsung dilakukan oleh inspektur pertambangan dari Kementerian ESDM. Saat ini, kewenangan Dinas ESDM hanya memfasilitasi pembuatan WIUP dan WPR. ”Selain itu, semua kewenangan sudah ditarik ke pusat,” kata Jemmy.
Sumber: Kompas.id
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang