Revisi Rencana Pembangunan PLTU
Berita
Revisi Rencana Pembangunan PLTU
Oleh JATAM
16 Oktober 2017
Presiden didesak merevisi total rencana pembangunan pembangkit listrik dari sumber energi batubara. Pembangkit listrik energi batubara berdampak buruk pada lingkungan, kesehatan, kondisi sosial-ekonomi, dan keuangan negara. Desakan tersebut disampaikan Koalisi Break Free from Coal (KBFC), Senin (9/10) di Jakarta. Koalisi ini beranggotakan organisasi lingkungan Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan 350.org Indonesia. Rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang ditargetkan selesai 2019 sebanyak 20.000 MW merupakan PLTU-B (PLTU dengan sumber energi batubara).
Saat ini ada 22.000 MW merupakan PLTU-B. Data Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyebutkan, kebutuhan batubara total untuk 42.000 MW PLTU-B adalah 156 juta ton batubara.
”Sekarang produksi yang diekspor sekitar 300 juta ton-350 juta ton. Setelah pembangunan 35.000 MW kebutuhan bertambah 80 juta ton, maka perlu peningkatan produksi menjadi 456 juta ton-506 juta ton,” ujar Koordinator Nasional Jatam Merah Johansyah saat dihubungi.
”Logikanya, akan ada perluasan (wilayah pertambangan) karena butuh peningkatan produksi untuk keruk batubara,” ujarnya. Menurut dia, sekitar empat perusahaan tambang batubara besar sedang berencana mengurus analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). ”Ini otomatis perlu perluasan penambangan, perlu konsesi baru,” kata Merah.
Potensi konflik sosial
Perluasan wilayah pertambangan tersebut, menurut Merah, berpotensi melahirkan konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama berkaitan dengan masyarakat adat. Merah mencontohkan, sebuah perusahaan tambang di Kalimantan merencanakan pemindahan desa, yaitu Desa Keraitan, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur untuk perluasan wilayah tambang.
”Di sana ada warga Dayak Basap terdiri atas 70 kepala keluarga. Yang setuju dipindah ke Desa Keraitan Baru. Perluasan ini berpotensi menimbulkan konflik dan pelanggaran HAM. Kami sudah melaporkan kepada Komnas HAM. Ini sudah ada sejak 2015,” ujar Merah.
Berdasarkan penelitian Waterkeeper Alliance dan Jatam, produksi beras akan turun 7,7 juta ton karena pengalihan fungsi lahan. Saat ini ada perusahaan akan menggeser sungai, yaitu Sungai Santan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan Bontang. Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris dan mengajukan usulan kontribusi nasional pengurangan emisi (NDC) 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing dari emisi tanpa upaya apa pun. Pembangunan perusahaan tersebut akan menambah emisi karbon 108 juta ton per tahun.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika menegaskan soal dampak tambang batubara terhadap kesehatan. Tahun 2015 Greenpeace Indonesia bersama Harvard University menulis laporan terkait tambang batubara. Dalam laporan itu disebutkan: angka penderita stroke, kanker paru-paru, serta penyakit pernapasan dan terkait jantung lainnya akan menjadi dua kali lipat.
Manajer Kampanye Urban dan Energi Walhi Dwi Sawung menambahkan, ”Total kerugian kesehatan Rp 315 triliun kalau (PLTU-B) beroperasi. Banyak lagi yang belum dihitung, kehilangan mata pencarian, konflik, dan lain-lain.” Sementara kerugian finansial potensial mencapai Rp 219 triliun hingga 2040. Padahal, produksi listrik telah surplus 20 persen sejak 2015.
Sumber: Kompas
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang