Rancangan RTRW Konkep Dibajak Korporasi Tambang


Siaran Pers

Rancangan RTRW Konkep Dibajak Korporasi Tambang


Oleh JATAM

16 April 2021





Konkep, 16 April 2021 – Rencana Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) atau Pulau Wawonii, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kementerian ATR/BPN yang berupaya mengalokasikan ruang tambang dalam Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Konkep, membawa ancaman besar bagi warga dan pulau kecil Wawonii.

Ancaman itu terkait keselamatan lahan-lahan pertanian/perkebunan, sumber mata air, dan wilayah pesisir dan laut yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian petani dan nelayan di pulau Wawonii.

Sebagaimana diketahui, pulau Wawonii, meski telah mekar sejak tahun 2013 lalu, Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pulau kecil itu masih tertahan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). Sehingga untuk kepentingan arahan dalam memanfaatkan ruang, Kabupaten Konawe Kepulauan masih mengacu pada RTRW Konawe, selaku kabupaten induk sebelum dimekarkan.

Adapun draft Rancangan RTRW Pulau Wawonii, selama ini tertahan di Kementerian ATR/BPN di Jakarta, hingga pada Selasa, 23 Maret 2021 lalu, kembali dibahas melalui Rapat Koordinasi Pembahasan Persetujuan Substansi RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan di Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara.

Salah satu isu strategis yang mengemuka, adalah terkait isu pertambangan. Pemerintah, dalam rapat itu, membicarakan soal siasat untuk mengalokasikan ruang tambang, sesuatu yang telah lama mendapat resistensi dari warga pulau.

Sejarah Perlawanan Tambang

Secara historis, keberadaan industri tambang di Pulau Wawonii telah mendapat penolakan dari masyarakat, terhitung sejak PT Derawan Berjaya Mining yang hendak menambang pasir krom di Desa Polara dan Desa Tondongito, Kecamatan Wawonii Tenggara pada tahun 2007 lalu.

Warga yang khawatir dan terancam keselamatan dan ruang produksinya, kemudian melawan. Hingga puncaknya, pada Minggu, 8 Maret 2015, warga terpaksa membakar kompleks pabrik serta peralatan perusahaan. Akibatnya, 14 warga luka-luka akibat represif aparat keamanan dan satu orang mendekam di penjara karena dituduh sebagai pimpinan pembakaran perusahaan PT Derawan Berjaya Mining.

Resistensi warga terhadap tambang tak berhenti di situ. Sikap ngotot pemerintah yang abai terhadap aspirasi warga, juga terjadi ketika PT Gema Kreasi Perdana (GKP) hendak menambang nikel di Pulau Wawonii.

PT GKP yang membangun jalan tambang ke wilayah konsesi, dengan menerobos lahan-lahan milik warga, memicu konflik yang besar dan berkepanjangan. Sebanyak 28 warga dikriminalisasi dengan tuduhan mengada-ada, mulai dari perampasan kemerdekaan, ancaman, penganiayaan, hingga pencemaran nama baik. Padahal, warga hanya sebatas mempertahankan tanah-airnya sendiri, sebagai penopang utama kehidupan, termasuk membiayai pendidikan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi.

Tak hanya itu, Terminal Khusus (tersus) milik PT GKP yang dibangun di di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, juga tidak diatur (melanggar) dalam Perda Sulawesi Tenggara No. 9 Tahun 2018-2038 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Kini, ancaman itu semakin besar dan kompleks, ketika Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kementerian ATR/BPN berupaya mengalokasikan ruang tambang dalam Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Konkep.

Proses pembahasan rancangan RTRW itu tampak memperlakukan warga Pulau Wawonii secara diskriminatif, tanpa ada pemberitahuan dan pelibatan, serta berlangsung di tengah Pandemi COVID-19.

Bahkan, secara substansi, upaya alokasi ruang tambang di Pulau kecil Wawonii bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dari Perda Kabupaten, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang, substansinya, pemanfaatan pulau kecil tidak diprioritaskan untuk tambang.

Berangkat dari situasi itu, kami mendesak:

  1. Mendesak Menteri ATR/BPN, Gubernur Sultra, Bupati dan DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan untuk tidak memasukan dan atau mengalokasikan ruang bagi industri tambang dalam Rancangan RTRW Konkep.
  2. Pempublikasikan segera Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Naskah Akademik, dan draft RTRW Konkep itu, berikut libatkan warga Pulau Wawonii dalam seluruh proses pembahasan.
  3. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri dugaan transaksi korupsi antara Kementerian ATR/BPN, Pemda Konkep, Pemprov Sultra, dengan pihak korporasi tambang dalam kaitan dengan pembahasan rancangan RTRW dan proses penerbitan izin tambang di Pulau Wawonii.

Narahubung:

FRSBW – Mando Maskuri – +62 822-5951-2921
JATAM – Muh Jamil – +62 821-5647-0477
KIARA – Fikerman Saragi – +62823 6596 7999

 

Catatan redaksi:

Potret Krisis Pulau Wawonii

Pulau Wawonii Terancam Lenyap







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Rancangan RTRW Konkep Dibajak Korporasi Tambang


Share


Oleh JATAM

16 April 2021



Konkep, 16 April 2021 – Rencana Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) atau Pulau Wawonii, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kementerian ATR/BPN yang berupaya mengalokasikan ruang tambang dalam Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Konkep, membawa ancaman besar bagi warga dan pulau kecil Wawonii.

Ancaman itu terkait keselamatan lahan-lahan pertanian/perkebunan, sumber mata air, dan wilayah pesisir dan laut yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian petani dan nelayan di pulau Wawonii.

Sebagaimana diketahui, pulau Wawonii, meski telah mekar sejak tahun 2013 lalu, Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pulau kecil itu masih tertahan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). Sehingga untuk kepentingan arahan dalam memanfaatkan ruang, Kabupaten Konawe Kepulauan masih mengacu pada RTRW Konawe, selaku kabupaten induk sebelum dimekarkan.

Adapun draft Rancangan RTRW Pulau Wawonii, selama ini tertahan di Kementerian ATR/BPN di Jakarta, hingga pada Selasa, 23 Maret 2021 lalu, kembali dibahas melalui Rapat Koordinasi Pembahasan Persetujuan Substansi RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan di Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara.

Salah satu isu strategis yang mengemuka, adalah terkait isu pertambangan. Pemerintah, dalam rapat itu, membicarakan soal siasat untuk mengalokasikan ruang tambang, sesuatu yang telah lama mendapat resistensi dari warga pulau.

Sejarah Perlawanan Tambang

Secara historis, keberadaan industri tambang di Pulau Wawonii telah mendapat penolakan dari masyarakat, terhitung sejak PT Derawan Berjaya Mining yang hendak menambang pasir krom di Desa Polara dan Desa Tondongito, Kecamatan Wawonii Tenggara pada tahun 2007 lalu.

Warga yang khawatir dan terancam keselamatan dan ruang produksinya, kemudian melawan. Hingga puncaknya, pada Minggu, 8 Maret 2015, warga terpaksa membakar kompleks pabrik serta peralatan perusahaan. Akibatnya, 14 warga luka-luka akibat represif aparat keamanan dan satu orang mendekam di penjara karena dituduh sebagai pimpinan pembakaran perusahaan PT Derawan Berjaya Mining.

Resistensi warga terhadap tambang tak berhenti di situ. Sikap ngotot pemerintah yang abai terhadap aspirasi warga, juga terjadi ketika PT Gema Kreasi Perdana (GKP) hendak menambang nikel di Pulau Wawonii.

PT GKP yang membangun jalan tambang ke wilayah konsesi, dengan menerobos lahan-lahan milik warga, memicu konflik yang besar dan berkepanjangan. Sebanyak 28 warga dikriminalisasi dengan tuduhan mengada-ada, mulai dari perampasan kemerdekaan, ancaman, penganiayaan, hingga pencemaran nama baik. Padahal, warga hanya sebatas mempertahankan tanah-airnya sendiri, sebagai penopang utama kehidupan, termasuk membiayai pendidikan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi.

Tak hanya itu, Terminal Khusus (tersus) milik PT GKP yang dibangun di di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, juga tidak diatur (melanggar) dalam Perda Sulawesi Tenggara No. 9 Tahun 2018-2038 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Kini, ancaman itu semakin besar dan kompleks, ketika Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kementerian ATR/BPN berupaya mengalokasikan ruang tambang dalam Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Konkep.

Proses pembahasan rancangan RTRW itu tampak memperlakukan warga Pulau Wawonii secara diskriminatif, tanpa ada pemberitahuan dan pelibatan, serta berlangsung di tengah Pandemi COVID-19.

Bahkan, secara substansi, upaya alokasi ruang tambang di Pulau kecil Wawonii bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dari Perda Kabupaten, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang, substansinya, pemanfaatan pulau kecil tidak diprioritaskan untuk tambang.

Berangkat dari situasi itu, kami mendesak:

  1. Mendesak Menteri ATR/BPN, Gubernur Sultra, Bupati dan DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan untuk tidak memasukan dan atau mengalokasikan ruang bagi industri tambang dalam Rancangan RTRW Konkep.
  2. Pempublikasikan segera Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Naskah Akademik, dan draft RTRW Konkep itu, berikut libatkan warga Pulau Wawonii dalam seluruh proses pembahasan.
  3. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri dugaan transaksi korupsi antara Kementerian ATR/BPN, Pemda Konkep, Pemprov Sultra, dengan pihak korporasi tambang dalam kaitan dengan pembahasan rancangan RTRW dan proses penerbitan izin tambang di Pulau Wawonii.

Narahubung:

FRSBW – Mando Maskuri – +62 822-5951-2921
JATAM – Muh Jamil – +62 821-5647-0477
KIARA – Fikerman Saragi – +62823 6596 7999

 

Catatan redaksi:

Potret Krisis Pulau Wawonii

Pulau Wawonii Terancam Lenyap



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang