Memilih Ekonomi Tanding yang Berdaulat dan Berkelanjutan, Bukan Batubara
Berita
Memilih Ekonomi Tanding yang Berdaulat dan Berkelanjutan, Bukan Batubara
Oleh JATAM
21 Desember 2016
Salah satu program unggulan Jokowi – JK adalah pembangunan proyek listrik 35.000 megawatt. Presiden Jokowi menjanjikan proyek yang telah dimulai sejak 2015 lalu ini akan rampung pada tahun 2019, tahun terakhir masa pemerintahannya. Klaim Pemerintah bahwa proyek 35.000 MW akan memenuhi pasokan bagi 13% rakyat Indonesia yang belum teraliri llistrik, agaknya jauh panggang dari api. Mengingat, sekitar 60% (21.000 MW) dari total 35.000 megawatt pembangkit listrik akan dibangun justru di wilayah industri Jawa dan Bali, dalam arti memenuhi rakusnya kebutuhan industri di Pulau Jawa.
Wilayah Sumatera hanya akan kebagian 9.061 MW (25,5%), Sulawesi mendapatkan jatah sebesar 2.574 MW (7,2%), sedangkan wilayah Kalimantan akan mendapatkan 1.881 MW (5,3%), sementara wilayah Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku hanya akan mendapatkan 665 MW (1,9%), 317 MW (0,9%), dan 241 MW (0,7%). Sisanya, hanya akan memenuhi kebutuhan pulau Jawa dan Bali, khususnya kebutuhan industri.
Data sebaran lokasi pembangkit listrik proyek 35.000 megawatt menunjukkan secara jelas bahwa cita-cita Pemerintah Jokowi – JK untuk menyediakan listrik bagi rakyat Indonesia yang belum mendapatkan akses listrik dari Negara tak akan tercapai. Bahkan jika pembangkit listrik dalam proyek tersebut seluruhnya rampung pada tahun 2019. Membangun 21.000 MW (60%) dari total kapasitas mega proyek ini di wilayah Jawa dan Bali jelas salah kaprah jika tujuannya untuk memenuhi pasokan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih dari itu, mega proyek ini, yang mana 60% di antaranya disuplai dari PLTU Batubara justru mempercepat kerusakan lingkungan dan mengancam keselamatan rakyat. Apalagi, sebanyak 10.172 IUP sudah menggempur daratan Indonesia.
Contoh faktual untuk menjelaskan kondisi di atas adalah seperti yang terjadi di PLTU Cirebon dan PLTU Indramayu, Jawa Barat. Wilayah tangkapan ribuan nelayan tercemar limbah PLTU, pendapatan para nelayan pun menurun drastis. Selain laut tercemar, polusi udara pun tak terhindarkan seperti yang terjadi di Sumatera Selatan. Truk-truk pengangkut batubara seenaknya menggunakan fasilitas umum untuk masyarakat. Di Aceh hutan lindung dan konservasi terancam oleh pertambangan batubara, 90 % perusahaan batubara di aceh menunggak PNBP yang merugikan Negara. Di Kalimantan timur, sudah 26 nyawa anak-anak hilang sia-sia di lubang-lubang bekas tambang batubara.
Ekonomi batubara terbukti tidak hanya meningkatkan ancaman keselamatan rakyat, tetapi juga memiskinkan masyarakat dan menghancurkan produktifitas masyarakat. Membangun Ekonomi tanding untuk melawan ekonomi batubara adalah satu cara mujarab mencegah meluasnya ekspansi industri batubara baik pertambangan hingga pembakaran batubara melalui PLTU. Ekonomi tanding yang dimaksud adalah mendukung seluruh bentuk-bentuk ekonomi pilihan rakyat bukan batubara.
Begitu juga dari aspek kebijakan energi nasional yang sangat masih kecanduan batubara. Bahkan berbagai konferensi perubahan iklim yang diikuti, Pemerintah Indonesia belum secara tegas berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dari pembakaran batubara untuk kebutuhan energi. Tampak jelas dalam target bauran energi Indonesia 2025, pemerintah masih menggantungkan kebutuhan pemenuhan energi pada batubara sebesar 33%.
Perempuan dan anak-anak adalah kelompok rentan yang juga amat terdampak dari daya rusak batubara dari hulu ke hilir. Di hulu banyak ibu-ibu di kalimantan timur kehilangan 26 anak-anaknya akibat tewas di lubang-lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja tanpa bertanggungjawab. Begitu juga di hilir industri ini, para perempuan nelayan di teluk sepang, bengkulu terancam oleh pembangunan PLTU 2 X 200 MW.
Bahkan kelompok perempuan adalah pihak yang paling terakhir mendapatkan informasi saat investasi batubara masuk. Mereka kehilangan hak veto, hak untuk menolak saat investasi batubara beroperasi. Padahal 70% dari kegiatan perempuan berhubungan dengan alam sekitarnya, jika alam sekitarnya yang memberikan pangan dan air untuk konsumsi keluarga rusak akibat industri batubara, maka perempuan adalah kelompok yang paling dirugikan.
Kami peserta “Temu Rakyat Pejuang Untuk Ekonomi Tanding Yang Berdaulat dan Berkelanjutan, Bukan Batubara”, yang berasal dari berbagai wilayah krisis daya rusak industri batubara, baik hulu hingga hilir, menegaskan bahwa proyek elektrifikasi 35.000 MW bukanlah solusi atas permasalahan listrik di Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus secepatnya meninggalkan batubara, baik sebagai pemenuhan energy maupun sebagai komoditas ekonomi. Indonesia memiliki sumber energy bersih terbarukan yang sangat besar: matahari bersinar sepanjang tahun; Negara kepulauan dengan gelombang lautd an angina yang terus berhembus.
Peserta Temu Rakyat Pejuang Untuk Ekonomi Tanding yang berdaulat dan berkelanjutan, bukan tambang
JATAM Nasional
Warga Desa Margabhakti, Kabupaten Bengkulu Utara.
Warga Teluk Sepang, Bengkulu.
Warga Kecamatan Kampar Kiri hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Walhi Sumatera Selatan
Walhi bengkulu
Yayasan Mitra Insani, Riau
Yayasan Genesis Bengkulu
Walhi Jambi
GERAK Aceh
JATAM Kalimantan Timur
Walhi Kalimantan Selatan
Warga Samarinda, Kalimantan Timur
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang