Petani Berjuang, Tolak Tambang Membela Lingkungan, “Dibungkam”


Kampanye

Petani Berjuang, Tolak Tambang Membela Lingkungan, “Dibungkam”


Oleh JATAM

29 September 2015





(Lembar Fakta)

Awal Januari 2015 Kepala Desa Selok Awar-Awar mengumpulkan warga untuk membahas rencana wisata alam, warga setuju. Jumlah waktu itu 100an orang. Alat berat kemudian didatangkan untuk membenahi kawasan pantai. Hasilnya, pantai hanya diratakan dengan tiga backhoe. Aktivitas pertambangan pasir mengganti rencana semula penyiapan tempat wisata. Mereka protes.

Pada Maret 2015 puluhan warga melakukan protes dengan mendatangi sejumlah institusi di Jakarta. Meraka tak tahan karena aktivitas pertambangan telah merusak saluran irigasi dan sawah mereka. Warga menyampaikan keluhan kepada DPR RI, MenLHK, Perhutani, Kementan, Gubernur Jatim, Kapolri, Kapolda Jatim, dan DPRD Jatim. Tak mendapati tanggapan, warga mengadukan persoalan ke Walhi Nasional awal Mei 2015.

Empat warga Selok Awar-Awar datang pada pertemuan membahas isu pertambangan yang dilakukan di Batu pada akhir Mei 2015, untuk mengadukan persoalan pertambangan ini. Pertemuan mulai membaca konstalasi pengelolaan pasir besi di wilayah pesisir selatan Luamajang yang tidak sederhana.

Setidaknya telah dicurigai adanya ijin pertambangan yang salah, aktivitas tambang di hutan produksi, dan juga indikasi penyalahgunaan kewenangan pemerintah daerah. Situasi demikian mewaspadakan warga atas tekanan dan intimidasi yang diterima anggota forum dan masyarakat di wilayah Selok Awar-Awar karena tidak hanya melibatkan Kepala Desa.

Pembiaran oleh Penegak Hukum dan Pemerintah Lokal
Demo penolakan aktivitas pertambangan suah dilakukan korban Salim dan Tosan beserta warga lainnya pada 9 September 2015. Demonstrasi ini diliput media dan memberitakan warga berdebat dengan kepolisian yang tetap membiarkan aktivitas pertambangan beroperasi. Camat menengahi permasalahan dengan mempertemukan kedua pihak. Disepakati pertambangan dihentikan. Kepala Desa Selok Awa-awar meneken surat untuk penghentian.

Namun, sehari berikutnya warga menerima ancaman teror dan pembunuhan. Warga mengadu dan meminta perlindungan kepada Polres Lumajang. Pengaduan ini menurut warga sudah dicatat Polres Lumajang. Demonstrasi yang hendak dilakukan pada Sabtu 26 Spetember sudah diberitahukan kepada kepolisian.

Temuan di lapangan yang dikumpulkan oleh Walhi Jatim, Kontras, Laskar Hijau, dan LBH Disabilitas yang tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang menemukan runutan sebagai berikut:

Sekitar bulan Juni 2015 Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar(selanjutnya disebut FORUM) menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi untuk menyampaikan penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspon oleh Bupati yang diwakili oleh CAMAT Pasirian.

Pada 9 September 2015 FORUM melakukan aksi damai penyetopan aktivitas penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar yang menghasilkan Surat Pernyataan Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan Aktivitas Penambangan Pasir di Desa Selok Awar-Awar.

Pada 10 September 2015 adanya Pengancaman Pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok PREMAN bentukan Kepala Desa Selok Awar-Awar kepada Tosan. Preman tersebut diketuai oleh P. DESIR. Beberapa waktu sebelumnya ada beberapa Anggota FORUM yang pernah diancam oleh kelompok preman tersebut.

Pada 11 September 2015 perwakilan FORUM melaporkan kejadian pengancaman yang dialami kepada POLRES LUMAJANG yang ditemui dan/atau diterima langsung oleh KASAT RESKRIM LUMAJANG Bapak AKP Heri Sugiono SH MH. Pada saat itu KASAT menjamin dan akan merespon pengaduan FORUM yang telah dikordinasikan dengan pimpinan POLSEK PASIRIAN.

Pada 12 September 2015, Bupati Lumajang As’at kepada media menyatakan akan memfasiltasi BUMDes untuk kelola tambang pasir.

Pada tanggal 19 September 2015 FORUM menerima Surat Pemberitahuan dari POLRES LUMAJANG terkait nama-nama Penyidik POLRES yang menangani Kasus Pengancaman tersebut.

Pada tanggal 21 September 2015 FORUM mengirim Surat Pengaduan terkait pertambangan ilegal yang dilakukan oleh oknum aparat Desa Selok Awar–Awar di daerah hutan lindung Perhutani.

Pada tanggal 25 September 2015 FORUM mengadakan koordinasi dan konsolidasi dengan masyarakat untuk melakukan aksi penolakan tambang pasir dikarenakan aktivitas penambangan tetap berlangsung. Rencana Aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015 Pukul 07.30 WIB.

Pada tanggal 26 September 2015 kurang lebih Pukul 07.30 WIB terjadinya penjemputan paksa dan penganiayaan terhadap dua anggota FORUM yaitu Tosan dan Salim/P. Kancil yang dilakukan massa yang dipimpim Oleh Bapak Desir yang mengakibatkan meninggalnya SALIM / P.KANCIL dan Tosan luka berat. Laporan investigasi Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang, menuliskan:

“Tosan didatangi segerombolan orang pada sekitar pukul 07.30. Kurang lebih 40 orang dengan menggunakan kendaraan bermotor mendatangi rumah Tosan dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit dan batu. Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda namun segera bisa dikejar oleh gerombolan ini. Tosan ditabrak dengan motor di lapangan tak jauh dari rumahnya. Tak berhenti disitu, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya. Tosan bahkan ditelentangkan ditengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali. Gerombolan ini menghentikan aksinya dan pergi meninggalkan Tosan setelah satu orang warga bernama Ridwan datang dan melerai.

Setelah selesai menghajar Tosan, gerombolan ini mengalihkan tujuannya menuju rumah Salim. Saat itu Salim sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun, mengetahui ada yang datang berbondong dan menunjukkan gelagat tidak baik Salim membawa cucunya masuk. Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan. Mereka kemudian menyeret Salim dan membawanya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya. Sepanjang perjalanan menuju Balai Desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata-senjata yang mereka bawa disaksikan warga yang ketakutan dengan aksi ini.

Di Balai Desa, tanpa mengindahkan bahwa masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan ini menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya. Di Balai desa, gerombolan ini sudah menyiapkan alat setrum yang kemudian dipakai untuk menyetrum Salim berkali-kali. Tak berhenti sampai disitu mereka juga membawa gergaji dan dipakai untuk menggorok leher Salim. Namun ajaibnya hampir semua siksaan dengan benda tajam yang ditujukan ke tubuh Salim seolah tidak mempan.

Melihat kenyataan bahwa Salim tidak bisa dilukai dengan benda tajam dan keadaan balai desa yang masih ramai, gerombolan tersebut kemudian membawa Salim yang masih dalam keadaan terikat melewati jalan kampung menuju arah makam yang lebih sepi. Di tempat ini mereka kemudian mencoba lagi menyerang salim dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Baru setelah gerombolan ini memakai batu untuk memukul, Salim ambruk ke tanah. Mendapati itu, mereka kemudian memukulkan batu berkali-kali ke kepala Salim. Di tempat inilah kemudian Salim meninggal dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan disekitarnya.”

Kelompok preman ini diidentifikasi oleh sejumlah warga (Ridwan dan Imam) dan disampaikan kepada petugas kepolisian di lokasi, sekurangnya terdiri: DESIR, EKSAN, TOMIN, TINARLAP, SIARI, TEJO, ELI, BUDI, SIO, BESRI, SUKET, SIAMAN, JUMUNAM, SATUWI, TIMAR, BURI, MISTO, PARMAN, dan SATRUM.

Desir yang memimpin kelompok preman ini dikenal warga sebagai ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan(LMDH). Lembaga seperti ini biasanya ada di wilayah-wilayah konsesi hutan Perhutani.

Konflik Kawasan Pesisir Selatan
Penolakan terhadapa aktivitas pertambangan tidak saja dilakukan petani Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian. Sebelumnya, ada banyak masyarakat di sepanjang pesisir selatan menolak aktivitas pertambangan pasir serupa. Beberapa penolakan diantaranya terjadi di Wotgalih, Bades, Pandanwangi, Pandan Arum, dan Paseban di Jember.

Penolakan ini tentu beralasan. Selain kerusakan yang nyata disaksikan di sepanjang titik eksploitasi, tidak ada korelasi antara pertambangan dengan ketrampilan warga di sepanjang pesisir selatan sebagai petani dan nelayan. Terlebih, masyarakat mengingat perbukitan pasir di sepanjang wilayah inilah yang menyelamatkan kawasan perkampungan ketika tsunami terjadi pada tahun 90an.

Perlawanan warga ini seiring dengan maraknya ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah di seanjang kawasan pesisir selatan Lumajang dan sekitarnya yang tak memperhatikan peruntukan kawasan maupun mitigasi resiko bencana. Ijin-ijin yang diterbitkan tidak memperhitungkan kondisi eksisting kawasan yang mulai menjadi wilayah produktif pertanian warga. Pemanfaatan untuk pariwisata dan pertanian yang lebih menjamin pengelolaan kawasan secara lestari diabaikan.

Jika merunut penggunaan kawasan di sepanjang pesisir selatan Lumajang, setidaknya konsesi pertambangan bertindihan dengan kawasan yang masih berstatus hutan produksi di wilayah Kecamatan Pasirian, Tempeh, Kunir, dan Yosowilangun. Ini masih belum menimbang kondisi eksisting di kawasan yang kebanyakan telah dioptimalkan untuk pertanian, wisata, dan perikanan.

JATAM menginventarisir sejumlah 62 Ijin Usaha Pertambangan(IUP) dan Ijin Pertambangan Rakyat(IPR) diterbitkan di Lumajang. Selain pertambangan pasir dan batu, ijin terbesar dan terbanyak diberikan untuk pertambangan Pasir Besi. Total IUP dan IPR Pasir Besi sejumlah 16 ijin dengan kawasan seluas 5.804,8 hektar. Ijin ini didapatkan melalui SK Bupati sepanjang 2011 hingga 2012. Wilayah konsesi ini sebagian besarnya bertindihan dengan wilayah yang masih sebagai kawasan hutan produksi. IMMS memegang konsesi pertambangan pasir besi terluas di kawasan pesisir Lumajang.

Penegakan Hukum Lambat
Penyimpangan terhadap pemberian ijin nampaknya diketahui oleh penegak hukum. Kejaksaan telah memeriksa penyimpangan atas pengelolaan kawasan yang berpotensi merugikan keuangan negara ini. Penelusuran informasi media yang dilakukan Walhi Jatim menunjukkan bahwa kasus ini berstatus penyelidikan di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Kejati setidaknya mulai memeriksa kasus ini sejak awal 2014 lalu. Pejabat pemerintah kabupaten Lumajang yang diindikasi terlibat dalam pemberian ijin pasir besi disidik. Tempo yang melakukan liputan kasus ini menuliskan,” Kejati telah memanggil beberapa pejabat Kabupaten Lumajang, antara lain bekas Sekretaris Daerah (Sekda) Abdul Fatah Ismail, bekas Kepala Bagian Biro Perekonomian Pemkab Lumajang Nurul Huda, serta bekas Asisten Biro Perekonomian Susianto.”

Pada Februari 2015 telah ditetapkan dua tersangaka atas proses perijinan tambang pasir besi di Lumajang. Direktur PT Indo Modern Mining Sejahtera(IMMS) dan sekeretaris tim Amdal BLH Pemkab Lumajang menjadi tersangka. Pemeriksaan pejabat yang menjadi kelompok kerja pengurusan perijinan dilakukan Kejaksaan pada 13 April 2015. Lumajang News memberitakan nama-nama pejabat yang diperiksa antara lain: Kabag Hukum Taufik Hidayat, SH., MH; Kepala DPKAD Rachmaniah, SH., MM; Mantan Kabag Ekonomi Ir. Nurul Huda, MSi; Mantan Asisten Sekab Bidang Administrasi Wisu Wasono Adi; Kepala Dinas PU Ir. Nugroho Dwi Atmoko; dan Kepala Satpol PP Lumajang Totok Suharto.

Belum ada perkembangan berarti dalam penegakan kasus ini. Tanggal 2 Mei 2015 kepada Tempo, Kasi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur M Rochmadi mengatakan,”Ini masih mengumpulkan data.”

Pihak DPRD Lumajang sebelumnya juga telah membentuk Pansus untuk kasus maraknya ijin tambang pasir di Lumajang. Pada Februari 2014 Pansus mulai bekerja. Kepada Warta Lumajang(27/2/2014) ketua DPRD Kabupaten Lumajang H Agus Wicaksono mengatakan,”Kalau dalam pengelolaan tambang pasir ini negara memang dirugikan, maka harus ada pihak yang bertanggungjawab. Orientasinya dibentuk pansus ini adalah untuk menyelamatkan potensi alam di Lumajang, menyelamatkan ekosistem, yang menurut kami selama lima tahun ini sudah mengalami kerusakan.” Hasil kerja pansus DPRD hingga saat ini belum jelas.

Meski disinyalir ilegal dan berdasar penggunaan yang ada aktivitas pertambangan ini berada di wilayah hutan produksi yang dibawahi Perhutani, aktivitas pertambangan pasir masih terus dilakukan. Camat Pasirian yang mengetahui aktivitas ilegal ini mencoba menengahi dengan mepertemukan kedua belah pihak. Sayangnya kesepakatn penghentian aktivitas tambang tidak terjadi.

Melihat karut marut aktivitas pertambangan demikian, Bupati malah berniat memfasilitasi eksploitasi potensi pasir dengan membentuk Badan Usaha Milik Desa. Lumajang News menuliskan pernyataan Bupati As’at Malik pada 12 September untuk mendorong BUMDes pengelolaan pasir di wilayah Lumajang, ”kalau bisa ada Bumdes tambang pasir di desa yang terdapat lahan tambang pasir, nanti kita dukung sepenuhnya.”
Rekomendasi

Dengan fakta yang diperoleh, sebaiknya para pihak melakukan tindakan sebagai berikut:
1.  Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum dengan menerapkan pidana pembunuhan berencana kepada para pihak yang terlibat dalam pembunuhan dan penganiayaan saudara Salim dan Tosan.

2.  Kepolisian mengusut tindakan teror terhadap warga yang selama ini menentang aktivitas pertambangan.

3. Kepolisian dan Kejaksaan bekerjasama untuk menegakkan hukum lingkungan atas pemberian ijin pertambangan di seluruh wilayah pesisir selatan Lumajang maupun pertambangan ilegal yang terjadi.

4. Kejaksaan untuk mempercepat dan lebih mendalamkan proses penegakan hukum terhadap pertambangan di Lumajang dengan mendalami keterkaitan para pihak yang lebih luas dalam pemberian ijin dan aktivitas pertambangan ilegal di kawasan pesisir selatan Lumajang dan sekitarnya.

5. Gubernur Jawa Timur menggunakan kewenangan untuk meninjau ulang proses seluruh izin dan peralihan status kawasan izin tambang di Lumajang, dan lebih luas terhadap seluruh wilayah Jawa Timur, dengan mempertimbangkan resiko bencana.

6. KLHK menertibkan dan mencabut izin pertambangan di kawasan hutan produksi dan kawasan lindung lainnya sepanjang pesisir selatan (pesisir).

7. KLHK mengevaluasi peralihan kawasan hutan produksi dan kawasan lindung untuk pertambangan(Pesisir Lumajang, Hutan Produksi Kunir, Hutan Wonogoro di Malang, Hutan Lindung Tumpang Pitu di Banyuwangi).

8. KLHK untuk menginventarisir wilayah Perhutani yang disalah-gunakan dan kemudian memulihkannya.

9. Mempertimbangkan fakta-fakta dan temuan lapangan, mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi lapangan/tim pencari fakta, untuk melihat unsur pembunuhan berencana dan pembiaran terjadinya peristiwa ini oleh penegak hukum dan pemerintah.

10. Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia untuk melakukan pendampingan karena penganiayaan disaksikan oleh anak-anak TK dan Ibu-ibu yang saat itu berada di dekat Balai Desa.

11. Meminta LPSK untuk memberikan perlindungan seluruh masyarakat yang menolak pertambang diwilayah tersebut.

12. Penegak Hukum dan pemerintah di wilayah Lumajang untuk memberikan perlindungan bagi pembela lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan UUPLH.

13. Bupati mencabut SK IUP dan IPR pertambangan dan tidak memberikan ijin apapun terkait pertambangan di pesisir selatan Lumajang.

14. Kepada semua pihak untuk memberikan apresiasi kepada kedua korban dan masyarakat Selok Awar-Awar yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awa-Awar yang selama ini terus berjuang untuk melindungi lingkungan pesisir selatan Lumajang.







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

Petani Berjuang, Tolak Tambang Membela Lingkungan, “Dibungkam”


Share


Oleh JATAM

29 September 2015



(Lembar Fakta)

Awal Januari 2015 Kepala Desa Selok Awar-Awar mengumpulkan warga untuk membahas rencana wisata alam, warga setuju. Jumlah waktu itu 100an orang. Alat berat kemudian didatangkan untuk membenahi kawasan pantai. Hasilnya, pantai hanya diratakan dengan tiga backhoe. Aktivitas pertambangan pasir mengganti rencana semula penyiapan tempat wisata. Mereka protes.

Pada Maret 2015 puluhan warga melakukan protes dengan mendatangi sejumlah institusi di Jakarta. Meraka tak tahan karena aktivitas pertambangan telah merusak saluran irigasi dan sawah mereka. Warga menyampaikan keluhan kepada DPR RI, MenLHK, Perhutani, Kementan, Gubernur Jatim, Kapolri, Kapolda Jatim, dan DPRD Jatim. Tak mendapati tanggapan, warga mengadukan persoalan ke Walhi Nasional awal Mei 2015.

Empat warga Selok Awar-Awar datang pada pertemuan membahas isu pertambangan yang dilakukan di Batu pada akhir Mei 2015, untuk mengadukan persoalan pertambangan ini. Pertemuan mulai membaca konstalasi pengelolaan pasir besi di wilayah pesisir selatan Luamajang yang tidak sederhana.

Setidaknya telah dicurigai adanya ijin pertambangan yang salah, aktivitas tambang di hutan produksi, dan juga indikasi penyalahgunaan kewenangan pemerintah daerah. Situasi demikian mewaspadakan warga atas tekanan dan intimidasi yang diterima anggota forum dan masyarakat di wilayah Selok Awar-Awar karena tidak hanya melibatkan Kepala Desa.

Pembiaran oleh Penegak Hukum dan Pemerintah Lokal
Demo penolakan aktivitas pertambangan suah dilakukan korban Salim dan Tosan beserta warga lainnya pada 9 September 2015. Demonstrasi ini diliput media dan memberitakan warga berdebat dengan kepolisian yang tetap membiarkan aktivitas pertambangan beroperasi. Camat menengahi permasalahan dengan mempertemukan kedua pihak. Disepakati pertambangan dihentikan. Kepala Desa Selok Awa-awar meneken surat untuk penghentian.

Namun, sehari berikutnya warga menerima ancaman teror dan pembunuhan. Warga mengadu dan meminta perlindungan kepada Polres Lumajang. Pengaduan ini menurut warga sudah dicatat Polres Lumajang. Demonstrasi yang hendak dilakukan pada Sabtu 26 Spetember sudah diberitahukan kepada kepolisian.

Temuan di lapangan yang dikumpulkan oleh Walhi Jatim, Kontras, Laskar Hijau, dan LBH Disabilitas yang tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang menemukan runutan sebagai berikut:

Sekitar bulan Juni 2015 Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar(selanjutnya disebut FORUM) menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi untuk menyampaikan penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspon oleh Bupati yang diwakili oleh CAMAT Pasirian.

Pada 9 September 2015 FORUM melakukan aksi damai penyetopan aktivitas penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar yang menghasilkan Surat Pernyataan Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan Aktivitas Penambangan Pasir di Desa Selok Awar-Awar.

Pada 10 September 2015 adanya Pengancaman Pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok PREMAN bentukan Kepala Desa Selok Awar-Awar kepada Tosan. Preman tersebut diketuai oleh P. DESIR. Beberapa waktu sebelumnya ada beberapa Anggota FORUM yang pernah diancam oleh kelompok preman tersebut.

Pada 11 September 2015 perwakilan FORUM melaporkan kejadian pengancaman yang dialami kepada POLRES LUMAJANG yang ditemui dan/atau diterima langsung oleh KASAT RESKRIM LUMAJANG Bapak AKP Heri Sugiono SH MH. Pada saat itu KASAT menjamin dan akan merespon pengaduan FORUM yang telah dikordinasikan dengan pimpinan POLSEK PASIRIAN.

Pada 12 September 2015, Bupati Lumajang As’at kepada media menyatakan akan memfasiltasi BUMDes untuk kelola tambang pasir.

Pada tanggal 19 September 2015 FORUM menerima Surat Pemberitahuan dari POLRES LUMAJANG terkait nama-nama Penyidik POLRES yang menangani Kasus Pengancaman tersebut.

Pada tanggal 21 September 2015 FORUM mengirim Surat Pengaduan terkait pertambangan ilegal yang dilakukan oleh oknum aparat Desa Selok Awar–Awar di daerah hutan lindung Perhutani.

Pada tanggal 25 September 2015 FORUM mengadakan koordinasi dan konsolidasi dengan masyarakat untuk melakukan aksi penolakan tambang pasir dikarenakan aktivitas penambangan tetap berlangsung. Rencana Aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015 Pukul 07.30 WIB.

Pada tanggal 26 September 2015 kurang lebih Pukul 07.30 WIB terjadinya penjemputan paksa dan penganiayaan terhadap dua anggota FORUM yaitu Tosan dan Salim/P. Kancil yang dilakukan massa yang dipimpim Oleh Bapak Desir yang mengakibatkan meninggalnya SALIM / P.KANCIL dan Tosan luka berat. Laporan investigasi Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang, menuliskan:

“Tosan didatangi segerombolan orang pada sekitar pukul 07.30. Kurang lebih 40 orang dengan menggunakan kendaraan bermotor mendatangi rumah Tosan dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit dan batu. Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda namun segera bisa dikejar oleh gerombolan ini. Tosan ditabrak dengan motor di lapangan tak jauh dari rumahnya. Tak berhenti disitu, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya. Tosan bahkan ditelentangkan ditengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali. Gerombolan ini menghentikan aksinya dan pergi meninggalkan Tosan setelah satu orang warga bernama Ridwan datang dan melerai.

Setelah selesai menghajar Tosan, gerombolan ini mengalihkan tujuannya menuju rumah Salim. Saat itu Salim sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun, mengetahui ada yang datang berbondong dan menunjukkan gelagat tidak baik Salim membawa cucunya masuk. Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan. Mereka kemudian menyeret Salim dan membawanya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya. Sepanjang perjalanan menuju Balai Desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata-senjata yang mereka bawa disaksikan warga yang ketakutan dengan aksi ini.

Di Balai Desa, tanpa mengindahkan bahwa masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan ini menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya. Di Balai desa, gerombolan ini sudah menyiapkan alat setrum yang kemudian dipakai untuk menyetrum Salim berkali-kali. Tak berhenti sampai disitu mereka juga membawa gergaji dan dipakai untuk menggorok leher Salim. Namun ajaibnya hampir semua siksaan dengan benda tajam yang ditujukan ke tubuh Salim seolah tidak mempan.

Melihat kenyataan bahwa Salim tidak bisa dilukai dengan benda tajam dan keadaan balai desa yang masih ramai, gerombolan tersebut kemudian membawa Salim yang masih dalam keadaan terikat melewati jalan kampung menuju arah makam yang lebih sepi. Di tempat ini mereka kemudian mencoba lagi menyerang salim dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Baru setelah gerombolan ini memakai batu untuk memukul, Salim ambruk ke tanah. Mendapati itu, mereka kemudian memukulkan batu berkali-kali ke kepala Salim. Di tempat inilah kemudian Salim meninggal dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan disekitarnya.”

Kelompok preman ini diidentifikasi oleh sejumlah warga (Ridwan dan Imam) dan disampaikan kepada petugas kepolisian di lokasi, sekurangnya terdiri: DESIR, EKSAN, TOMIN, TINARLAP, SIARI, TEJO, ELI, BUDI, SIO, BESRI, SUKET, SIAMAN, JUMUNAM, SATUWI, TIMAR, BURI, MISTO, PARMAN, dan SATRUM.

Desir yang memimpin kelompok preman ini dikenal warga sebagai ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan(LMDH). Lembaga seperti ini biasanya ada di wilayah-wilayah konsesi hutan Perhutani.

Konflik Kawasan Pesisir Selatan
Penolakan terhadapa aktivitas pertambangan tidak saja dilakukan petani Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian. Sebelumnya, ada banyak masyarakat di sepanjang pesisir selatan menolak aktivitas pertambangan pasir serupa. Beberapa penolakan diantaranya terjadi di Wotgalih, Bades, Pandanwangi, Pandan Arum, dan Paseban di Jember.

Penolakan ini tentu beralasan. Selain kerusakan yang nyata disaksikan di sepanjang titik eksploitasi, tidak ada korelasi antara pertambangan dengan ketrampilan warga di sepanjang pesisir selatan sebagai petani dan nelayan. Terlebih, masyarakat mengingat perbukitan pasir di sepanjang wilayah inilah yang menyelamatkan kawasan perkampungan ketika tsunami terjadi pada tahun 90an.

Perlawanan warga ini seiring dengan maraknya ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah di seanjang kawasan pesisir selatan Lumajang dan sekitarnya yang tak memperhatikan peruntukan kawasan maupun mitigasi resiko bencana. Ijin-ijin yang diterbitkan tidak memperhitungkan kondisi eksisting kawasan yang mulai menjadi wilayah produktif pertanian warga. Pemanfaatan untuk pariwisata dan pertanian yang lebih menjamin pengelolaan kawasan secara lestari diabaikan.

Jika merunut penggunaan kawasan di sepanjang pesisir selatan Lumajang, setidaknya konsesi pertambangan bertindihan dengan kawasan yang masih berstatus hutan produksi di wilayah Kecamatan Pasirian, Tempeh, Kunir, dan Yosowilangun. Ini masih belum menimbang kondisi eksisting di kawasan yang kebanyakan telah dioptimalkan untuk pertanian, wisata, dan perikanan.

JATAM menginventarisir sejumlah 62 Ijin Usaha Pertambangan(IUP) dan Ijin Pertambangan Rakyat(IPR) diterbitkan di Lumajang. Selain pertambangan pasir dan batu, ijin terbesar dan terbanyak diberikan untuk pertambangan Pasir Besi. Total IUP dan IPR Pasir Besi sejumlah 16 ijin dengan kawasan seluas 5.804,8 hektar. Ijin ini didapatkan melalui SK Bupati sepanjang 2011 hingga 2012. Wilayah konsesi ini sebagian besarnya bertindihan dengan wilayah yang masih sebagai kawasan hutan produksi. IMMS memegang konsesi pertambangan pasir besi terluas di kawasan pesisir Lumajang.

Penegakan Hukum Lambat
Penyimpangan terhadap pemberian ijin nampaknya diketahui oleh penegak hukum. Kejaksaan telah memeriksa penyimpangan atas pengelolaan kawasan yang berpotensi merugikan keuangan negara ini. Penelusuran informasi media yang dilakukan Walhi Jatim menunjukkan bahwa kasus ini berstatus penyelidikan di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Kejati setidaknya mulai memeriksa kasus ini sejak awal 2014 lalu. Pejabat pemerintah kabupaten Lumajang yang diindikasi terlibat dalam pemberian ijin pasir besi disidik. Tempo yang melakukan liputan kasus ini menuliskan,” Kejati telah memanggil beberapa pejabat Kabupaten Lumajang, antara lain bekas Sekretaris Daerah (Sekda) Abdul Fatah Ismail, bekas Kepala Bagian Biro Perekonomian Pemkab Lumajang Nurul Huda, serta bekas Asisten Biro Perekonomian Susianto.”

Pada Februari 2015 telah ditetapkan dua tersangaka atas proses perijinan tambang pasir besi di Lumajang. Direktur PT Indo Modern Mining Sejahtera(IMMS) dan sekeretaris tim Amdal BLH Pemkab Lumajang menjadi tersangka. Pemeriksaan pejabat yang menjadi kelompok kerja pengurusan perijinan dilakukan Kejaksaan pada 13 April 2015. Lumajang News memberitakan nama-nama pejabat yang diperiksa antara lain: Kabag Hukum Taufik Hidayat, SH., MH; Kepala DPKAD Rachmaniah, SH., MM; Mantan Kabag Ekonomi Ir. Nurul Huda, MSi; Mantan Asisten Sekab Bidang Administrasi Wisu Wasono Adi; Kepala Dinas PU Ir. Nugroho Dwi Atmoko; dan Kepala Satpol PP Lumajang Totok Suharto.

Belum ada perkembangan berarti dalam penegakan kasus ini. Tanggal 2 Mei 2015 kepada Tempo, Kasi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur M Rochmadi mengatakan,”Ini masih mengumpulkan data.”

Pihak DPRD Lumajang sebelumnya juga telah membentuk Pansus untuk kasus maraknya ijin tambang pasir di Lumajang. Pada Februari 2014 Pansus mulai bekerja. Kepada Warta Lumajang(27/2/2014) ketua DPRD Kabupaten Lumajang H Agus Wicaksono mengatakan,”Kalau dalam pengelolaan tambang pasir ini negara memang dirugikan, maka harus ada pihak yang bertanggungjawab. Orientasinya dibentuk pansus ini adalah untuk menyelamatkan potensi alam di Lumajang, menyelamatkan ekosistem, yang menurut kami selama lima tahun ini sudah mengalami kerusakan.” Hasil kerja pansus DPRD hingga saat ini belum jelas.

Meski disinyalir ilegal dan berdasar penggunaan yang ada aktivitas pertambangan ini berada di wilayah hutan produksi yang dibawahi Perhutani, aktivitas pertambangan pasir masih terus dilakukan. Camat Pasirian yang mengetahui aktivitas ilegal ini mencoba menengahi dengan mepertemukan kedua belah pihak. Sayangnya kesepakatn penghentian aktivitas tambang tidak terjadi.

Melihat karut marut aktivitas pertambangan demikian, Bupati malah berniat memfasilitasi eksploitasi potensi pasir dengan membentuk Badan Usaha Milik Desa. Lumajang News menuliskan pernyataan Bupati As’at Malik pada 12 September untuk mendorong BUMDes pengelolaan pasir di wilayah Lumajang, ”kalau bisa ada Bumdes tambang pasir di desa yang terdapat lahan tambang pasir, nanti kita dukung sepenuhnya.”
Rekomendasi

Dengan fakta yang diperoleh, sebaiknya para pihak melakukan tindakan sebagai berikut:
1.  Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum dengan menerapkan pidana pembunuhan berencana kepada para pihak yang terlibat dalam pembunuhan dan penganiayaan saudara Salim dan Tosan.

2.  Kepolisian mengusut tindakan teror terhadap warga yang selama ini menentang aktivitas pertambangan.

3. Kepolisian dan Kejaksaan bekerjasama untuk menegakkan hukum lingkungan atas pemberian ijin pertambangan di seluruh wilayah pesisir selatan Lumajang maupun pertambangan ilegal yang terjadi.

4. Kejaksaan untuk mempercepat dan lebih mendalamkan proses penegakan hukum terhadap pertambangan di Lumajang dengan mendalami keterkaitan para pihak yang lebih luas dalam pemberian ijin dan aktivitas pertambangan ilegal di kawasan pesisir selatan Lumajang dan sekitarnya.

5. Gubernur Jawa Timur menggunakan kewenangan untuk meninjau ulang proses seluruh izin dan peralihan status kawasan izin tambang di Lumajang, dan lebih luas terhadap seluruh wilayah Jawa Timur, dengan mempertimbangkan resiko bencana.

6. KLHK menertibkan dan mencabut izin pertambangan di kawasan hutan produksi dan kawasan lindung lainnya sepanjang pesisir selatan (pesisir).

7. KLHK mengevaluasi peralihan kawasan hutan produksi dan kawasan lindung untuk pertambangan(Pesisir Lumajang, Hutan Produksi Kunir, Hutan Wonogoro di Malang, Hutan Lindung Tumpang Pitu di Banyuwangi).

8. KLHK untuk menginventarisir wilayah Perhutani yang disalah-gunakan dan kemudian memulihkannya.

9. Mempertimbangkan fakta-fakta dan temuan lapangan, mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi lapangan/tim pencari fakta, untuk melihat unsur pembunuhan berencana dan pembiaran terjadinya peristiwa ini oleh penegak hukum dan pemerintah.

10. Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia untuk melakukan pendampingan karena penganiayaan disaksikan oleh anak-anak TK dan Ibu-ibu yang saat itu berada di dekat Balai Desa.

11. Meminta LPSK untuk memberikan perlindungan seluruh masyarakat yang menolak pertambang diwilayah tersebut.

12. Penegak Hukum dan pemerintah di wilayah Lumajang untuk memberikan perlindungan bagi pembela lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan UUPLH.

13. Bupati mencabut SK IUP dan IPR pertambangan dan tidak memberikan ijin apapun terkait pertambangan di pesisir selatan Lumajang.

14. Kepada semua pihak untuk memberikan apresiasi kepada kedua korban dan masyarakat Selok Awar-Awar yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awa-Awar yang selama ini terus berjuang untuk melindungi lingkungan pesisir selatan Lumajang.



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang