Perusahaan Tambang Patungan Tiongkok-Indonesia Melanggar Hukum dan Ancam Keselamatan Warga


Siaran Pers

Perusahaan Tambang Patungan Tiongkok-Indonesia Melanggar Hukum dan Ancam Keselamatan Warga


Oleh JATAM

13 Oktober 2021





(13 Oktober 2021) —Proyek penambangan seng Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi adalah perusahaan patungan antara konglomerat pertambangan China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. yang berbasis di Beijing (NFC) dengan raksasa pertambangan batu bara Indonesia, Bumi Resources. Tambang tersebut saat ini sedang dibangun. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menginformasikan kepada DPM bahwa perubahan desain proyek memerlukan persetujuan lingkungan baru. Proses persetujuan lingkungan dimaksudkan untuk menjaga lingkungan dan masyarakat setempat yang dekat dengan proyek-proyek pembangunan. DPM selanjutnya menyerahkan Adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang antara lain meminta perubahan lokasi fasilitas penyimpanan tailing.

  • Pada Juli 2021, DPM memulai pekerjaan lapangan membangun fasilitas penampungan tailing di lokasi yang belum diumumkan persetujuan lingkungannya oleh pemerintah. Pengacara yang bertindak sebagai perwakilan masyarakat meyakini berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh DPM, dan menyerukan seluruh pemerintahan Indonesia agar sepakat tambang tersebut dihentikan.
  • Sebuah petisi masyarakat dengan 2.200 tanda tangan diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menuntut agar tambang dihentikan.
  • Ephorus Gereja Batak Protestan telah menulis surat kepada DPM, menyatakan bahwa gereja menolak untuk merelokasi gereja Sopokomil demi keperluan pembangunan fasilitas penyimpanan tailing yang diusulkan tersebut.
  • Tinjauan pakar terhadap aspek hidrologi dalam Adendum Penilaian Dampak Lingkungan DPM yang terbaru menemukan bahwa rencana DPM pada dasarnya cacat dan tidak memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat dan lingkungan. Ditemukan juga bahwa adendum banyak memiliki pertentangan dan kesalahan.
  • Tinjauan terhadap Adendum ini oleh seorang pakar internasional bidang stabilitas bendungan menemukan bahwa fasilitas penampungan tailing yang diusulkan tersebut dapat menimbulkan bahaya besar terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya.

Bapak Tongam Panggabean, Direktur BAKUMSU, sebuah perhimpunan bantuan hukum dan advokasi di Medan, Sumatra Utara, yang dalam hal ini bertindak sebagai perwakilan hukum masyarakat yang terdampak, mengatakan: “Persetujuan fasilitas penampungan tailing belum diumumkan secara publik sesuai persyaratan hukumnya. Namun, saat ini sudah bisa kita lihat pekerjaan lapangannya (sudah dimulai). Kami percaya DPM sudah mengabaikan hukum di Indonesia.”

Pekerjaan di lapangan tersebut dinamakan “pengujian kolom batu” oleh DPM. Dikatakan kolom batu merupakan cara untuk mengekstrak air dari bawah fasilitas penampungan tailing untuk mengurangi risiko likuifaksi jika terjadi gempa bumi karena fondasi di mana tailing berada tidak stabil.

“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut izin sebelumnya yang sudah diberikan untuk tambang ini dan menuntut perusahaan tersebut,” tambah Panggabean.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Pusat Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), mengatakan “Hukum di Indonesia melarang perusahaan pertambangan memulai pekerjaan lapangan yang berkaitan dengan fasilitas penampungan tailing, portal tambang, dan fasilitas penyimpanan bahan peledak sebelum mendapatkan persetujuan lingkungan dari pemerintah secara resmi.”

“Jika DPM telah melakukan aktivitas tanpa izin yang disyaratkan, (yaitu Persetujuan Lingkungan), maka dianggap ilegal,” tambahnya.

Bapak Barisman Hasugian  dari Dusun 3 Desa Bongkaras mengatakan: “Di seluruh Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya, DPM bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan jebolnya bendungan tailing. Sementara kita tahu daerah ini merupakan zona dengan risiko gempa yang sangat tinggi dan lokasinya tidak stabil. Karena alasan tersebut, 2.200 orang telah menandatangani petisi meminta penghentian tambang.”

Ibu Menteria Situngkir dari desa Bongkaras, juga mengkhawatirkan bendungan tailing tersebut. “Ada 10 desa yang terletak di bawah lokasi tambang. Kita tahu limbahnya akan mengandung racun. Tambang ini bisa meracuni kita. Sebagian besar pasokan air kita asalnya dari area hilir tambang.”

Diakones Sarah Naibaho dari YDPK, yang ada di Parongil, dekat area tambang mengatakan: “Rencana PT.DPM akan merolaksi HKBP untuk kepentingan Pembangunan TSf dalam dokumen Ademdum AMDAL Tahun 2021 tidak mengindahkan keputusan pimpinan HKBP atas penolakan relokasi untuk TSF tahun 2012, sejak awal pimpinan HKBP menolak relokasi gereja untuk kepentingan TSF demi keselamatan masyarakat di wilayah proyek, oleh karena itu tertanggal 09 Juni 2021 Ephorus Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) secara resmi membuat surat penolakan menolak relokasi yang sudah disampaikan ke KLHK dan Ke PT. DPM

Ketakutan masyarakat dan gereja sangat beralasan. Dr. Steven Emerman, pakar masalah lingkungan tambang timbal-seng menyatakan dalam laporan sebelumnya bahwa, jika NFC membangun proyek ini di Tiongkok, bendungan ini akan masuk kategori ilegal karena aspek keamanannya. Saat ini, beliau sudah selesai meninjau versi revisi Adendum ANDAL DPM dan mencatat bahwa tak satu pun persoalan yang ada di versi sebelumnya yang dibahas. “Namun, sekarang sudah jelas bahwa setelah penutupan bendungan, 15% kemungkinan air kolam tailing akan mengalir melalui pelimpah darurat dan masuk ke saluran air hilir tanpa dilakukan pengolahan. Frekuensi pembuangan air limbah tambang yang tanpa diolah yang cukup sering dan kemungkinan besar mengandung racun seharusnya tidak bisa dibenarkan menurut standar mana pun”.

Juga terdapat risiko besar jebolnya bendungan tailing yang bisa mendatangkan bencana. Lokasi bendungan yang diusulkan berada di salah satu zona gempa paling aktif di dunia dan dekat dengan garis patahan yang pernah menyebabkan tsunami Boxing Day di tahun 2004. Dr. Richard Meehan, pakar berpengalaman selama 50 tahun dalam bidang stabilitas bendungan di zona gempa, menyatakan kekhawatiran yang besar terhadap bendungan tailing yang akan dibangun oleh perusahaan tersebut: “Selain risiko gempa yang ekstrem, dalam Adendum AMDAL 2019, DPM mencoba menutupi ketidakstabilan geologi di lokasi bendungan yang diusulkan itu. Kini, di dalam Adendum AMDAL April 2021 mereka, DPM mengakui lokasi bendungan di sejumlah tempat memang memiliki endapan abu vulkanik sedalam 50 meter yang tidak stabil.”

Meehan menjelaskan: “Sekuat apa pun dinding bendungan (bahkan jenis beton besar sekalipun), jika ia berada di atas fondasi yang tidak stabil, maka ia akan rusak karena ambles/turun, terbelah, atau bergeser, dengan menimbuni dinding bendungan yang ambles tersebut atau jebolnya satu titik lokal yang kemudian membesar dan akan bisa mengosongkan TSF dengan mengalirkannya ke lahan di bawahnya.”

Meehan juga mencatat bahwa DPM telah menggunakan metode lama untuk menganalisis stabilitas bendungan: “standar yang mereka gunakan sudah kuno dan tidak diterapkan dengan tepat. Jika pun nanti dibangun, bendungan hampir pasti akan runtuh atau kalau tidak jebol. Mereka mengusulkan stabilisasi “kolom batu”, tetapi teknik-teknik ini belum teruji dan kemungkinan tidak memadai.” Dia menambahkan “dengan banyak penduduk yang tinggal di bawah bendungan yang diusulkan ini, bukan saat yang tepat untuk menggunakan teknologi yang belum teruji di sini.”

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Pertambangan Nasional, JATAM, mengatakan: “Rencana tambang ini berasal dari rezim Suharto lama. Dari awal mula seharusnya tidak pernah diberikan izin. Hari ini kita menyaksikan perusahaan tersebut beroperasi tanpa mengindahkan hukum di Indonesia dan melanggar standar internasional. Masyarakat tidak menginginkan tambang ini ada. Keberadaannya bisa membahayakan masyarakat dan lingkungan. Maka ia harus dihentikan.”

Proyek DPM menjadi subjek pengaduan kepada Compliance Advisor Ombudsman lembaga International Finance Corporation. Ombudsman menerima pengaduan pada bulan Maret tahun lalu karena klien perantara keuangan IFC, Postal Savings Bank of China, merupakan penyokong keuangan terbesar dari pengembang utama tambang.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

  •  Di Indonesia (Waktu Indonesia Barat – UTC +7)

Perwakilan masyarakat Ibu, Menteria Situngkir, dan Bpk. Barisman Hasugian

Karena jangkauan telepon tidak dapat diandalkan, kontak Ibu Sarah Naibaho (+62 812-6903-0128) atau Bapak Tongam Panggabean (+62 821-6807-7307). Sarah dan Tongam juga dapat menerjemahkan dari Batak Toba ke Indonesia atau Inggris jika diperlukan.

Bapak Tongam Panggabean, Direktur, BAKUMSU

WhatsApp dan Signal: Telp +4917669449573, Telp: +62 821-6807-7307, surel:tongampanggabean@protonmail.com

Bahasa: Batak Toba, Indonesia, Inggris.

Ibu Sarah Naibaho, Direktur,YDPK

WhatsApp dan Signal: Telp +62 81269030128

surel:Diakonessarah@protonmail.com

Bahasa: Batak Toba, Indonesia, Inggris

Bapak Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Pertambangan Nasional, JATAM

Nomor WhatsApp, Signal: +62 813 4788 2228 Surel: merahjohansyah@gmail.com

Bahasa: Indonesia, Inggris

Bapak Adrianus Eryan, Kepala Divisi Hutan dan Lahan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Telp +62 813-8629-9786,    adrianus@icel.or.id

Bahasa: Indonesia, Inggris

 

  • Di Bangkok, Waktu Indochina (GMT+7)

Dr. Richard Meehan, Pakar Teknik Sipil dengan fokus pada bendungan di zona gempa

Telp: 66 89 926 6576, Surel:meehan@stanford.edu,

Bahasa: Inggris

 

  •  Di AS, Waktu Musim Panas Gunung (GMT – 6)

Dr. Steven Emerman, Pemilik, Malach Consulting

Telp: 1-801-921-1228, Surel: SHEmerman@gmail.com

Bahasa: Inggris







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Perusahaan Tambang Patungan Tiongkok-Indonesia Melanggar Hukum dan Ancam Keselamatan Warga


Share


Oleh JATAM

13 Oktober 2021



(13 Oktober 2021) —Proyek penambangan seng Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi adalah perusahaan patungan antara konglomerat pertambangan China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. yang berbasis di Beijing (NFC) dengan raksasa pertambangan batu bara Indonesia, Bumi Resources. Tambang tersebut saat ini sedang dibangun. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menginformasikan kepada DPM bahwa perubahan desain proyek memerlukan persetujuan lingkungan baru. Proses persetujuan lingkungan dimaksudkan untuk menjaga lingkungan dan masyarakat setempat yang dekat dengan proyek-proyek pembangunan. DPM selanjutnya menyerahkan Adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang antara lain meminta perubahan lokasi fasilitas penyimpanan tailing.

  • Pada Juli 2021, DPM memulai pekerjaan lapangan membangun fasilitas penampungan tailing di lokasi yang belum diumumkan persetujuan lingkungannya oleh pemerintah. Pengacara yang bertindak sebagai perwakilan masyarakat meyakini berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh DPM, dan menyerukan seluruh pemerintahan Indonesia agar sepakat tambang tersebut dihentikan.
  • Sebuah petisi masyarakat dengan 2.200 tanda tangan diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menuntut agar tambang dihentikan.
  • Ephorus Gereja Batak Protestan telah menulis surat kepada DPM, menyatakan bahwa gereja menolak untuk merelokasi gereja Sopokomil demi keperluan pembangunan fasilitas penyimpanan tailing yang diusulkan tersebut.
  • Tinjauan pakar terhadap aspek hidrologi dalam Adendum Penilaian Dampak Lingkungan DPM yang terbaru menemukan bahwa rencana DPM pada dasarnya cacat dan tidak memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat dan lingkungan. Ditemukan juga bahwa adendum banyak memiliki pertentangan dan kesalahan.
  • Tinjauan terhadap Adendum ini oleh seorang pakar internasional bidang stabilitas bendungan menemukan bahwa fasilitas penampungan tailing yang diusulkan tersebut dapat menimbulkan bahaya besar terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya.

Bapak Tongam Panggabean, Direktur BAKUMSU, sebuah perhimpunan bantuan hukum dan advokasi di Medan, Sumatra Utara, yang dalam hal ini bertindak sebagai perwakilan hukum masyarakat yang terdampak, mengatakan: “Persetujuan fasilitas penampungan tailing belum diumumkan secara publik sesuai persyaratan hukumnya. Namun, saat ini sudah bisa kita lihat pekerjaan lapangannya (sudah dimulai). Kami percaya DPM sudah mengabaikan hukum di Indonesia.”

Pekerjaan di lapangan tersebut dinamakan “pengujian kolom batu” oleh DPM. Dikatakan kolom batu merupakan cara untuk mengekstrak air dari bawah fasilitas penampungan tailing untuk mengurangi risiko likuifaksi jika terjadi gempa bumi karena fondasi di mana tailing berada tidak stabil.

“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut izin sebelumnya yang sudah diberikan untuk tambang ini dan menuntut perusahaan tersebut,” tambah Panggabean.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Pusat Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), mengatakan “Hukum di Indonesia melarang perusahaan pertambangan memulai pekerjaan lapangan yang berkaitan dengan fasilitas penampungan tailing, portal tambang, dan fasilitas penyimpanan bahan peledak sebelum mendapatkan persetujuan lingkungan dari pemerintah secara resmi.”

“Jika DPM telah melakukan aktivitas tanpa izin yang disyaratkan, (yaitu Persetujuan Lingkungan), maka dianggap ilegal,” tambahnya.

Bapak Barisman Hasugian  dari Dusun 3 Desa Bongkaras mengatakan: “Di seluruh Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya, DPM bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan jebolnya bendungan tailing. Sementara kita tahu daerah ini merupakan zona dengan risiko gempa yang sangat tinggi dan lokasinya tidak stabil. Karena alasan tersebut, 2.200 orang telah menandatangani petisi meminta penghentian tambang.”

Ibu Menteria Situngkir dari desa Bongkaras, juga mengkhawatirkan bendungan tailing tersebut. “Ada 10 desa yang terletak di bawah lokasi tambang. Kita tahu limbahnya akan mengandung racun. Tambang ini bisa meracuni kita. Sebagian besar pasokan air kita asalnya dari area hilir tambang.”

Diakones Sarah Naibaho dari YDPK, yang ada di Parongil, dekat area tambang mengatakan: “Rencana PT.DPM akan merolaksi HKBP untuk kepentingan Pembangunan TSf dalam dokumen Ademdum AMDAL Tahun 2021 tidak mengindahkan keputusan pimpinan HKBP atas penolakan relokasi untuk TSF tahun 2012, sejak awal pimpinan HKBP menolak relokasi gereja untuk kepentingan TSF demi keselamatan masyarakat di wilayah proyek, oleh karena itu tertanggal 09 Juni 2021 Ephorus Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) secara resmi membuat surat penolakan menolak relokasi yang sudah disampaikan ke KLHK dan Ke PT. DPM

Ketakutan masyarakat dan gereja sangat beralasan. Dr. Steven Emerman, pakar masalah lingkungan tambang timbal-seng menyatakan dalam laporan sebelumnya bahwa, jika NFC membangun proyek ini di Tiongkok, bendungan ini akan masuk kategori ilegal karena aspek keamanannya. Saat ini, beliau sudah selesai meninjau versi revisi Adendum ANDAL DPM dan mencatat bahwa tak satu pun persoalan yang ada di versi sebelumnya yang dibahas. “Namun, sekarang sudah jelas bahwa setelah penutupan bendungan, 15% kemungkinan air kolam tailing akan mengalir melalui pelimpah darurat dan masuk ke saluran air hilir tanpa dilakukan pengolahan. Frekuensi pembuangan air limbah tambang yang tanpa diolah yang cukup sering dan kemungkinan besar mengandung racun seharusnya tidak bisa dibenarkan menurut standar mana pun”.

Juga terdapat risiko besar jebolnya bendungan tailing yang bisa mendatangkan bencana. Lokasi bendungan yang diusulkan berada di salah satu zona gempa paling aktif di dunia dan dekat dengan garis patahan yang pernah menyebabkan tsunami Boxing Day di tahun 2004. Dr. Richard Meehan, pakar berpengalaman selama 50 tahun dalam bidang stabilitas bendungan di zona gempa, menyatakan kekhawatiran yang besar terhadap bendungan tailing yang akan dibangun oleh perusahaan tersebut: “Selain risiko gempa yang ekstrem, dalam Adendum AMDAL 2019, DPM mencoba menutupi ketidakstabilan geologi di lokasi bendungan yang diusulkan itu. Kini, di dalam Adendum AMDAL April 2021 mereka, DPM mengakui lokasi bendungan di sejumlah tempat memang memiliki endapan abu vulkanik sedalam 50 meter yang tidak stabil.”

Meehan menjelaskan: “Sekuat apa pun dinding bendungan (bahkan jenis beton besar sekalipun), jika ia berada di atas fondasi yang tidak stabil, maka ia akan rusak karena ambles/turun, terbelah, atau bergeser, dengan menimbuni dinding bendungan yang ambles tersebut atau jebolnya satu titik lokal yang kemudian membesar dan akan bisa mengosongkan TSF dengan mengalirkannya ke lahan di bawahnya.”

Meehan juga mencatat bahwa DPM telah menggunakan metode lama untuk menganalisis stabilitas bendungan: “standar yang mereka gunakan sudah kuno dan tidak diterapkan dengan tepat. Jika pun nanti dibangun, bendungan hampir pasti akan runtuh atau kalau tidak jebol. Mereka mengusulkan stabilisasi “kolom batu”, tetapi teknik-teknik ini belum teruji dan kemungkinan tidak memadai.” Dia menambahkan “dengan banyak penduduk yang tinggal di bawah bendungan yang diusulkan ini, bukan saat yang tepat untuk menggunakan teknologi yang belum teruji di sini.”

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Pertambangan Nasional, JATAM, mengatakan: “Rencana tambang ini berasal dari rezim Suharto lama. Dari awal mula seharusnya tidak pernah diberikan izin. Hari ini kita menyaksikan perusahaan tersebut beroperasi tanpa mengindahkan hukum di Indonesia dan melanggar standar internasional. Masyarakat tidak menginginkan tambang ini ada. Keberadaannya bisa membahayakan masyarakat dan lingkungan. Maka ia harus dihentikan.”

Proyek DPM menjadi subjek pengaduan kepada Compliance Advisor Ombudsman lembaga International Finance Corporation. Ombudsman menerima pengaduan pada bulan Maret tahun lalu karena klien perantara keuangan IFC, Postal Savings Bank of China, merupakan penyokong keuangan terbesar dari pengembang utama tambang.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

  •  Di Indonesia (Waktu Indonesia Barat – UTC +7)

Perwakilan masyarakat Ibu, Menteria Situngkir, dan Bpk. Barisman Hasugian

Karena jangkauan telepon tidak dapat diandalkan, kontak Ibu Sarah Naibaho (+62 812-6903-0128) atau Bapak Tongam Panggabean (+62 821-6807-7307). Sarah dan Tongam juga dapat menerjemahkan dari Batak Toba ke Indonesia atau Inggris jika diperlukan.

Bapak Tongam Panggabean, Direktur, BAKUMSU

WhatsApp dan Signal: Telp +4917669449573, Telp: +62 821-6807-7307, surel:tongampanggabean@protonmail.com

Bahasa: Batak Toba, Indonesia, Inggris.

Ibu Sarah Naibaho, Direktur,YDPK

WhatsApp dan Signal: Telp +62 81269030128

surel:Diakonessarah@protonmail.com

Bahasa: Batak Toba, Indonesia, Inggris

Bapak Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Pertambangan Nasional, JATAM

Nomor WhatsApp, Signal: +62 813 4788 2228 Surel: merahjohansyah@gmail.com

Bahasa: Indonesia, Inggris

Bapak Adrianus Eryan, Kepala Divisi Hutan dan Lahan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Telp +62 813-8629-9786,    adrianus@icel.or.id

Bahasa: Indonesia, Inggris

 

  • Di Bangkok, Waktu Indochina (GMT+7)

Dr. Richard Meehan, Pakar Teknik Sipil dengan fokus pada bendungan di zona gempa

Telp: 66 89 926 6576, Surel:meehan@stanford.edu,

Bahasa: Inggris

 

  •  Di AS, Waktu Musim Panas Gunung (GMT – 6)

Dr. Steven Emerman, Pemilik, Malach Consulting

Telp: 1-801-921-1228, Surel: SHEmerman@gmail.com

Bahasa: Inggris



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang