Pertemuan IMF – World Bank Group Berlumur Kepentingan Industri Pertambangan
Siaran Pers
Pertemuan IMF – World Bank Group Berlumur Kepentingan Industri Pertambangan
Oleh JATAM
12 Oktober 2018
[Bali, 12 Oktober 2018] – Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group 2018 yang berlangsung di Nusa Dua Bali sejak 8 hingga 14 Oktober 2018 tidak ada urusannya dengan persoalan krisis dan masalah yang dihadapi rakyat dan lingkungan di Indonesia. Pertemuan ini justru menjadi pintu masuk bagi investasi berbasis lahan skala besar, dimana rakyat dan lingkungan akan terus menjadi korban.
Hal ini semakin terlihat dari rangkuman signing ceremony yang dilakukan sejumlah BUMN dalam acara Indonesia Investement Forum 2018 yang diselenggarakan bersamaan dengan Pertemuan IMF-World Bank Group 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10/2018).
Salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam forum ini adalah ditandatanganinya investasi dan utang baru sekitar 13, 2 miliar USD atau 200 triliun rupiah bagi 14 BUMN, dimana sektor tambang dan energi menempati porsi terbesar, yakni 7,7 miliar USD.
Besarnya investasi dan utang IMF – WB yang dikucurkan pada sektor pertambangan, migas dan energi ini menunjukkan pertemuan yang menghamburkan nyaris 1 triliun rupiah ini adalah pertemuan yang berlumur kepentingan industri pertambangan.
Salah satunya yang terkait Head of Agreement (HoA) antara PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dengan Ocean Energy Nickel International Pty Ltd (OENI), di mana Antam akan menyediakan pasokan bijih nikel yang stabil untuk proyek NPI Blast Furnac di Halmahera, Maluku Utara.
Kesepakatan ini tentu saja mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan, sebab jejak buruk PT Antam sendiri begitu nyata. JATAM mencatat, aktvitas pertambangan PT Antam yang memiliki 55 konsesi tersebar di Maluku Utara, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Papua, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Bengkulu.
Di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, misalnya, PT Antam meninggalkan kerusakan yang tak terpulihkan. Kini, pulau kecil itu terus dikeruk oleh PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN). Selain itu, di Halmahera Timur, Pulau Gee, sebuah kontraktor PT Antam, yakni PT Geomin melakukan ekstraksi pertambangan. Bahkan pada 2003, di teluk Buli, PT Antam juga datang mengkapling. Cerita tentang kejayaan cengkeh dan pala berubah menjadi cerita tentang pertambangan nikel, emas, bauksit, batubara, bahkan perkebunan monokultur seperti kelapa sawit. Penggusuran dan pengusiran penduduk dari tahan-tanah ulayat, perampasan air dan intimidasi terhadap warga terus terjadi. Hampir semua sistem lokal dan cara pandang orang Halmahera terhadap ruang hidupnya sendiri diporakporanda.
Contoh di atas adalah satu dari sekian banyak investasi yang bermula dari kesepakatan dalam pertemuan forum seperti IMF-World Bank Grup, juga institusi keuangan internasional di bawah pengaruh atau berafiliasi langsung dengan IMF-World Bank Group. Contoh lain yang serupa bisa kita temukan dalam kasus PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Ombilin Sumatera Barat, Peranap Riau, dan Samarinda Kalimantan Timur. Perusahaan BUMN yang mendapat pinjaman dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), sebuah institusi keuangan dan bagian dari World Bank ini, mendapat proper emas sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Jokowi Dodo, namun penghargaan tersebut bermasalah karena tidak berdasarkan data mutakhir di mana terjadinya peningkatan kerusakan lingkungan.
Pada 2010, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka, yakni Direktur Niaga PT Bukit Asam, Tiendas Mangeka dan Direktur Operasi/Produksi, Milawarma dengan kasus korupsi pengadaan floating crane untuk jasa bongkar muat di Pelabuhan Tarahan, Lampung. Berdasarkan rilis Kantor Pelayanan Pajak wilayah kerja Kabupaten Muara Enim pada 2015, menyebutkan PT Bukit Asam terkena kasus tunggakan pajak senilai Rp209 miliar.
Kehadiran PT Bukit Asam bahkan sejak awal mendapat penolakan dari masyarakat karena menambang di Bukit Murman, dekat kawasan pemukiman penduduk dan berada langsung di kawasan Sungai Enim, Talang Jawa, Lingga, dan Karang Raja. Parahnya lagi, Kepala Desa Tanjung Raja mendapat perlakuan intimidatif oleh Manajer Sekuriti PT Bukit Asam dengan pelakukan penembakan dan pengacungan pistol.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa pertemuan IMF – World Bank Group di Bali yang diikuti elit politik, pengusaha, investor, para eksekutif, dan ekonom tidak ada urusannya dengan persoalan krisis rakyat, kerusakan lingkungan, dan penjarahan kekayaan alam Indonesia. Pertemuan itu tampak dimanfaatkan oleh IMF dan World Bank, berikut pelaku bisnis yang merangkap sebagai politisi, menjarah kekayaan alam untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Dan semua itu terjadi di bawah pemerintahan yang ramah terhadap investasi, gemar berutang, dan dikelilingi konglomerat dan politisi yang berorientasi pada penghimpunan kekayaan sebanyak-banyaknya.
Narahubung:
Merah Johanysah – 081347882228
Melky Nahar – 081319789181
Ki Bagus Hadi Kusuma – 085781985822
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang