Penolakan Tambang di Banyuwangi, Polisi harus Bertanggungjawab atas Kekerasan dan Penembakan Warga
Seruan Aksi
Penolakan Tambang di Banyuwangi, Polisi harus Bertanggungjawab atas Kekerasan dan Penembakan Warga
Oleh JATAM
04 Desember 2015
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] bersama dengan Jaringan Advokasi Anti Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyayangkan terjadi peristiwa bentrokan yang disertai dengan penembakan dan penangkapan terhadap warga penolak tambang di di Pulau Merah, Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada 25 November 2015, yang mengakibatkan setidaknya 5 orang warga mengalami luka berat akibat tembakan peluru tajam anggota polisi, dan 3 orang lainnya: Yovan (19 tahun), Suyadi (45 tahun) dan S (44 tahun) mengalami penangkapan sewenang-wenang oleh anggota polisi pasca peristiwa tersebut.
Berdasarkan informasi yang kami terima, peristiwa tersebut dipicu oleh ucapan yang dilontarkan oleh Kapolres Banyuwangi, AKBP Bastoni Purnama, yang mengatakan bahwa warga Pesanggrahan tidak punya etika, dalam proses mediasi terkait penolakan tambang emas PT. Bumi Suksesindo (BSI) di Hotel Baru Indah Jajak, Banyuwangi, yang di hadiri oleh pihak Pemkab, Perwakilan PT. BSI, warga dan Kapolres Banyuwangi, yang kemudian menyulut kemarahan warga hingga kembali mendatangi PT. BSI untuk meminta tambang segera ditutup. Menyikapi penolakan tersebut, sejumlah anggota Brimob yang berjaga di lokasi langsung menembaki warga, serta mengakibatkan kemarahan warga semakin tidak terkendali.
Kami menilai arogansi yang ditunjukan oleh Kapolres Banyuwangi berserta jajarannya tidak sejalan dengan semangat solusi untuk memecah perselisihan terkait pengelolaan sumber daya alam tersebut, hingga kemudian berujung pada hilangnya hak atas rasa aman, hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya, hak atas kebebasan berekspresi, serta hak untuk tidak ditangkap sewenang-wenang, sebagaimana yang dijamin melalui Pasal 25, 29, 33 dan 34 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, yang merupakan terjemahan dari Pasal 3, 5, 9, dan 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga Pasal 7, 9, 19, Konvensi Internasional Hak Sipil Politik, yang kembali ditegaskan melalui Pasal 6 huruf b,c dan d Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Tugas Polri.
Dalam peristiwa tersebut, kami juga melihat anggota polisi telah gagal melakukan upaya pencegahan (preventif) serta penilaian terkait perlunya tindakan (nesesitas) yang seimbang (proporsionalitas) dan masuk akal (reasonable) sehubungan dengan penggunaan kekuatan dalam peristiwa tersebut, sebagaimana yang diamanatkan oleh Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Tindakan berlebihan yang berujung kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut juga bertentangan dengan Perkap No. 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa serta Perkap No. 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, Dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum.
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Etika Berperilaku Bagi Penegak Hukum (UN Resolution on Code of Conduct for Law Enforcement) juga dengan jelas menyebutkan bahwa aparat penegak hukum boleh mengunakan tindakan keras hanya bilamana benar-benar diperlukan dan hanya sejauh yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban mereka, termasuk dalam hal ini penggunaan senjata api dianggap merupakan langkah yang ekstrim, serta perlu dilakukan segala upaya untuk menutup kemungkinan bagi penggunaan senjata api. Hal yang mana juga dikategorikan sebagai upaya terakhir melalui Pasal 8 (2) Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.
Kami juga melihat akar permasalahan konflik Tumpang Pitu yang menyulut brutalitas polisi adalah juga terkait dengan persoalan perizinan tambang kepada PT Bumi Suksesindo yang tidak melibatkan ruang partisipasi warga. Problem korupsi atas izin pengelolaan sumber daya alam telah menjadi tren yang condong kerap muncul dalam persoalan sengketa lahan akhir-akhir ini. Kami menegaskan bahwa jika persoalan izin tambang dan kekerasan polisi tidak diselesaikan dengan transparan, maka akan memberikan imbas pada proses penyelenggaraan sukses politik (Pilkada) yang akan diselenggarakan serempak dibulan Desember ini.
Oleh karena itu kami mendesak sejumlah pihak untuk:
Pertama, Kepolisian dalam hal ini Polda Jawa timur untuk melakukan evaluasi dan penindakan terhadap seluruh jajaran Polres Banyuwangi terkait penggunaan kekuatan berlebihan hingga mengakibatkan kekerasan dan pelanggaran HAM. Mereka yang melakukan penembakan harus diperiksa melalui prosedur pidana yang layak. Polda Jawa Timur juga harus menghentikan upaya kriminalisasi terhadap sejumlah warga yang masih berlangsung hingga hari ini; diketahui terdapat edaran Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap sejumlah nama yang membuat kecemasan warga menjadi meluas. Polda Jawa Timur juga harus menarik mundur pasukan yang digelar di lokasi, yang diketahui telah memicu rasa takut, teror dan intimidasi warga.
Kedua, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI untuk segera melakukan penyelidikan terkait peristiwa kekerasan dan pelanggaran terhadap Pasal 25, 29, 33 dan 34 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagaimana fungsi dan tugasnya yang merupakan amanat dari Pasal 89 (3) UU Nomor Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Komnas HAM juga harus memberikan rekomendasi untuk mendorong Pemerintah Daerah dan Polres Banyuwangi untuk mengkondusifkan situasi dengan berkoordinasi bersama dengan tokoh masyarakat setempat agar terwujud jaminan rasa aman warga untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonominya.
Ketiga, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera memberikan perlindungan yang efektif bagi seluruh korban dan warga yang masih merasa ketakutan atas teror dan intimidasi akibat terjadinya peristiwa tersebut sebagaimana fungsi dan tugasnya yang diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Keempat, harus dilakukan evaluasi yang menyeluruh atas praktik dan izin perusahaan tambang di wilayah Provinsi Jawa Timur. Peristiwa Banyuwangi telah menambah deret panjang kekerasan, pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam yang telah melibatkan unsur korporasi dan elit politik lokal yang amat merugikan hak-hak dasar warga.
Jakarta, 04 Desember 2015
KontraS, Jatam, Walhi.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang