Pemerintah Didesak Keluarkan Hasil KLHS II
Berita
Pemerintah Didesak Keluarkan Hasil KLHS II
Oleh JATAM
22 Maret 2018
Pemerintah didesak segera mengumumkan hasil Kajian Lingkungan Hidup Startegis (KLHS) tahap II agar kerusakan di kawasan bentang alam karst (KBAK) di Pegunungan Kendeng tidak semakin luas. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan adanya penambangan baru di kawasan Kendeng.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tahap I yang dikeluarkan pada 2 Agustus 2016 meminta aktivitas penambangan oleh semua pihak di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dihentikan. Semua pihak diminta menaati hasil kajian KLHS tahap 1 tersebut sambil menanti KLHS tahap II yang mencakup kajian komprehensif wilayah Pegunungan Kendeng di Kabupaten Grobogan, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. (Kompas, 13/2)
Namun berdasarkan data Jatam, Januari 2017 hingga Maret 2018 terdapat 120 izin usaha pertambangan baru di Jawa Tengah, termasuk di Pegunungan Kendeng. Izin baru itu di Rembang (87 izin), Grobogan (13 izin), Blora (11 izin), dan Pati (9 izin).
Koordinator Nasional Jatam, Merah Johansyah, mengatakan, adanya izin usaha tambang baru tersebut menunjukkan pemerintah tidak tegas dalam penegakkan hukum KLHS tahap I.
“Janji-janji yang sudah disampaikan mengenai kepastian keselamatan alam dan lingungan lewat KLHS tahap 1, semua dilanggar. Ini memperburuk janji-janji keselamatan alam dan lingkungan,” ujar Merah dalam peringatan satu tahun meninggalnya pejuang Kendeng, Ibu Patmi, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Jakarta, Rabu (21/3).
Merah menuturkan, dokumentasi mengenai pelanggaran perusahaan tambang yang melakukan aktivitas tambang telah dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
“Kami sudah memberikan bukti, tetapi tidak ada sikap dari pemerintah sejak delapan bulan lalu,” ucap Merah.
Oleh karena itu, Merah mendorong pemerintah segera mengumumkan hasil dari KLHS tahap II agar kerusakan di KBAK Pegunungan Kendeng tidak kian meluas. Apalagi, berdasarkan KLHS tahap I, valuasi kerugian negara apabila tambang itu terus terjadi mencapai Rp 2,2 triliun per tahun.
“Itu menunjukkan bahwa negara akan rugi kalau perusahaan-perusahaan itu terus melancarkan aksinya karena dampak kerusakan lingkungan yang terjadi. KLHK harus segera mengeluarkan putusan KLHS tahap II itu. Kami khawatir, kehidupan alam dan masyarakat Kendeng makin terancam,” tutur Merah.
Tagih komitmen
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, sebanyak 120 izin tambang itu telah melanggar Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS. Pasal ini meletakkan KLHS sebagai kewajiban bagi penyelenggaraan kebijakan, rencana, atau program (KRP) yang berdampak bagi lingkungan hidup. Karena itu, Isnur meminta pemerintah untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan yang tetap beroperasi di wilayah cakupan KLHS.
“KLHS itu dihormati dan dilaksanakan. Kami menagih komitmen semua pihak, baik perusahaan, KLHK, dan pemerintah setempat untuk tidak mengingkari komitmen yang sudah ada. Pemerintah sadar bahwa itu salah dengan mendiamkan. Seharusnya pemerintah bergerak dengan cepat dan menghentikan penambangan,” tutur Isnur.
Secara terpisah, Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Yazid Nurhuda menuturkan, pihaknya akan mengecek kembali kebenaran dari laporan aktivitas tambang tersebut.
Sumber: Kompas
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang