Pejuang Lingkungan dan HAM Semakin Terancam, Di Mana Negara?
Kampanye
Pejuang Lingkungan dan HAM Semakin Terancam, Di Mana Negara?
Oleh JATAM
28 Januari 2016
(Siaran Pers, 28 Januari 2016). Janji Pemerintahan Jokowi – JK untuk menghadirkan Negara sebagai representasi kedaulatan Rakyat, ternyata masih patut dipertanyakan. Nyata di lapangan, aparat Negara malah hadir dalam rangka melindungi korporasi dan investasi, namun abai mengurusi keselamatan rakyat. Ancaman kekerasan dan intimidasi terhadap pejuang lingkungan dan HAM semakin meningkat. Ironisnya, kekerasan dan intimadasi yang dipertontonkan oleh kuasa modal tersebut tidak hanya dilakukan oleh preman, namun juga melibatkan aparat keamanan.
Dalam minggu ini, setidaknya tecatat tiga kasus kekerasan dan intimidasi terhadap pejuang Liingkungan dan HAM. Senin 25 Januari, sekretariat Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) digruduk oleh gerombolan preman yang mengaku kontraktor dari salah satu perusahaan tambang batubara yang izin operasinya dibekukan oleh gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek sejak 18 Desember 2015. Pembekuan 11 izin tambang batubara tersebut adalah buntut dari kasus meninggalnya 19 bocah di lubang bekas tambang batubara di Kalimantan Timur, yang selama ini selalu dikampanyekan oleh JATAM Kaltim. Dalam peristiwa itu, gerombolan preman tersebut mengancam dengan menggebrak meja dan membentak hingga nyaris melakukan pemukulan ke salah satu aktivis JATAM Kaltim.
Ancaman dan intimidasi juga dilakukan oleh aparat Negara. Kali ini terjadi di Desa Supul, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur, di mana masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa dan ritual adat untuk memprotes kegiatan pertambangan mangan PT. Soe Makmur Resources (SMR) di atas lahan mereka, malah dihadang dan diintimidasi oleh ratusan aparat TNI dari Kodim TTS. Aksi pendudukan lahan dan penanaman pohon yang dilakukan warga Desa Supul merupakan upaya masyarakat untuk mendapatkan kembali lahan mereka yang dirampas oleh PT. SMR sejak 2008 lalu. Keberadaan PT. SMR telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Selain melakukan penipuan dan perampasan lahan, PT. SMR juga menyebabkan krisis lingkungan di wilayah Desa Supul. Aktifitas pertambangan PT. SMR telah mencemari sumber air warga, tercatat lebih dari 20 mata air tercemar lumpur dari tambang dan pencucian mangan. Belum lagi bahaya longsor dan banjir bandang yang selalu mengancam perkampungan warga akibat perubahan bentang alam secara massif dari aktifitas pertambangan.
Pada hari yang sama, warga Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, juga mendapatkan intimidasi dan ancaman dari aparat ketika melakukan protes atas rencana pertambangan pasir oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Rencana pertambangan pasir laut ditujukan untuk kegiatan Reklamasi Teluk Benoa yang juga dikelola oleh PT. TWBI. Aksi warga yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Lombok Timur mendapatkan tindakan represif dari aparat Kepolisian yang melakukan provokasi dengan melakukan pelemparan batu dan menembakkan gas air mata ke arah massa aksi.
Bahkan dalam beberapa kasus, pihak aparat keamanan malah menjadi pelaku bisnis, yang malah berseberangan dengan urusan keselamatan rakyat. Dalam kasus perampasan lahan di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin Bogor, misalnya, TNI AU selain mengklaim lahan seluas 1.000 Ha juga melakukan bisnis illegal tambang galian pasir dan tanah merah yang berlangsung sejak 2007.
Berbagai rentetan kekerasan dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh preman maupun aparat Negara, sudah seharusnya menjadi perhatian serius bagi Pemerintah. Pemerintah harus benar-benar bisa menghadirkan Negara sebagai representasi kedaulatan rakyat, bukan sebagai pelinndung dan pelayan korporasi. Untuk itu kami menekankan pada Pemerintahan Jokowi – JK untuk:
1. Memberikan jaminan kepada masyarakat, baik individu maupun kelompok, yang berjuang untuk keselamatan lingkungan dan penegakan HAM.
2. Membuat regulasi yang tegas untuk mencegah penggunaan aparat Negara untuk kepentingan korporasi berhadapan dengan rakyat.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Justice, Peace, Integration of Creation (JPIC-OFM)
Greenpeace Indonesia
KontraS
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang