Operasi PT Antam Cemari Pesisir Halmahera Timur
Berita
Operasi PT Antam Cemari Pesisir Halmahera Timur
Oleh JATAM
04 Mei 2021
- Sungai dan pesisir pantai Desa Maba Pura, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, awal April lalu, tercemar operasi tambang PT Aneka Tambang site Maronopo. Ekosistem mangrove dan laut pun terancam rusak.
- Selain menambang nikel, Antam juga membangun tempat pemurnian (smelter) nikel, berlokasi di Maba Pura, tepatnya di Tanjung Buli. Masyarakat Buli adalah petani dan nelayan. Pada 70-an-90-an, Teluk Buli ramai nelayan, bahkan dari Sulwesi, untuk ambil teri. Teri begitu banyak kala itu tetapi kini jauh berubah.
- Aktivitas penambangan Antam di Maluku Utara, sudah berlangsung lama. Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada 1979-2004, Antam telah beroperasi di Pulau Gebe. Sebagian besar lahan perkebunan warga beralih-fungsi jadi konsesi tambang. Selama sekitar 25 tahun mengeruk perut pulau, sejumlah kerusakan pun terjadi. Mulai dari sumber air hilang dan warga terpaksa membeli air bersih, laut tercemar, hingga terumbu karang, mangrove, kopra, pala, cengkih, dan sagu ikut lenyap.
- Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, pemerintah pusat dan daerah harus segera membuat kebijakan yang bermuara pada penyelamatan dan perlindungan atas ruang hidup warga tersisa, mulai dari lahan pangan dan air, hutan, serta pesisir dan laut sebagai wilayah tangkap nelayan.
Operasi tambang PT Aneka Tambang (Antam) di-site Moronopo, Desa Maba Pura, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, awal April lalu, kembali mencemari sungai dan pesisir pantai. Ekosistem mangrove dan laut pun terancam rusak.
Pencemaran lumpur tambang ini, menurut M. Said Marsaoly, warga setempat, bukan kali pertama. Sejak Antam mulai masuk Halmahera Timur dan beroperasi pada 2006, sungai dan pesisir site Monoropo seringkali tercemar lumpur.
“Pemkab kalau pemeriksaan berkala tak pernah turun ke pesisir. Kalau hujan merahnya sampai kelihatan ke laut,” katanya.
Cerita Said, Moronopo ini tempat warga Maba dan Teluk Buli menangkap ikan. Di teluk ini ikan bertelur. Para nelayan pun menjadikan tempat ini untuk menambatkan perahu, juga tempat transit.
Ketika Antam beroperasi, semua berubah. Lahan pertanian dan perkebunan di lereng gunung beralih-fungsi jadi wilayah tambang. Ketika musim hujan tiba, limbah tambang dengan gampang mengalir ke wilayah pesisir, bahkan menembus laut, wilayah tangkap nelayan.
Aktivitas penambangan Antam di Maluku Utara, sudah berlangsung lama. Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada 1979-2004, Antam telah beroperasi di Pulau Gebe. Sebagian besar lahan perkebunan warga beralih-fungsi jadi konsesi tambang.
Selama sekitar 25 tahun mengeruk perut pulau, sejumlah kerusakan pun terjadi. Mulai dari sumber air hilang dan warga terpaksa membeli air bersih, laut tercemar, hingga terumbu karang, mangrove, kopra, pala, cengkih, dan sagu ikut lenyap.
Menurut Jatam, reklamasi dan pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) perusahaan, tak cukup mampu memulihkan kerusakan sosial-ekologis. Termasuk perubahan pola produksi dan konsumsi warga yang kadung bergantung pada ekonomi tambang.
Ketika Antam memutuskan berhenti dan keluar dari Gebe, alih-alih ada upaya lanjutan pemulihan ekonomi, sosial, dan ekologis, Pemerintah Halmahera Tengah justru menerbitkan 12 izin tambang baru kepada sejumlah perusahaan. Kondisi ini, tentu memperparah kerusakan bentang alam, berikut ruang produksi warga Gebe.
Lepas dari Pulau Gebe, jejak perusahaan ini di Maluku Utara juga terjadi di Pulau Gee. Pulau kecil yang hanya seluas 171 hektar ini, dikeruk sejak 2003, melalui PT Minerina Bhakti, anak usaha Antam.
“Akibatnya, pulau yang dulu rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan tempat singgah nelayan saat melaut, tandus. Tak ada reklamasi apapun, dibiarkan begitu saja,” kata Said.
Antam lalu berpaling ke Pulau Pakal, yang bersebelahan dengan Pulau Gee. Antam mulai menambang nikel di pulau seluas 709 hektar ini sejak 2010. Saat bersamaan, Antam juga menambang di daratan Halmahera Timur, tepatnya bagian utara Desa Buli, Kecamatan Maba.
Aktivitas tambang Antam di Pulau Pakal dan daratan Halmahera Timur merupakan bagian dari konsesi tambang sama, melalui izin tambang yang terbit dari Kementerian ESDM pada 2000. Luas konsesi mencapai 39.040 hektar.
Selain menambang nikel, Antam juga membangun tempat pemurnian (smelter) nikel, berlokasi di Maba Pura, tepatnya di Tanjung Buli.
Masyarakat Buli adalah petani dan nelayan. Nelayan biasa melaut lintas pulau-pulau kecil, bermalam dan melanjutkan perjalanan ke Pakal. Pada 70-an-90-an, kata Said, Teluk Buli ramai nelayan, bahkan dari Sulwesi, untuk ambil teri. Teri begitu banyak kala itu.
Dulu, nelayan bisa mendapat 5-6 ton teri masa sekali panen. Kini, mencapai ratusan kilogram saja sulit. Keadaan ini, katanya, karena pencemaran laut dari material tambang dan lalu lalang kapal-kapal dan tongkang pengangkut ore.
Menurut Ismunandar, warga Halmahera Timur, penambangan membongkar isi perut pulau, kerusakan terjadi di wilayah daratan sebagai ruang produksi pangan dan air. Ruang laut pun rusak, sebagai wilayah tangkap nelayan karena tercemar material tambang.
Kejayaan pala, kelapa (kopra), sagu, dan cengkih, yang sebelumnya jadi tulang punggung ekonomi warga, nyaris lenyap.
“Warga kemudian dibuat bergantung pada ekonomi tambang yang rapuh dan sesaat, tak menjamin keberlanjutan dan masa depan anak cucu,” katanya.
Penelitian Institut Pertanian Bogor pada 2007 menguatkan bukti pencemaran ini. Para peneliti menemukan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand–indikator pencemaran laut–di Laut Buli sebesar 23-37 miligram per liter dan 27-75 miligram per liter. Angka ini jauh di ambang batas laut normal.
Penelitian itu menyebutkan, penambangan terbuka dengan mengupas gunung, secara bertahap mengubah bentang alam Tanjung Buli. Erosi dan sedimentasi laut adalah ancaman yang merusak ekosistem, kalau tak segera ada reklamasi.
Urgen aksi nyata
Perluasan perusakan wilayah daratan, pesisir, dan laut yang terus berlangsung di Halmahera Timur, kalau terus berlangsung akan memperbesar risiko bagi keselamatan warga dan ruang produksi pangan maupun air.
“Penambangan yang karakternya rakus lahan dan rakus air, daya rusak tak hanya di situs-situs tambang, juga wilayah lain di sekitar konsesi tambang, dan wilayah hilir,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam.
Kompleksitas daya rusak itu, katanya, ditanggung warga, baik yang memutuskan bertahan atas ruang hidup, maupun bagi yang bekerja di perusahaan tambang. Daya rusak itu, kata Merah, tentu berlangsung lama, bahkan melampaui masa operasi tambang itu sendiri.
Menurut dia, aktivitas tambang dan smelter ini praktis merusak pulau-pulau besar karena kebutuhan listrik sebagian besar dari PLTU batubara.
Saat ini, ada 26 konsesi tambang di bawah Antam dengan luas 396.220 hektar. Segmen operasi nikel terdiri dari feronikel dan bijih nikel. Selain di Halmahera Timur, anak perusahaan Antam, PT Gag Nikel juga mengelola tambang nikel di Pulau Gag, Papua Barat.
Dalam Annual Report 2020, Antam punya 19 anak perusahaan dan tergabung dalam 10 entitas asosiasi. Tahun lalu laba bersih yang terdistribusi pada pemilik entitas induk Rp1,15 triliun. Laba kotor mencapai Rp4,48 triliun.
“Atau setara 4,5 kali APBD Halmahera Timur,” kata Merah.
Tingkat penjualan tahun lalu juga Rp27,37 triliun dengan penjualan domestik Rp19,92 triliun atau 73% dari total nilai penjualan 2020.
Antam juga kembali mencatatkan volume produksi tertinggi sepanjang sejarah perusahaan pada 2020. Produksi feronikel Antam tercatat 25.970 ton nikel dalam feronikel lebih tinggi dari capaian produksi 2019 sebesar 25.713 TNi.
Sepanjang 2020, penjualan feronikel merupakan kontributor terbesar kedua dari total penjualan bersih perusahaan, Rp4,66 triliun atau 17% dari total penjualan, berkontribusi sebesar 24% dari total pendapatan bersih perusahaan.
Penjualan bersih Antam tahun 2020 tercatat Rp27,37 triliun atau 84% dari capaian penjualan 2019 sebesar Rp32,72 triliun. Emas merupakan komponen terbesar pendapatan perusahaan, berkontribusi Rp19,36 triliun atau 71% dari total penjualan bersih 2020. Sisanya, segmen nikel.
Kebutuhan tenaga listrik untuk smelter mencapai 4.204 megawatt. Setengahnya, 2,384 megawatt dari PLTU.
Jatam menyoroti, bagaimana tambang ini mengancam pangan dan pertanian. Aktivitas tambang di Pulau Gebe sudah mengepung hampir 80% pulau ini. Generasi penerus petani makin hilang. Petani saat ini rata-rata berusia 40 tahun ke atas. Petani kopra harus membayar anak muda untuk memanjat kelapa, sedangkan generasi tua membuka kelapa dan membakar untuk jadi kopra.
“Untuk pala, diperkirakan sekitar 20 tahun lagi diprediksi habis regenerasi tani di Gebe. Ini bisa menjadi lebih cepat melihat izin tambang yang mayoritas sampai 2025.”
Siapa di balik tambang ini? Merah mengatakan, selalu ada pejabat KESDM dan perwira polisi atau TNI di barisan pemimpin perusahaan. Dadan Kusdiana, misal komisaris Antam juga menjabat Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM. Bambang Sunarwibowo juga komisaris perusahaan merangkap sekretaris utama Badan Intelijen Negara.
Hal lain yang disoroti Jatam yakni ongkos operasi perusahaan murah namun risiko kesehatan dan lingkungan hidup jadi beban rakyat dan alam.
Smelter pengolahan bijih nikel secara pyrometallurghy menimbulkan limbah berupa slag nikel. Slag yang terpapar hujan asam berpotensi meningkatkan keterlindian logam berat ke badan air permukaan dan air tanah.
Kementerian Perindustrian mencatat 21,8 juta slag per tahun dari pemurnian dan peleburan. Industri baja dan nikel merupakan penghasil slag terbesar setiap tahun sekitar 2,2 juta ton slag dari 44 pabrikan. Industri nikel menghasilkan 13 juta ton slag per tahun dari produksi 2,4 juta ton per tahun nikel.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui PP No 22/2021 mengeluarkan sembilan komponen limbah dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) termasuk slag besi dan baja, slag nikel.
Dengan demikian, kata Merah, pemerintah perlu menyelamatkan ruang hidup warga dan ekosistem, baik di darat, pesisir, dan laut yang tersisa menjadi penting dan mendesak.
“Pemerintah pusat dan daerah harus segera membuat kebijakan yang bermuara pada penyelamatan dan perlindungan atas ruang hidup warga tersisa, mulai dari lahan pangan dan air, hutan, serta pesisir dan laut sebagai wilayah tangkap nelayan,” katanya.
Jatam juga mendesak, pemerintah menghentikan sementara seluruh operasi tambang di daratan, pesisir, dan pulau kecil di Halmahera Timur, dan audit dan evaluasi menyeluruh, mulai dari kebijakan perizinan hingga aktivitas tambang di tapak.
“Segera rehabilitasi segala kerusakan, baik di daratan Halmahera Timur, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang sudah rusak akibat operasi tambang.”
Menanggapi keluhan warga soal limbah lumpur di Monoropo, perwakilan PT Antam di Maluku Utara, A. Toko Susetio berdalih, tercemarnya pesisir dan vegetasi mangrove karena curah hujan tinggi pada Maret lalu yang mencapai 982 mm per hari.
Toko mengatakan, Antam akan menambah kapasitas sarana pengendali erosi dan sedimentasi. Selain itu akan meminimalkan erosi dengan sistem penataan lahan reklamasi dan penanaman cover crop di tanggung jalan produksi maupun lereng gunung.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang