Nestapa Pulau Kecil Indonesia dalam Cengkeraman Tambang


Siaran Pers

Nestapa Pulau Kecil Indonesia dalam Cengkeraman Tambang


Oleh JATAM

22 Juli 2022





JATAM & LBH Makassar, 22 Juli 2022


 

Pemerintah hingga kini masih terus memberikan ruang untuk aktivitas tambang di pulau-pulau kecil yang melanggengkan pelanggaran hukum dan perampasan ruang hidup warga. Padahal pulau kecil memiliki karakteristik yang berbeda dan kerentanan ekologis yang lebih tinggi dengan daratan pulau besar. Begitu pula daya rusak dari aktivitas tambang di kawasan pulau-pulau kecil ini, akan lebih cepat meluas dan sulit untuk dipulihkan, mengingat sangat terbatasnya infrastruktur ekologis di pulau kecil.

Berdasarkan temuan JATAM, setidaknya terdapat 164 izin tambang di 55 pulau kecil di Indonesia yang telah dan terus dibongkar kandungan mineralnya oleh berbagai perusahaan tambang. Operasi pertambangan di pulau-pulau mungil itu membawa daya rusak tak terpulihkan serta mengancam keselamatan warga. Sejumlah pulau kecil kini telah menjadi monumen penghancuran tambang, diantaranya yakni Pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli di Maluku Utara, yang luluh lantak oleh aktivitas pertambangan nikel. Sederet pulau kecil lainnya juga tidak luput dari perusakan yang serupa, seperti Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, dan sederet pulau-pulau kecil lainnya.

Aktivitas tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sangat erat kaitannya dengan pelanggaran hukum. Sebagaimana ketentuan pada pasal 35 huruf (k) pada UU No. 1/2014 perubahan UU No. 7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K), yang melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Tidak hanya melanggar UU WP3K, praktek pertambangan di pulau kecil juga diikuti dengan pelanggaran hukum dan maladministrsi lainnya. Seperti yang dilakukan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana di Pulau Wawonii, terdapat dugaan kuat praktik maladministrasi dalam proses penerbitan dua IPPKH milik PT GKP dengan No. SK. 576/Menhut/II/2014 seluas 707,10 Ha dan No. SK. 1/1/IPPKH/PMDN/2016 seluas 378,14 ha. Penerbitan kedua IPPKH ini didasari oleh dokumen AMDAL PT GKP pada 2008. Namun praktiknya, PT GKP baru melakukan kegiatan konstruksi pada 2019, sehingga berdasarkan pasal 50 ayat (2) huruf e PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, IPPKH milik PT GKP dianggap kadaluarsa karena tidak ada kegiatan dalam jangka waktu maksimal tiga tahun sejak diterbitkan.

Pelanggaran hukum oleh perusahaan tambang juga terjadi di Pulau Sangihe, pulau kecil dengan luas hanya 73.700 Ha, yang kini tengah ditambang oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS), perusahaan tambang emas asal Kanada. Dimana izin lingkungan milik PT TMS No. 503/DPMPTSPD/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020, sudah dibatalkan oleh PTUN Manado pada 2 Juni 2022, namun perusahaan tetap bersikukuh untuk melanjutkan aktivitas pertambangan dan terus melakukan intimidasi terhadap warga. Alih-alih mematuhi putusan pengadilan. PT TMS justru melakukan pembangkangan. Pada Rabu, 13 Juni 2022, perusahaan tetap memobilisasi alat berat ke lokasi perusahaan di Kampung Bowone melalui Pelabuhan Panaru. Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat TNI-Polri. Perusahaan jelas tidak memiliki izin lingkungan yang sah, segala aktivitas yang dilakukan mereka harus dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Tidak hanya melanggar hukum, aktivitas pertambangan di wilayah pulau kecil juga sarat dengan kriminalisasi terhadap warga yang berjuang menyelamatkan ruang hidupnya dengan menolak aktivitas tambang di pulaunya. Bermacam pasal dari berbagai undang-undang kerap digunakan untuk meredam protes warga menolak tambang. Sebagaimana yang terjadi di Pulau Wawonii yang hanya seluas 86.700 Ha, hingga kini setidaknya sudah 30 orang dikriminalisasi oleh PT GKP dengan berbagai macam pasal, diantaranya pasal 333 KUHP terkait perampasan kemerdekaan; pasal 335 KUHP terkait ancaman dengan menggunakan kekerasan; pasal 351 KUHP terkait penganiayaan; pasal 162 UU Minerba 3/2020 Jo. UU Cipta Kerja 11/2020 terkait menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang.

Hal serupa juga terjadi di Pulau Sangihe, dimana satu orang warga kini ditahan polisi karena aktivitasnya menghadang alat berat milik PT TMS yang juga dikawal ketat oleh aparat TNI-Polri. Aksi warga pada 13-15 Juni 2022 tersebut direpresi oleh aparat dengan menggunakan berbagai pasal, mulai pasal 63 UU 38/2004 tentang Jalan; pasal 192 KUHP terkait keselamatan jalan dan pekerjaan; pasal 162 UU Minerba 3/2020 Jo. UU Cipta Kerja 11/2020 terkait menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang; hingga pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 terkait penggunaan senjata tajam, yang mana pada akhirnya pasal ini lah yang menjerat Robison Saul terkait pisau yang dibawanya saat pulang melaut dan spontan terlibat dalam aksi penghadangan alat berat PT TMS. Padahal pisau tersebut hanyalah alat yang biasa dia gunakan saat melaut.

Perampasan lahan warga juga menjadi hal yang lumrah dalam aktivitas pertambangan. Di Wawonii, bahkan praktik perampasan lahan ini dibarengi dengan aksi kekerasan oleh perusahaan dan aparat TNI-Polri yang menjaga aktivitas penyerobotan lahan tersebut. Sebelumnya, pada Kamis (3/3/22), PT GKP melakukan penerobosan dan penggusuran dengan melibatkan aparat kepolisian dan TNI di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang tidak bersedia lahannya menjadi areal pertambangan untuk perusahaan. Tercatat, penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT GKP ini merupakan yang kelima kalinya: pertama, Selasa, 9 Juli 2019, di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa, 16 Juli 2019, di lahan milik Pak Idris. ketiga, Kamis, 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa, 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

Aksi penyerobotan lahan oleh PT GKP dengan kawalan ketat aparat ini disertai dengan aksi kekerasan terhadap warga yang melakukan penghadangan, warga dipukul, dipiting hingga dinjak saat mempertahankan lahannya. Aktivitas PT GKP ini juga menghilangkan akses warga terhadap air bersih yang menyebabkan selama empat hari warga Desa Roko-roko Raya terputus pasokan air bersihnya, serta merusak tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, kelapa dan pala.

“Tindakan ini jelas melanggar hukum dan HAM. Olehnya itu, penegakan hukum harus segera dilakukan agar perusahaan berhenti melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Lebih dari itu semua, izin pertambangan PT GKP harus segera dicabut, agar Wawonii bisa kembali tenang dan pulau ini selamat dari ancaman kerusakan,” pungkas Ady Anugrah Pratama dari LBH Makassar.

Perusakan lingkungan yang massif menjadi hal yang tak terpisahkan dari aktivitas tambang di pulau kecil, seperti yang terjadi di Pulau Gee dan Pulau Pakal di Halmahera Timur, Maluku Utara, di mana BUMN PT Aneka Tambang (ANTAM) telah membongkar perut dua pulau kecil ini intuk ditambang nikelnya. Pulau Gee yang hanya seluas 171 Ha, yang dulunya hijau, kini telah gundul dan gersang akibat pengerukan nikel. Gerusan eskavator telah membuat permukaan pulau mungil ini bopeng-bopeng. Pulau yang dulu rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan tempat singgah nelayan saat melaut, kini tandus.

“ANTAM pergi begitu saja tanpa melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan di Gee dan Pakal. Mereka malah membebankan kewajiban reklamasi pada warga yang disuruh menanam bibit pohon yang sudah dibelikan perusahaan, tanpa ada upaya pemulihan secara nyata. Sekali hujan langsung longsor semua bibit pohon yang ditanam warga,” ungkap Said Marsaoly, salah seorang warga Halmahera Timur yang aktif menolak aktivitas pertambangan.

Parahnya, setelah Pulau Gee hancur dan tak ditambang lagi, kini ANTAM telah berpindah operasinya ke Pulau Pakal, di selatan Pulau Gee, yang kini nyaris bernasib sama. Kini ANTAM juga melakukan ekspansi ke wilayah daratan di Halmahera Timur. “Yang menerima dampaknya ini kami yang ada di kampung, bukan Presiden yang ada di Jakarta sana. Jika masih punya nurani, jangan dilanjutkan lagi investasi tambang ini,” tegas Said Marsaoly.

Pulau Sangihe juga mengalami ancaman bencana ekologi yang serupa, dimana PT TMS telah mengkavling tujuh kecamatan dan 80 desa, yang semuanya bukanlah ruang kosong, melainkan ruang hidup seluruh warga Pulau Sangihe. Kawasan hutan bakau dan kawasan hutan lindung Sahendaruman, hulu dari 70 sungai yang esensial bagi warga, serta sebagai habitat alami hewan-hewan endemik berstatus dilindungi terancam. Ancaman itu diperparah dengan status Pulau Sangihe yang berada di kawasan bencana, berupa banjir, longsor, tsunami dan gempa bumi dari lempeng Sangihe. Selain itu terdapat gunung berapi aktif, yakni Gunung Awu yang berada di tengah pulau, serta dua gunung api bawah laut yang mengapit Pulau Sangihe, yakni Gunung Kawio di sisi utara dan Gunung Banua Wuhu atau juga dikenal dengan Gunung Mahangetang di sisi barat. Aktivitas tambang di Pulau Sangihe jelas akan merusak upaya mitigasi warga pulau dalam menghadapi bencana alam yang sudah turun temurun dilakukan, serta meningkatkan resiko bencana.

Dalam jangka panjang, pulau-pulau kecil itu bisa lenyap akibat aktivitas pertambangan yang diperparah dengan bencana krisis iklim. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2011 menyebutkan sebanyak 28 pulau kecil di Indonesia telah tenggelam dan 24 pulau kecil lainnya terancam melesap. Kajian perusahaan riset asal Inggris, Verisk Maplecroft, soal dampak krisis iklim memperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam pada 2050 seiring dengan naiknya permukaan laut. Muhammad Jamil dari JATAM menegaskan bahwa derita dan ancaman yang mengintai warga jauh lebih besar dari narasi-narasi indah yang selama ini diusung oleh pemerintah dan perusahaan tambang.

“Kalau memang pengurus negara saat ini tidak ingin dicap sebagai pelaku perusakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, kami tantang untuk segera cabut seluruh izin tambang di kawasan pesisir dan pulau kecil,” pungkasnya.

Sederatan fakta di lapangan ini seharusnya lebih dari cukup bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan audit secara menyeluruh terhadap seluruh izin pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil demi mendorong pemulihan lingkungan serta pencabutan izin dan penghentian seluruh aktivitas tambang tersebut.

 

Narahubung:

Said Marsaoly, Warga Halmahera Timur (082199384468)

Ady Anugrah Pratama, YLBHI-LBH Makassar (085342977545)

Muh. Jamil, JATAM Nasional (082156470477)

 







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Nestapa Pulau Kecil Indonesia dalam Cengkeraman Tambang


Share


Oleh JATAM

22 Juli 2022



JATAM & LBH Makassar, 22 Juli 2022


 

Pemerintah hingga kini masih terus memberikan ruang untuk aktivitas tambang di pulau-pulau kecil yang melanggengkan pelanggaran hukum dan perampasan ruang hidup warga. Padahal pulau kecil memiliki karakteristik yang berbeda dan kerentanan ekologis yang lebih tinggi dengan daratan pulau besar. Begitu pula daya rusak dari aktivitas tambang di kawasan pulau-pulau kecil ini, akan lebih cepat meluas dan sulit untuk dipulihkan, mengingat sangat terbatasnya infrastruktur ekologis di pulau kecil.

Berdasarkan temuan JATAM, setidaknya terdapat 164 izin tambang di 55 pulau kecil di Indonesia yang telah dan terus dibongkar kandungan mineralnya oleh berbagai perusahaan tambang. Operasi pertambangan di pulau-pulau mungil itu membawa daya rusak tak terpulihkan serta mengancam keselamatan warga. Sejumlah pulau kecil kini telah menjadi monumen penghancuran tambang, diantaranya yakni Pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli di Maluku Utara, yang luluh lantak oleh aktivitas pertambangan nikel. Sederet pulau kecil lainnya juga tidak luput dari perusakan yang serupa, seperti Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, dan sederet pulau-pulau kecil lainnya.

Aktivitas tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sangat erat kaitannya dengan pelanggaran hukum. Sebagaimana ketentuan pada pasal 35 huruf (k) pada UU No. 1/2014 perubahan UU No. 7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K), yang melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Tidak hanya melanggar UU WP3K, praktek pertambangan di pulau kecil juga diikuti dengan pelanggaran hukum dan maladministrsi lainnya. Seperti yang dilakukan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana di Pulau Wawonii, terdapat dugaan kuat praktik maladministrasi dalam proses penerbitan dua IPPKH milik PT GKP dengan No. SK. 576/Menhut/II/2014 seluas 707,10 Ha dan No. SK. 1/1/IPPKH/PMDN/2016 seluas 378,14 ha. Penerbitan kedua IPPKH ini didasari oleh dokumen AMDAL PT GKP pada 2008. Namun praktiknya, PT GKP baru melakukan kegiatan konstruksi pada 2019, sehingga berdasarkan pasal 50 ayat (2) huruf e PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, IPPKH milik PT GKP dianggap kadaluarsa karena tidak ada kegiatan dalam jangka waktu maksimal tiga tahun sejak diterbitkan.

Pelanggaran hukum oleh perusahaan tambang juga terjadi di Pulau Sangihe, pulau kecil dengan luas hanya 73.700 Ha, yang kini tengah ditambang oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS), perusahaan tambang emas asal Kanada. Dimana izin lingkungan milik PT TMS No. 503/DPMPTSPD/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020, sudah dibatalkan oleh PTUN Manado pada 2 Juni 2022, namun perusahaan tetap bersikukuh untuk melanjutkan aktivitas pertambangan dan terus melakukan intimidasi terhadap warga. Alih-alih mematuhi putusan pengadilan. PT TMS justru melakukan pembangkangan. Pada Rabu, 13 Juni 2022, perusahaan tetap memobilisasi alat berat ke lokasi perusahaan di Kampung Bowone melalui Pelabuhan Panaru. Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat TNI-Polri. Perusahaan jelas tidak memiliki izin lingkungan yang sah, segala aktivitas yang dilakukan mereka harus dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Tidak hanya melanggar hukum, aktivitas pertambangan di wilayah pulau kecil juga sarat dengan kriminalisasi terhadap warga yang berjuang menyelamatkan ruang hidupnya dengan menolak aktivitas tambang di pulaunya. Bermacam pasal dari berbagai undang-undang kerap digunakan untuk meredam protes warga menolak tambang. Sebagaimana yang terjadi di Pulau Wawonii yang hanya seluas 86.700 Ha, hingga kini setidaknya sudah 30 orang dikriminalisasi oleh PT GKP dengan berbagai macam pasal, diantaranya pasal 333 KUHP terkait perampasan kemerdekaan; pasal 335 KUHP terkait ancaman dengan menggunakan kekerasan; pasal 351 KUHP terkait penganiayaan; pasal 162 UU Minerba 3/2020 Jo. UU Cipta Kerja 11/2020 terkait menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang.

Hal serupa juga terjadi di Pulau Sangihe, dimana satu orang warga kini ditahan polisi karena aktivitasnya menghadang alat berat milik PT TMS yang juga dikawal ketat oleh aparat TNI-Polri. Aksi warga pada 13-15 Juni 2022 tersebut direpresi oleh aparat dengan menggunakan berbagai pasal, mulai pasal 63 UU 38/2004 tentang Jalan; pasal 192 KUHP terkait keselamatan jalan dan pekerjaan; pasal 162 UU Minerba 3/2020 Jo. UU Cipta Kerja 11/2020 terkait menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang; hingga pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 terkait penggunaan senjata tajam, yang mana pada akhirnya pasal ini lah yang menjerat Robison Saul terkait pisau yang dibawanya saat pulang melaut dan spontan terlibat dalam aksi penghadangan alat berat PT TMS. Padahal pisau tersebut hanyalah alat yang biasa dia gunakan saat melaut.

Perampasan lahan warga juga menjadi hal yang lumrah dalam aktivitas pertambangan. Di Wawonii, bahkan praktik perampasan lahan ini dibarengi dengan aksi kekerasan oleh perusahaan dan aparat TNI-Polri yang menjaga aktivitas penyerobotan lahan tersebut. Sebelumnya, pada Kamis (3/3/22), PT GKP melakukan penerobosan dan penggusuran dengan melibatkan aparat kepolisian dan TNI di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang tidak bersedia lahannya menjadi areal pertambangan untuk perusahaan. Tercatat, penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT GKP ini merupakan yang kelima kalinya: pertama, Selasa, 9 Juli 2019, di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa, 16 Juli 2019, di lahan milik Pak Idris. ketiga, Kamis, 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa, 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

Aksi penyerobotan lahan oleh PT GKP dengan kawalan ketat aparat ini disertai dengan aksi kekerasan terhadap warga yang melakukan penghadangan, warga dipukul, dipiting hingga dinjak saat mempertahankan lahannya. Aktivitas PT GKP ini juga menghilangkan akses warga terhadap air bersih yang menyebabkan selama empat hari warga Desa Roko-roko Raya terputus pasokan air bersihnya, serta merusak tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, kelapa dan pala.

“Tindakan ini jelas melanggar hukum dan HAM. Olehnya itu, penegakan hukum harus segera dilakukan agar perusahaan berhenti melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Lebih dari itu semua, izin pertambangan PT GKP harus segera dicabut, agar Wawonii bisa kembali tenang dan pulau ini selamat dari ancaman kerusakan,” pungkas Ady Anugrah Pratama dari LBH Makassar.

Perusakan lingkungan yang massif menjadi hal yang tak terpisahkan dari aktivitas tambang di pulau kecil, seperti yang terjadi di Pulau Gee dan Pulau Pakal di Halmahera Timur, Maluku Utara, di mana BUMN PT Aneka Tambang (ANTAM) telah membongkar perut dua pulau kecil ini intuk ditambang nikelnya. Pulau Gee yang hanya seluas 171 Ha, yang dulunya hijau, kini telah gundul dan gersang akibat pengerukan nikel. Gerusan eskavator telah membuat permukaan pulau mungil ini bopeng-bopeng. Pulau yang dulu rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan tempat singgah nelayan saat melaut, kini tandus.

“ANTAM pergi begitu saja tanpa melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan di Gee dan Pakal. Mereka malah membebankan kewajiban reklamasi pada warga yang disuruh menanam bibit pohon yang sudah dibelikan perusahaan, tanpa ada upaya pemulihan secara nyata. Sekali hujan langsung longsor semua bibit pohon yang ditanam warga,” ungkap Said Marsaoly, salah seorang warga Halmahera Timur yang aktif menolak aktivitas pertambangan.

Parahnya, setelah Pulau Gee hancur dan tak ditambang lagi, kini ANTAM telah berpindah operasinya ke Pulau Pakal, di selatan Pulau Gee, yang kini nyaris bernasib sama. Kini ANTAM juga melakukan ekspansi ke wilayah daratan di Halmahera Timur. “Yang menerima dampaknya ini kami yang ada di kampung, bukan Presiden yang ada di Jakarta sana. Jika masih punya nurani, jangan dilanjutkan lagi investasi tambang ini,” tegas Said Marsaoly.

Pulau Sangihe juga mengalami ancaman bencana ekologi yang serupa, dimana PT TMS telah mengkavling tujuh kecamatan dan 80 desa, yang semuanya bukanlah ruang kosong, melainkan ruang hidup seluruh warga Pulau Sangihe. Kawasan hutan bakau dan kawasan hutan lindung Sahendaruman, hulu dari 70 sungai yang esensial bagi warga, serta sebagai habitat alami hewan-hewan endemik berstatus dilindungi terancam. Ancaman itu diperparah dengan status Pulau Sangihe yang berada di kawasan bencana, berupa banjir, longsor, tsunami dan gempa bumi dari lempeng Sangihe. Selain itu terdapat gunung berapi aktif, yakni Gunung Awu yang berada di tengah pulau, serta dua gunung api bawah laut yang mengapit Pulau Sangihe, yakni Gunung Kawio di sisi utara dan Gunung Banua Wuhu atau juga dikenal dengan Gunung Mahangetang di sisi barat. Aktivitas tambang di Pulau Sangihe jelas akan merusak upaya mitigasi warga pulau dalam menghadapi bencana alam yang sudah turun temurun dilakukan, serta meningkatkan resiko bencana.

Dalam jangka panjang, pulau-pulau kecil itu bisa lenyap akibat aktivitas pertambangan yang diperparah dengan bencana krisis iklim. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2011 menyebutkan sebanyak 28 pulau kecil di Indonesia telah tenggelam dan 24 pulau kecil lainnya terancam melesap. Kajian perusahaan riset asal Inggris, Verisk Maplecroft, soal dampak krisis iklim memperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam pada 2050 seiring dengan naiknya permukaan laut. Muhammad Jamil dari JATAM menegaskan bahwa derita dan ancaman yang mengintai warga jauh lebih besar dari narasi-narasi indah yang selama ini diusung oleh pemerintah dan perusahaan tambang.

“Kalau memang pengurus negara saat ini tidak ingin dicap sebagai pelaku perusakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, kami tantang untuk segera cabut seluruh izin tambang di kawasan pesisir dan pulau kecil,” pungkasnya.

Sederatan fakta di lapangan ini seharusnya lebih dari cukup bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan audit secara menyeluruh terhadap seluruh izin pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil demi mendorong pemulihan lingkungan serta pencabutan izin dan penghentian seluruh aktivitas tambang tersebut.

 

Narahubung:

Said Marsaoly, Warga Halmahera Timur (082199384468)

Ady Anugrah Pratama, YLBHI-LBH Makassar (085342977545)

Muh. Jamil, JATAM Nasional (082156470477)

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang