Menuntut Aksi Nyata Pemerintah untuk Menyelesaikan Konflik Tenurial


Siaran Pers

Menuntut Aksi Nyata Pemerintah untuk Menyelesaikan Konflik Tenurial


Oleh JATAM

01 November 2017





[Jakarta, 26 Oktober 2017] – FWI dan JATAM mendesak pemerintah segera menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan di Muara Tae, Muara Jawa dan Muara Lambakan, Provinsi Kalimantan Timur. Upaya penyelesain sengketa yang berkepanjangan tanpa diikuti aksi nyata dan cepat dari pemerintah, akan meredupkan harapan dan kepercayaan rakyat terhadap komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan agenda Reforma Agraria.

Sudah 6 (enam) tahun berlalu sejak pertama kali diselenggarakan di Lombok, sampai pada Konferensi Tenurial kedua yang berlangsung saat ini. Persoalan sengketa lahan di Muara Tae, Muara Jawa dan Muara Lambakan tak kunjung mendapatkan titik temu penyelesaian. Sengketa lahan di tiga lokasi ini sudah berlangsung lebih kurang 4 (empat) dekade, waktu yang lama dimana masyarakat harus menderita akibat ruang hidupnya tergusur oleh konsesi IUPHHK-HA (HPH), IUPHHK-HT (HTI), Sawit dan tambang.

Masyarakat adat Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, yang pada awalnya memiliki luas wilayah adat sekitar 10,8 ribu hektare sebagai ruang hidup mereka, namun saat ini 94% wilayahnya telah dikuasai oleh 4 (empat) perusahan tambang dan sawit. Hanya tersisa 6% (703 hektare) saja luas wilayah adat Muara Tae yang bebas dari ijin.

Kasus yang sama juga terjadi di Muara Lambakan, sebuah desa di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, yang wilayahnya banyak dibebani izin. Setidaknya 5 (lima) perusahaan HTI dan HPH yang berbagi lahan di dalam wilayah Muara Lambakan. Kondisi saat ini, tersisa 15 ribu hektare atau 32% lahan desa yang tidak dibebani izin. Dengan semakin sempitnya ruang hidup warga desa muara lambakan, bukan berarti ke depan akan terbebas oleh izin-izin baru. Faktanya ada sekitar 10 ribu hektare wilayah desa, telah dicadangkan oleh pemerintah sebagai areal untuk izin-izin HPH baru.

Desa Muara Jawa di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, juga harus mengalami penggusuran dari lahan yang mereka miliki seluas 1.300 hektare, karena wilayah mereka tumpang tindih dengan perizinan perusahaan sawit dan tambang. Masih ada 28 ribu hektare lagi wilayah masyarakat yang tumpang tindih dengan perusahaan dan terancam mengalami penggusuran.

“Masyarakat Muara Tae telah mengajukan permohonan atas hak komunal wilayah adat Muara Tae. Pemerintah harus segera menindaklanjuti permohonan tersebut dengan membentuk langsung tim IP4T dan memastikan bekerja cepat, ujar Linda Rosalina, pengkampanye FWI. “Pemerintah juga perlu segera mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mengakui dan menetapkan hutan dan wilayah adat Muara Lambakan. Sedangkan untuk Muara Jawa, bagaimana mengembalikan ruang hidup masyarakat yang tergusur oleh tambang dan sawit,” tegas Linda.

Kasus tumpang tindih penguasaan lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat di Muara Tae, Muara Lambakan dan Muara Jawa, tidak hanya menyebabkan kerusakan sumber daya hutan, namun juga telah merampas hak mereka atas ruang hidup yang layak. Kondisi ini kontras sekali dengan agenda Reforma Agraria yang didengungkan Kepemerintahan Jokowi-JK yang tertuang di dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Sebagaimana semangat dari UU Pokok Agraria untuk mengurangi ketimpangan struktur agraria, memberikan akses terhadap masyarakat atas lahan untuk membangun ekonomi yang berdaya pulih, dan menjamin keberlangsungan layanan alam.

Ahmad Saini, Divisi Simpul belajar dan Jaringan JATAM, mengatakan,” Paket kebijakan yang diterbitkan Pemerintahan Jokowi-JK tentang percepatan pelaksanaan proyek Strategis Nasional dan infrastrukturnya, hanya menyediakan karpet merah bagi investasi. Percepatan dan perluasan infrastruktur berbasis lahan, sebenarnya untuk melayani investasi. Program 35 ribu watt, rencana proyek kereta api pengangkut batubara di Kalimantan Timur akan semakin mempercepat perampasan ruang hidup masyarakat. Contohnya bagaimana masyarakat Muara Tae, Muara Lambakan, dan Muara Jawa harus berhadapan dengan praktik kotor dari investasi tambang batubara, perkebunan kelapa sawit dan HTI”. “Reforma agraria adalah sebuah kemustahilan tanpa bicara soal penyelesaian konflik tenurial,” tegas Ahmad.

“Harus ada keberanian pemerintah untuk menghentikan dulu seluruh proses perijinan baru, kemudian mengevaluasi seluruh ijin yang telah diberikan. Yang tidak kalah penting adalah segera menyelesaikan persoalan konflik lahan yang belum terselesaikan agar kepercayaan rakyat atas kepemerintahan yang adil tidak semakin tergerus”, tutup Linda di dalam Konferensi Pers.

 

Catatan editor:

Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merupakan jaringan organisasi non-pemerintah dan organisasi komunitas yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah HAM, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu-isu keadilan sosial dalam industri pertambangan dan migas.

Ada 4 (empat) perusahaan yang konsesinya tumpang tindih dengan wilayah adat Muara Tae, yaitu PT. Gunung Bayan Pramata Coal, PT. Borneo Surya Mining Jaya, PT. London Sumatera, dan terakhir PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.

Setidaknya ada 5 (lima) perusahaan yang tumpang tindih dengan wilayah adat Muara Lambakan antara lain: Fajar Surya Swadaya, PT. Greaty Sukses Abadi, PT. Balikpapan Forest Ind. PT. Indowana Arga Timber, dan PT. Telagamas Kalimatan.

Wilayah Desa Muara Jawa tumpang tindih dengan 2 (dua) konsesi perusahaan, yaitu Perkebunan Kaltim Utama I dan PT. Kutai Energi.

Kontak:

Linda Rosalina, Pengkampanye FWI
Email: linda@fwi.or.id; Telepon: +62 857 1088 6024

Ahmad Saini, Divisi Simpul Belajar dan Jaringan JATAM
Email: senyjatam5@gmail.com; Telepon: +62 853 8733 3124







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Menuntut Aksi Nyata Pemerintah untuk Menyelesaikan Konflik Tenurial


Share


Oleh JATAM

01 November 2017



[Jakarta, 26 Oktober 2017] – FWI dan JATAM mendesak pemerintah segera menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan di Muara Tae, Muara Jawa dan Muara Lambakan, Provinsi Kalimantan Timur. Upaya penyelesain sengketa yang berkepanjangan tanpa diikuti aksi nyata dan cepat dari pemerintah, akan meredupkan harapan dan kepercayaan rakyat terhadap komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan agenda Reforma Agraria.

Sudah 6 (enam) tahun berlalu sejak pertama kali diselenggarakan di Lombok, sampai pada Konferensi Tenurial kedua yang berlangsung saat ini. Persoalan sengketa lahan di Muara Tae, Muara Jawa dan Muara Lambakan tak kunjung mendapatkan titik temu penyelesaian. Sengketa lahan di tiga lokasi ini sudah berlangsung lebih kurang 4 (empat) dekade, waktu yang lama dimana masyarakat harus menderita akibat ruang hidupnya tergusur oleh konsesi IUPHHK-HA (HPH), IUPHHK-HT (HTI), Sawit dan tambang.

Masyarakat adat Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, yang pada awalnya memiliki luas wilayah adat sekitar 10,8 ribu hektare sebagai ruang hidup mereka, namun saat ini 94% wilayahnya telah dikuasai oleh 4 (empat) perusahan tambang dan sawit. Hanya tersisa 6% (703 hektare) saja luas wilayah adat Muara Tae yang bebas dari ijin.

Kasus yang sama juga terjadi di Muara Lambakan, sebuah desa di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, yang wilayahnya banyak dibebani izin. Setidaknya 5 (lima) perusahaan HTI dan HPH yang berbagi lahan di dalam wilayah Muara Lambakan. Kondisi saat ini, tersisa 15 ribu hektare atau 32% lahan desa yang tidak dibebani izin. Dengan semakin sempitnya ruang hidup warga desa muara lambakan, bukan berarti ke depan akan terbebas oleh izin-izin baru. Faktanya ada sekitar 10 ribu hektare wilayah desa, telah dicadangkan oleh pemerintah sebagai areal untuk izin-izin HPH baru.

Desa Muara Jawa di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, juga harus mengalami penggusuran dari lahan yang mereka miliki seluas 1.300 hektare, karena wilayah mereka tumpang tindih dengan perizinan perusahaan sawit dan tambang. Masih ada 28 ribu hektare lagi wilayah masyarakat yang tumpang tindih dengan perusahaan dan terancam mengalami penggusuran.

“Masyarakat Muara Tae telah mengajukan permohonan atas hak komunal wilayah adat Muara Tae. Pemerintah harus segera menindaklanjuti permohonan tersebut dengan membentuk langsung tim IP4T dan memastikan bekerja cepat, ujar Linda Rosalina, pengkampanye FWI. “Pemerintah juga perlu segera mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mengakui dan menetapkan hutan dan wilayah adat Muara Lambakan. Sedangkan untuk Muara Jawa, bagaimana mengembalikan ruang hidup masyarakat yang tergusur oleh tambang dan sawit,” tegas Linda.

Kasus tumpang tindih penguasaan lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat di Muara Tae, Muara Lambakan dan Muara Jawa, tidak hanya menyebabkan kerusakan sumber daya hutan, namun juga telah merampas hak mereka atas ruang hidup yang layak. Kondisi ini kontras sekali dengan agenda Reforma Agraria yang didengungkan Kepemerintahan Jokowi-JK yang tertuang di dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Sebagaimana semangat dari UU Pokok Agraria untuk mengurangi ketimpangan struktur agraria, memberikan akses terhadap masyarakat atas lahan untuk membangun ekonomi yang berdaya pulih, dan menjamin keberlangsungan layanan alam.

Ahmad Saini, Divisi Simpul belajar dan Jaringan JATAM, mengatakan,” Paket kebijakan yang diterbitkan Pemerintahan Jokowi-JK tentang percepatan pelaksanaan proyek Strategis Nasional dan infrastrukturnya, hanya menyediakan karpet merah bagi investasi. Percepatan dan perluasan infrastruktur berbasis lahan, sebenarnya untuk melayani investasi. Program 35 ribu watt, rencana proyek kereta api pengangkut batubara di Kalimantan Timur akan semakin mempercepat perampasan ruang hidup masyarakat. Contohnya bagaimana masyarakat Muara Tae, Muara Lambakan, dan Muara Jawa harus berhadapan dengan praktik kotor dari investasi tambang batubara, perkebunan kelapa sawit dan HTI”. “Reforma agraria adalah sebuah kemustahilan tanpa bicara soal penyelesaian konflik tenurial,” tegas Ahmad.

“Harus ada keberanian pemerintah untuk menghentikan dulu seluruh proses perijinan baru, kemudian mengevaluasi seluruh ijin yang telah diberikan. Yang tidak kalah penting adalah segera menyelesaikan persoalan konflik lahan yang belum terselesaikan agar kepercayaan rakyat atas kepemerintahan yang adil tidak semakin tergerus”, tutup Linda di dalam Konferensi Pers.

 

Catatan editor:

Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merupakan jaringan organisasi non-pemerintah dan organisasi komunitas yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah HAM, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu-isu keadilan sosial dalam industri pertambangan dan migas.

Ada 4 (empat) perusahaan yang konsesinya tumpang tindih dengan wilayah adat Muara Tae, yaitu PT. Gunung Bayan Pramata Coal, PT. Borneo Surya Mining Jaya, PT. London Sumatera, dan terakhir PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.

Setidaknya ada 5 (lima) perusahaan yang tumpang tindih dengan wilayah adat Muara Lambakan antara lain: Fajar Surya Swadaya, PT. Greaty Sukses Abadi, PT. Balikpapan Forest Ind. PT. Indowana Arga Timber, dan PT. Telagamas Kalimatan.

Wilayah Desa Muara Jawa tumpang tindih dengan 2 (dua) konsesi perusahaan, yaitu Perkebunan Kaltim Utama I dan PT. Kutai Energi.

Kontak:

Linda Rosalina, Pengkampanye FWI
Email: linda@fwi.or.id; Telepon: +62 857 1088 6024

Ahmad Saini, Divisi Simpul Belajar dan Jaringan JATAM
Email: senyjatam5@gmail.com; Telepon: +62 853 8733 3124



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang