Melawan Tambang Emas & Mengaji Fiqh Agraria di Pesantren Ekologi
Kampanye
Melawan Tambang Emas & Mengaji Fiqh Agraria di Pesantren Ekologi
Oleh JATAM
24 Juni 2015
Tentang Keberadaan Pondok dan Posisinya Melawan Tambang Emas
Berada di ketinggian sekitar 1500-2000 mdpl dengan diselimuti hawa sejuk dan panorama bentangan pegunungan nan elok Pondok Pesantren Biharul Ulum tegak berdiri. Terletak di Desa Cisarua Kec. Nanggung Kabupaten Bogor, jika dilihat dari peta tampak lokasi pondok masuk kedalam kawasan Taman Nasional Halimun-Salak.Kawasan tersebut merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang terdiri dari sungai Cikaniki, Sungai Cianten, Sungai Cinangneng, Sungai Ciaruteun dan beberapa aliran sungai lainnya yang mengalir sejauh 1.047 Km dari kawasan hulu hingga ke hilir di Tanjung Burung, Teluk Naga Tangerang.
Berdasarkan topografinya, kawasan ini didominasi hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan kosong. Namun sayang sebagian besar lahan dijadikan area penambangan emas. Lokasi penambangan tersebar di sekitar kawasan pondok yang meliputi Desa Malasari, Cisarua dan Bantar Karet. Seluruh lokasi penambangan (hotspots) dikelola oleh PT. ANTAM, Tbk yang merupakan bagian dari unit bisnis pertambangan emas Pongkor. Tak hanya perusahaan saja, aktivitas penambangan emas juga dilakukan oleh warga secara ilegal. Hasil pemantauan citra satelit menunjukkan kontur bentangan alam yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi untuk aktifitas pertambangan emas.
Akses menuju ke kawasan tersebut dapat ditempuh dari kota Jakarta ke kota Bogor atau bisa ditempuh melalui daerah Parung menuju ke daerah kampus IPB Dramaga dan dilanjutkan menuju ke arah Leuwiliang. Kemudian terus menyusuri jalan raya Bogor- Rangkasbitung sampai kita masuk ke sebuah akses jalan yang berdiri tugu Antam sebagai patokan masuknya. Dari tugu tersebut butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke lokasi. Ini karena topografi menuju lokasi cukup berat bagi yang belum terbiasa.
Berdiri sekitar setahun lalu, Pondok Pesantren Biharul Ulum dibangun sebagai usaha untuk memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat tentang reformasi agraria dan ekologi. Dengan menggandeng masyarakat desa disana, pesantren Biharul Ulum bercita-cita agar desa bisa berdaulat dan berdaya. Secara karakteristik, Pondok Pesantren Biharul Ulum masuk kategori pesantren salaf—kalau boleh dikatakan demikian. Saat ini, jumlah santrinya sudah mencapai 40 orang yang terdiri dari tingkat SD, SMP, SMA dan bahkan ada lulusan SMA. Visi misinya adalah menciptakan generasi dini untuk peduli lingkungan dan anti terhadap pertambangan. Program pendidikan yang diterapkan berdasarkan pada pertanian yang ramah lingkungan dan menciptakan generasi muda yang mencintai tanah, air, udara, dan lingkungan sekitarnya. Pesantren ini didirikan sebagai respons dari begitu runyamnya persoalan agraria dan ekologi yang terjadi di kawasan pertambangan emas.
Dalam kurikulumnya selain ilmu agama para santri juga diajarkan dasar-dasar pertanian, pengolahan lahan, pertanian organik, pembibitan, pembudidayaan, memanen, identifikasi potensi desa non-tambang, observasi kampung, dan kearifan adat dalam bertani. Di pesantren ini para santri dan juga warga sekitar diberi pemahaman tentang agraria terutama berkaitan dengan politik agraria, ekologi kerakyatan, dasar-dasar pertanian dan pembentukan sistem produksi dan konsumsi tanding. Di Pesantren ini bahkan ilmu politik agraria sudah diajarkan sejak dini ditingkat SD.
Sesuai dengan penamaannya sebagai pesantren berbasis agraria dan ekologi. Pondok Pesantren Biharul Ulum mencoba mengkaji fiqh agraria dan fiqh ekologi sebagai bahan studi para santri. Model pembelajaran yang diajarkan mengikuti pola pesantren serupa di Garut (baca: Pesantren Ekologi At-Thaariq), bahkan disana telah berhasil mendirikan SMK Agraria. Diharapkan para santri dapat mengaplikasikan ilmunya kelak ia keluar dari pondok dan dapat menyebarluaskan pandangannya soal fiqh agraria dan fiqh ekologi ke masyarakat. Lebih dari itu, diharapkan bekal ilmu tersebut mengantarkan santri mempunyai kemampuan advokasi lingkungan berwawasan Islam. Outputnya adalah agar para santri mampu mengenal lingkungannya dengan baik, mendorong kemandirian dan bertanggungjawab kepada dirinya sendiri dan lingkungannya.
Pada prinsipnya, menurut Kang Eddy, beliau adalah pengurus pondok, menyatakan bahwa fiqh agraria mengajarkan tentang bagaimana mengelola lahan, mengatur tata batas lahan, pola produksi dan pola konsumsi untuk kedaulatan pangan sesuai dengan syariat Islam. Kang Eddy dengan lugas menyatakan bahwa pesantren yang ia kelola berparadigma Agro-Ekologis. Artinya, berbicara tentang ekologi tak terlepas dari persoalan lingkungan yang terjadi di kawasan penambangan emas.
Disamping itu, hal yang menggembirakan adalah undangan dari pihak pondok bagi siapa saja yang ingin homestay atau live in secara singkat disana, minimal seminggu. Undangan live in ini diharapkan dapat menjadi ajang silaturahim, berbagi ilmu dan keterampilan dalam bertani. Ditambahkan, pihak pondok juga mengajak para peserta live in untuk melakukan pendekatan ke warga (keliling kampung) melalui kegiatan identifikasi dan observasi kampung karena salah satu misi pondok adalah transfer kesadaran dengan melibatkan partisipasi warga untuk kembali bertani (back to farming).
Seputar Aktivitas Penambangan Emas dan Dampaknya
Pada galibnya, pertambangan emas melahirkan mentalitas tambang yang membuat seseorang menjadi rakus dan serakah tanpa memperdulikan lagi orang sekitarnya. Mentalitas ini adalah konsekuensi dari betapa keras dan kejamnya dunia penambang yang berhadapan dengan maut tatkala mereka berburu emas di bongkahan-bongkahan bebatuan dan lubang-lubang yang sangat dalam mereka gali. Begitulah gambaran dari dampak sosial-kultural yang saya dapatkan melalui perbincangan dengan pengasuh Pondok Pesantren Biharul Ulum.
Aktivitas penambangan emas di Kecamatan Nanggung tidak hanya dilakukan oleh PT. ANTAM,Tbk semata melainkan juga turut dilakukan oleh masyarakat setempat secara ilegal. Masyarakat disana menyebutnya Gurandil, sebutan untuk penambang emas liar. Tentunya, aktivitas ini sangat berdampak serius bagi ekosistem dan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Hal ini terlihat dengan begitu banyaknya hotspot-hotspot tambang emas ilegal yang tersebar dan juga terjadinya sebuah pergesaran nilai-nilai di masyarakat seperti hubungan sosial antar warga cenderung individualis dan kurang rukun.
Bersandar pada fakta dapat kita jumpai beberapa kasus seperti perilaku masyarakat dan PT. ANTAM, Tbk yang membuang limbah hasil mendulang emas langsung ke Sungai Cikaniki, ada pula yang membuang limbah di sekitar ladang garapan. Hal yang sama juga kita dapat saksikan di mana hubungan sosial-kemasyarakatan kondisinya sangat memprihatinkan—rasanya menjadi pengecualian untuk ukuran masyarakat desa yang biasanya guyub. Mereka disana dipicu bagaimana memperebutkan lahan untuk menambang.
Fakta yang menyesakkan lainnya adalah tingginya angka putus sekolah. Hal ini disebabkan karena orangtua mereka tidak mengizinkan bersekolah karena lebih baik membantu orangtua mereka sebagai penambang. Umumnya anak-anak hanya tamatan SMP dan ironisnya gaya hidup mereka begitu konsumtif, semisal dengan memamerkan motor terbaru dan berbagai gaya hidup mewah lainnya. Singkatnya, anak muda disana mencoba mencontoh dan mengimitasi gaya hidup perkotaan seperti yang mereka tonton di televisi. Dampak ekonomi tambang memiliki konsekuensi terhadap tingginya biaya hidup. Hal ini disebabkan pendapatan dari penambang cukup tinggi. Ini dapat ditemui di daerah Pongkor, disana harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi. Harga sembako bisa 2 kali lipat dari harga normal.
Menurut penuturan Mas Hari Yanto Kikuk, seorang pegiat konservasi sungai, ia mengatakan bahwa biaya hidup di area penambangan begitu tinggi karena masyarakat sudah terbiasa dengan ‘uang panas’ yang begitu cepat didapat dan ini bertolak belakang dengan bertani yang butuh waktu lama untuk memanen ditambah hasilnya tidak mencukupi untuk menunjang kebutuhan hidup apalagi kebutuhan mereka semakin bergeser ke kebutuhan sekunder dan tersier. Kebiasaan mendapatkan uang kontan secara cash and carry membuat satu sama lain saling curiga dan menimbulkan bara konflik antar warga saat mereka tidak memperoleh emas sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikaniki sudah tercemar kandungan logam berat beracun.
Berdasarkan hasil pantauan Komunitas Wilayah Ciliwung-Cisadane (KWCC), hasil limbah dari pengolahan emas turut mencemari sungai Cisadane karena bagaimanapun Sungai Cinaniki adalah bagian dari jaringan DAS Cisadane. Terdapat kandungan logam berat beracun terdiri dari merkuri (Hg), sianida (CN), cadmium (Cd), dan arsenik (As). Sudah barang tentu kandungan logam berat tersebut mematikan, misalnya limbah merkuri dapat mengakibatkan gangguan syaraf, di Indonesia sendiri pernah gempar kasus penyakit Minamata yang disebabkan oleh limbah merkuri di Teluk Buyat, Minahasa-Sulawesi Utara. Kandungan logam berat lainnya juga demikian, kandungan sianida yang menumpuk di sedimen sungai sangat beracun, ia dapat membunuh biota di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan dapat mengkontaminasi ikan-ikan. Racun sianida yang masuk ke dalam tubuh ikan mengalami proses bioakumulasi dan biokonsentrasi yang sangat kompleks. Pada akhirnya, ikan yang sudah terkontaminasi tersebut dikonsumsi oleh manusia.
Sebagaimana penuturan Kang Eddy, ia menambahkan bahwa dampak dari merkuri dan logam berat lainnya adalah dampak jangka panjang seperti kelainan genetika, hormon, terganggunya fungsi reproduksi dan kelahiran prematur. Kang Eddy juga mengatakan bahwa dalam pembuangan limbah masyarakat seringkali disalahkan padahal berdasarkan hasil penelusuran sepanjang aliran sungai oleh tim Komunitas Wilayah Ciliwung-Cisadane (KWCC) dan Ponpes dengan menggunakan aplikasi pemetaan GPS, ditemukan fakta bahwa sepanjang aliran sungai terdapat beberapa titik aktivitas pembuangan limbah beracun ke aliran sungai dan aktivitas tambang emas ilegal. Berdasarkan temuan tersebut tim kemudian mendata titik koordinatnya.
Lahirnya Prakarsa-prakarsa Warga sebagai bentuk Perlawanan
Masyarakat disana tidak sepenuhnya setuju dengan penambangan emas bahkan dari mereka yang dahulunya melakukan kegiatan penambangan kini merasakan dampak negatifnya. Hal itulah yang menjadi penyesalan bagi warga yang pernah menambang. Namun mereka tidak berpangku tangan saja melihat kondisi yang hari ke hari semakin kritis. Terbukti beragam prakarsa warga tumbuh sebagai respons atas krisis sosial-ekologis di area pertambangan Pongkor. Diantara ragam inisiatif warga tersebut adalah gerakan pengorganisiran dan pengorganisasian petani yang tergabung dalam wadah Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif (AMANAT) yang berusaha untuk menemukan dan memulihkan kembali generasi tani yang telah hilang akibat tambang.
Prakarsa berikutnya ialah mendirikan koperasi. Mereka tergabung dalam koperasi Recikal Tani Lestari. Kelompok koperasi ini bertujuan agar supaya masyarakat pelaku penambangan meninggalkan pekerjaan menambang emas dan beralih ke pekerjaan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti bertani. Saat ini sudah ada sekitar 50 Ha lahan koperasi Recikal Tani Lestari, anggotanya hampir satu desa. Sayangnya beberapa anggota dari Recikal Tani sendiri masih menjadi pelaku penambangan meskipun begitu terus dilakukan upaya penyadaran. Dari diskusi dengan pengurusnya, mereka tidak bisa memaksakan kehendak dari anggotanya untuk dengan keras meninggalkan pekerjaan menambang. Mereka mencoba merubah pola pikir anggotanya mengenai tambang secara pelan-pelan. Sebagian diantara anggotanya sudah tidak lagi menambang.
Kemudian ada gerakan Durianisasi. Ini merupakan produk dari kelompok Koperasi Serba Usaha Jaya Tani Lestari (KSU), dengan menanam bibit durian untuk beberapa Hektar lahan yang ada di Kecamatan Nanggung. Dan juga ada paket ekowisata kampung, program pengembangan pariwisata ini sebagai tawaran ekonomi alternatif (alternative livelihoods) selain tambang kepada masyarakat Nanggung, saat ini sudah ada beberapa komunitas yang merasakan paket yang ditawarkan oleh masyarakat Nanggung salah satunya adalah komunitas offroad.
Inisiatif-inisiatif yang digerakkan oleh masyarakat menjadi pelengkap bagi keberadaan Pondok Pesantren Biharul Ulum dalam upayanya menolak tambang dan memulihkan kondisi sosio-ekologis kawasan Kec. Nanggung yang terpapar akibat ekses pertambangan emas.
Penutup
Kerusakan ekosistem sudah kian kronis dan ditambah kerusakan struktur sosial. Berbicara tentang krisis ekologi tak terlepas dari berbicara seputar agraria karena bagaimanapun agraria menyangkut persoalan lahan—persoalan tempat di mana manusia melangsungkan kehidupannya. Jika alam rusak dan lahanpun kritis maka sulit untuk melanjutkan kehidupan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, tujuan didirikannya pesantren adalah untuk mengajak warga kembali bertani dan meninggalkan tambang. Untuk dapat membuktikan itu, pondok pesantren Biharul Ulum telah memiliki beberapa petak sawah, ladang dan kebun yang ditanami pepaya, pisang, singkong dan juga budidaya belut.
Seperti yang sudah di singgung diatas, tujuan pendidikan di pesantren ekologi Biharul Ulum ini mencoba memberikan sebuah penyadaran (transfer kesadaran dan pengetahuan) yang tidak hanya bagi santri tetapi juga bagi warga sekitar di mana warga juga diajak terlibat dalam proses penyadaran akan bahaya tambang dan mencoba melakukan perubahan paradigma masyarakat tentang nilai ekonomi tambang yang memiliki daya rusak besar. Hal yang brilian dari pesantren ini adalah pengembangan produksi dan konsumsi tanding karena menurut Pak Muhalim Hatim, beliau adalah tokoh pesantren yang sepuh, mengatakan bahwa di pesantren ini diajarkan kemandirian dan diharapkan bekal ilmu pengetahuan dapat bermanfaat. Plus manfaat ekonomi karena hematnya ekonomi tambang adalah ekonomi instans sedangkan pertanian adalah ekonomi yang berkelanjutan.
Menariknya, pesantren yang baru setahun dibangun ini sudah mendapatkan tempat di masyarakat meskipun masih terus berjuang baik dari segi infrastruktur maupun kendala-kendala lainnya terutama dari sekelompok orang yang tidak senang dengan keberadaan pondok pesantren ini, bahkan kang Eddy mengatakan ia bersama pengurus pondok pernah dituduh Komunis padahal tuduhan itu sama sekali tidak berdasar dan begitu mudahnya orang yang tidak senang menuduh demikian. Namun tuduhan itu tak menghambat semangat pondok dalam melakukan transformasi sosial di area tambang emas melalui pendidikan karena melalui pendidikanlah dapat merubah paradigma orang dan melalui pendidikanlah dapat dengan mudah melakukan proses penyadaran tentang bahaya tambang dan memupuk kecintaan kepada lingkungan hidup, “imbuh Kang Eddy dengan mantap.” (RR)
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang