Masyarakat Nilai UU Minerba Semakin Menghancurkan Tanah Borneo


Elektoral

Masyarakat Nilai UU Minerba Semakin Menghancurkan Tanah Borneo


Oleh JATAM

30 Mei 2020





JAKARTA – Warga Kalimantan, secara absolut menuntut agar pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibatalkan demi keselamatan rakyat. Kegiatan penambangan yang dilakukan para korporasi raksasa di wilayah Borneo ini telah merusak tatanan sosial ekonomi, lingkungan, bahkan menyebabkan hilangnya nyawa warga sekitar.
 
Seperti diketahui, Kalimantan merupakan salah satu wilayah tambang terluas di Indonesia yang banyak digarap oleh perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia milik Aburizal Bakrie, PT Indominco Mandiri milik PT Indo Tambangraya Megah yang sahamnya dikuasai Banpu Minerals Singapore Private Limited, dan PT Adaro Indonesia milik PT Adaro Energy yang digawangi Garibaldi Thohir, kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
 
Namun, perusahaan-perusahaan yang mengklaim memiliki tata kelola perusahaan yang baik tersebut justru menjadi sumber kerusakan yang terjadi di Kalimantan.
 
Berdasarkan keterangan Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur, kerusakan akibat tindakan semenamena penambangan oleh Indominco Mandiri sangat kompleks. Limbah yang dibuang ke Sungai Santan telah menyebabkan polusi air yang sangat parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis. Kini, mereka harus merogoh Rp 200.000-Rp 400.000 untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
 
Tidak hanya itu, sungai ini pun sempat menjadi sumber penghasilan warga dengan hasil tangkapan udang dan ikan dimana mereka bisa mengantongi sedikitnya Rp 300.000-Rp 400.000 dari hasil tangkapannya itu.
 
Lubang-lubang bekas penambangan yang jaraknya sangat dekat pemukiman warga juga menjadi isu yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Seperti yang terjadi di Kecamatan SangaSanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. Warga harus rela rumahnya didera banjir lumpur jika terjadi hujan. Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga ini telah memakan korban jiwa.
 
Ibu Rahma Wati, adalah orang tua yang harus menanggung kesedihan akibat anaknya menjadi salah satu dari lebih dari 30 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang tersebut. Ia menyesalkan keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang meloloskan UU Minerba karena produk hukum ini memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada para perusahaan tambang untuk mengembangkan bisnisnya tanpa memperdulikan aspek sosial, ekonomi, bahkan keselamatan warga sekitar.
 
Pemberian izin yang tumpang tindih di Kalimantan Utara pun menjadi sumber bencana. Di Kabupaten Malinau, perusahaan daerah air minum (PDAM) telah menghentikan distribusi air karena sumber air di sejumlah sungai di kawasan ini tidak bisa disaring.
 
Masifnya penambangan di Kabupaten Bulungan, menyebabkan laju deforestasi dan pencemaran di laut tidak tertahankan. Sehingga, tidak hanya penduduk darat yang dirugikan, tetapi juga penduduk pesisir.
Oleh karena itu, Ria Anjani, dari Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Utara meminta Pemerintah untuk membatalkan UU Minerba, karena produk hukum ini tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, dan mengenyampingkan kebutuhan masyarakat. Ia pun menolak adanya penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi.

“Empat kabupaten di Kalimantan Utara ditelanjangi. Di kabupaten Malinau, PDAM menghentikan distribusi air
karena air tidak bisa disaring. Di Kabupaten Tana Tidung perusahaan tambang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Kabupaten Nunukan dikapling oleh enam perusahaan tambang, (akibatnya) laju deforestasi dan pencemaran di laut yang merugikan nelayan tidak bisa terhindarkan. Serta izin di Kabupaten Nunukan yang carut marut”
Ria Anjani, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Utara
 
“Saat ini kerusakan alam (di Kecamatan Sanga-Sanga) melebihi kerusakan perang dunia II. Lubang tambang ada di mana-mana, bahkan hanya berjarak puluhan meter dari rumah penduduk. Lahan pertanian, sekolah, tempat ibadah, fasilitas sosial rusak akibat banjir sebagai dampak rusaknya alam”
Zainuri, Warga Kecamatan Sanga-Sanga, Kalimantan Timur
 
“Judicial Review UU Minerba harus dilakukan, terlebih konflik yang terjadi di masyarakat untuk
melanggengkan investasi cukup banyak”
Janang Firman Palanungkai, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah
 
Narahubung:
Mareta Sari (JATAM Kaltim): +62 852-5072-9164
Ahmad Jaetuloh (Sajogyo Institute): +62 822-1775-6351
 






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Elektoral

Masyarakat Nilai UU Minerba Semakin Menghancurkan Tanah Borneo


Share


Oleh JATAM

30 Mei 2020



JAKARTA – Warga Kalimantan, secara absolut menuntut agar pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibatalkan demi keselamatan rakyat. Kegiatan penambangan yang dilakukan para korporasi raksasa di wilayah Borneo ini telah merusak tatanan sosial ekonomi, lingkungan, bahkan menyebabkan hilangnya nyawa warga sekitar.
 
Seperti diketahui, Kalimantan merupakan salah satu wilayah tambang terluas di Indonesia yang banyak digarap oleh perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia milik Aburizal Bakrie, PT Indominco Mandiri milik PT Indo Tambangraya Megah yang sahamnya dikuasai Banpu Minerals Singapore Private Limited, dan PT Adaro Indonesia milik PT Adaro Energy yang digawangi Garibaldi Thohir, kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
 
Namun, perusahaan-perusahaan yang mengklaim memiliki tata kelola perusahaan yang baik tersebut justru menjadi sumber kerusakan yang terjadi di Kalimantan.
 
Berdasarkan keterangan Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur, kerusakan akibat tindakan semenamena penambangan oleh Indominco Mandiri sangat kompleks. Limbah yang dibuang ke Sungai Santan telah menyebabkan polusi air yang sangat parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis. Kini, mereka harus merogoh Rp 200.000-Rp 400.000 untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
 
Tidak hanya itu, sungai ini pun sempat menjadi sumber penghasilan warga dengan hasil tangkapan udang dan ikan dimana mereka bisa mengantongi sedikitnya Rp 300.000-Rp 400.000 dari hasil tangkapannya itu.
 
Lubang-lubang bekas penambangan yang jaraknya sangat dekat pemukiman warga juga menjadi isu yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Seperti yang terjadi di Kecamatan SangaSanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. Warga harus rela rumahnya didera banjir lumpur jika terjadi hujan. Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga ini telah memakan korban jiwa.
 
Ibu Rahma Wati, adalah orang tua yang harus menanggung kesedihan akibat anaknya menjadi salah satu dari lebih dari 30 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang tersebut. Ia menyesalkan keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang meloloskan UU Minerba karena produk hukum ini memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada para perusahaan tambang untuk mengembangkan bisnisnya tanpa memperdulikan aspek sosial, ekonomi, bahkan keselamatan warga sekitar.
 
Pemberian izin yang tumpang tindih di Kalimantan Utara pun menjadi sumber bencana. Di Kabupaten Malinau, perusahaan daerah air minum (PDAM) telah menghentikan distribusi air karena sumber air di sejumlah sungai di kawasan ini tidak bisa disaring.
 
Masifnya penambangan di Kabupaten Bulungan, menyebabkan laju deforestasi dan pencemaran di laut tidak tertahankan. Sehingga, tidak hanya penduduk darat yang dirugikan, tetapi juga penduduk pesisir.
Oleh karena itu, Ria Anjani, dari Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Utara meminta Pemerintah untuk membatalkan UU Minerba, karena produk hukum ini tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, dan mengenyampingkan kebutuhan masyarakat. Ia pun menolak adanya penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi.

“Empat kabupaten di Kalimantan Utara ditelanjangi. Di kabupaten Malinau, PDAM menghentikan distribusi air
karena air tidak bisa disaring. Di Kabupaten Tana Tidung perusahaan tambang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Kabupaten Nunukan dikapling oleh enam perusahaan tambang, (akibatnya) laju deforestasi dan pencemaran di laut yang merugikan nelayan tidak bisa terhindarkan. Serta izin di Kabupaten Nunukan yang carut marut”
Ria Anjani, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Utara
 
“Saat ini kerusakan alam (di Kecamatan Sanga-Sanga) melebihi kerusakan perang dunia II. Lubang tambang ada di mana-mana, bahkan hanya berjarak puluhan meter dari rumah penduduk. Lahan pertanian, sekolah, tempat ibadah, fasilitas sosial rusak akibat banjir sebagai dampak rusaknya alam”
Zainuri, Warga Kecamatan Sanga-Sanga, Kalimantan Timur
 
“Judicial Review UU Minerba harus dilakukan, terlebih konflik yang terjadi di masyarakat untuk
melanggengkan investasi cukup banyak”
Janang Firman Palanungkai, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah
 
Narahubung:
Mareta Sari (JATAM Kaltim): +62 852-5072-9164
Ahmad Jaetuloh (Sajogyo Institute): +62 822-1775-6351
 


Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang