MAPALA MENGGUGAT


Kampanye

MAPALA MENGGUGAT


Oleh JATAM

28 Oktober 2014





K e r t a s P o s i s i
Pusat Koordinasi Nasional Mahasiswa Pecinta Alam (PKN Mapala) Indonesia. Puluhan tahun sebelum masehi, seorang filsuf dan cendikiawan hukum asal Romawi bernama Cicero pernah mengatakan, “solus populi suprema lex est (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi)”. Berlandas dari ucapan Cicero ini sebenarnya kita bisa mengukur sudah ataukah belum Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan amanat konstitusi. Sebuah negara dinilai telah serius melaksanakan amanat konstitusi adalah dengan menakar seberapa hirau negara tersebut menempatkan keselamatan warganya sebagai sesuatu yang utama.

Kebijakan Pemerintah Indonesia hari ini belumlah menempatkan urusan keselamatan warga sebagai urusan utama yang harus didahulukan. Urusan keselamatan warga kerap kali dikalahkan oleh kepentingan penanaman modal (investasi). Kenyataan ini bisa kita temui di dalam 3 problem ekologis seperti : 1) kasus reklamasi Teluk Benoa, 2) rencana eksploitasi emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), dan 3) rencana pendirian pabrik semen di Rembang dan Pati (eksploitasi kawasan karst Pegunungan Kendeng).

Hitung-hitungan pragmatisme kapitalistik dan alasan menjaga stabilitas iklim investasi selalu didahulukan oleh Pemerintah RI dalam merestui 3 rencana di atas (reklamasi Teluk Benoa, Tambang Emas Tumpang Pitu, dan Pendirian pabrik semen di Rembang serta Pati). Rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru hak-hak dasarnya dipinggirkan.

Hutan Lindung G. Tumpang Pitu dan Kawasan Karst Pegunungan Kendeng adalah kawasan resapan air. Kebutuhan air (baik bagi pertanian maupun konsumsi sehari-hari) warga sekitar Tumpang Pitu dan Pegunungan Kendeng dipenuhi oleh kemampuan 2 kawasan tersebut dalam mengemban fungsi kodratinya sebagai kawasan resapan air. Mengubah 2 kawasan tersebut menjadi kawasan pertambangan, tidak hanya akan mengganggu kebutuhan air warga, tetapi juga akan berdampak terhadap keselamatan warga, karena kedua kawasan tersebut merupakan kawasan rentan. Terlebih lagi bagi Tumpang Pitu yang telah memiliki cacatan sejarah terkena tsunami pada tahun 1994.

Ancaman banjir juga siap membekap warga sekitar Teluk Benoa jika reklamasi yang sejatinya hanya mengakomodasi kepentingan pemodal itu direstui. Negara seakan-akan tak mendahulukan keselamatan rakyat yang notabene adalah pemilik kedaulatan, dan kemudian lebih memilih menjadi pelayan yang berupaya memuaskan hati segelintir saudagar atau korporasi.

Kami PKN Mapala Indonesia, bukanlah kumpulan manusia anti-pembangunan. Namun, kami meyakini bahwa sebagai negara dengan kekayaan hayati yang melimpah, seyogyanya Indonesia mendesain pembangunan agar bersinergi dengan kekayaan hayatinya yang berkelanjutan. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang membunuh hak rakyat atas air. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang menghancurkan sumber nafkah rakyat yang telah ditekuni dan telah lama pula terbukti berkelanjutan (seperti pertanian).

Berdasarkan semua itu, kami mendesak kepada Presiden Indonesia untuk:
1. Menjadikan aspek keselamatan warga sebagai arus utama dalam setiap pembangunan di Indonesia.
2. Mendesain pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, merakyat, dan tak berbenturan dengan kenyataan ekologi Indonesia sebagai negara megabiodiversitas.
3. Menghentikan rencana reklamasi Teluk Benoa, serta mencabut ijin-ijin yang terkait dengan realisasi reklamasi Teluk Benoa.
4. Menginstruksikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat keputusan Menteri Kehutanan yang mengijinkan penurunan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu jadi hutan produksi. (SK 826/Menhut –II/2013 tertanggal 19 November 2013).
5. Menginstruksikan kepada kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut status Hutan Tumpang Pitu sebagai hutan produksi, dan mengembalikan status semula sebagai hutan lindung.
6. Menghentikan rencana tambang emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu, serta menginstruksikan kepada menteri terkait untuk mencabut ijin-ijin yang mendorong realisasi tambang emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu.
7. Menginstruksikan kepada Kapolri agar polisi mencabut ijin peredaran/perdagangan merkuri dan sianida di kawasan Tumpang Pitu.
8. Menghentikan rencana pembangunan pabrik semen di Rembang dan Pati, serta mencabut ijin-ijin yang terkait dengan realisasi reklamasi pabrik semen tersebut.
9. Menjadikan aspek konservasi dan keselamatan warga sebagai arus utama dalam pengelolaan semua kawasan karst yang ada di Indonesia.

Kertas posisi ini disiapkan untuk melengkapi aksi “MAPALA MENGGUGAT” (Bunderan HI Jakarta, 28 Oktober 2014). Aksi “MAPALA MENGGUGAT” diselenggarakan oleh Pusat Koordinasi Nasional Mahasiswa Pecinta Alam (PKN MAPALA) Indonesia
bekerjasama dengan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) MAPALA Jawa Timur.
Contact person : Romadhon Arif Firmansyah ( hp 08970260212 / 7ebe397b ), Vicky Maulana Jatim ( hp 085646164033)







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

MAPALA MENGGUGAT


Share


Oleh JATAM

28 Oktober 2014



K e r t a s P o s i s i
Pusat Koordinasi Nasional Mahasiswa Pecinta Alam (PKN Mapala) Indonesia. Puluhan tahun sebelum masehi, seorang filsuf dan cendikiawan hukum asal Romawi bernama Cicero pernah mengatakan, “solus populi suprema lex est (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi)”. Berlandas dari ucapan Cicero ini sebenarnya kita bisa mengukur sudah ataukah belum Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan amanat konstitusi. Sebuah negara dinilai telah serius melaksanakan amanat konstitusi adalah dengan menakar seberapa hirau negara tersebut menempatkan keselamatan warganya sebagai sesuatu yang utama.

Kebijakan Pemerintah Indonesia hari ini belumlah menempatkan urusan keselamatan warga sebagai urusan utama yang harus didahulukan. Urusan keselamatan warga kerap kali dikalahkan oleh kepentingan penanaman modal (investasi). Kenyataan ini bisa kita temui di dalam 3 problem ekologis seperti : 1) kasus reklamasi Teluk Benoa, 2) rencana eksploitasi emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), dan 3) rencana pendirian pabrik semen di Rembang dan Pati (eksploitasi kawasan karst Pegunungan Kendeng).

Hitung-hitungan pragmatisme kapitalistik dan alasan menjaga stabilitas iklim investasi selalu didahulukan oleh Pemerintah RI dalam merestui 3 rencana di atas (reklamasi Teluk Benoa, Tambang Emas Tumpang Pitu, dan Pendirian pabrik semen di Rembang serta Pati). Rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru hak-hak dasarnya dipinggirkan.

Hutan Lindung G. Tumpang Pitu dan Kawasan Karst Pegunungan Kendeng adalah kawasan resapan air. Kebutuhan air (baik bagi pertanian maupun konsumsi sehari-hari) warga sekitar Tumpang Pitu dan Pegunungan Kendeng dipenuhi oleh kemampuan 2 kawasan tersebut dalam mengemban fungsi kodratinya sebagai kawasan resapan air. Mengubah 2 kawasan tersebut menjadi kawasan pertambangan, tidak hanya akan mengganggu kebutuhan air warga, tetapi juga akan berdampak terhadap keselamatan warga, karena kedua kawasan tersebut merupakan kawasan rentan. Terlebih lagi bagi Tumpang Pitu yang telah memiliki cacatan sejarah terkena tsunami pada tahun 1994.

Ancaman banjir juga siap membekap warga sekitar Teluk Benoa jika reklamasi yang sejatinya hanya mengakomodasi kepentingan pemodal itu direstui. Negara seakan-akan tak mendahulukan keselamatan rakyat yang notabene adalah pemilik kedaulatan, dan kemudian lebih memilih menjadi pelayan yang berupaya memuaskan hati segelintir saudagar atau korporasi.

Kami PKN Mapala Indonesia, bukanlah kumpulan manusia anti-pembangunan. Namun, kami meyakini bahwa sebagai negara dengan kekayaan hayati yang melimpah, seyogyanya Indonesia mendesain pembangunan agar bersinergi dengan kekayaan hayatinya yang berkelanjutan. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang membunuh hak rakyat atas air. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang menghancurkan sumber nafkah rakyat yang telah ditekuni dan telah lama pula terbukti berkelanjutan (seperti pertanian).

Berdasarkan semua itu, kami mendesak kepada Presiden Indonesia untuk:
1. Menjadikan aspek keselamatan warga sebagai arus utama dalam setiap pembangunan di Indonesia.
2. Mendesain pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, merakyat, dan tak berbenturan dengan kenyataan ekologi Indonesia sebagai negara megabiodiversitas.
3. Menghentikan rencana reklamasi Teluk Benoa, serta mencabut ijin-ijin yang terkait dengan realisasi reklamasi Teluk Benoa.
4. Menginstruksikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat keputusan Menteri Kehutanan yang mengijinkan penurunan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu jadi hutan produksi. (SK 826/Menhut –II/2013 tertanggal 19 November 2013).
5. Menginstruksikan kepada kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut status Hutan Tumpang Pitu sebagai hutan produksi, dan mengembalikan status semula sebagai hutan lindung.
6. Menghentikan rencana tambang emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu, serta menginstruksikan kepada menteri terkait untuk mencabut ijin-ijin yang mendorong realisasi tambang emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu.
7. Menginstruksikan kepada Kapolri agar polisi mencabut ijin peredaran/perdagangan merkuri dan sianida di kawasan Tumpang Pitu.
8. Menghentikan rencana pembangunan pabrik semen di Rembang dan Pati, serta mencabut ijin-ijin yang terkait dengan realisasi reklamasi pabrik semen tersebut.
9. Menjadikan aspek konservasi dan keselamatan warga sebagai arus utama dalam pengelolaan semua kawasan karst yang ada di Indonesia.

Kertas posisi ini disiapkan untuk melengkapi aksi “MAPALA MENGGUGAT” (Bunderan HI Jakarta, 28 Oktober 2014). Aksi “MAPALA MENGGUGAT” diselenggarakan oleh Pusat Koordinasi Nasional Mahasiswa Pecinta Alam (PKN MAPALA) Indonesia
bekerjasama dengan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) MAPALA Jawa Timur.
Contact person : Romadhon Arif Firmansyah ( hp 08970260212 / 7ebe397b ), Vicky Maulana Jatim ( hp 085646164033)



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang