Lima Tahun Pertama Jokowi, Lingkungan Hidup Bukan Prioritas
Berita
Lima Tahun Pertama Jokowi, Lingkungan Hidup Bukan Prioritas
Oleh JATAM
28 Oktober 2019
Persoalan lingkungan hidup belum menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan lima tahun pertama pemerintahan presiden Joko Widodo. Padahal Indonesia sedang diterpa krisis lingkungan hidup.
Dalam lima tahun ke depan, pemerintah diminta menempatkan lingkungan hidup sebagai prioritas sejajar dengan urusan investasi dan pembangunan infrastruktur yang dapat perhatian utama. Tuntutan tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Proyeksi 5 Tahun Pemerintahan Mendatang Versi Masyarakat Sipil dengan Tema: Sumber Daya Alam dan Lingkungan”, di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Hadir sebagai pembicara dalam acara itu Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo, Team Leader Forrest Campaigner Greenpeace Indonesia Arie Rompas, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, Peneliti Tambang dan Energi Auriga Iqbal Damanik, dan Manajer Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Ariyanto Nugroho.
Henri mengatakan, selama lima tahun terakhir keputusan pemerintah kurang mempertimbangkan unsur lingkungan hidup. Keputusan lebih banyak memberi perhatian untuk mendorong investasi dan pembangunan infrastruktur.
Hal itu tercermin salah satunya melalui keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau juga dikenal Online Single Submission (OSS). Melalui aturan itu, lanjut Henri, peran analisis dampak lingkungan (Amdal) dalam pemberian izin digantikan dengan surat komitmen pembuatan Amdal.
Pembuatan amdal mendorong dan menuntut perusahaan untuk terlebih dahulu memenuhi standar pemeliharan lingkungan demi mendapatkan izin. Dengan berlakunya aturan ini, Amdal baru diberikan belakangan setelah memperoleh izin.
“Aturan ini semata agar yang penting investasi masuk dulu. Lalu untuk apa ada Amdal kalau izin sudah diberikan?” ujar Henri.
Laju perkembangan korporasi juga memaksa ongkos dari kerusakan lingkungan hidup. Mengutip data dari Greenpeace Indonesia, pada 2015-2017 Indonesia kehilangan 1,6 juta hektar hutan. Sebanyak 19 persen diantaranya berasal dari konsesi kelapa sawit. Dari jumlah itu, sebanyak 28 persen adalah habitat orangutan Borneo yang hilang dan berubah menjadi konsesi kelapa sawit.
“Manusia kehilangan cadangan paru-paru dunia dan binatang kehilangan habitatnya,” ujar Arie Rompas.
Kerusakan lingkungan pun memicu bencana alam lainnya. Mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak awal tahun hingga saat ini terjadi 2.097 bencana alam. Sebanyak 1.098 atau 52 persen adalah bencana banjir dan longsor yang terjadi karena alih fungsi lahan.
Belum berpihak
Merah mengatakan, melihat perilaku dan konstelasi parlemen dewasa ini yang mendorong pasal-pasal yang janggal di sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur soal sumber daya alam dan lingkungan, gejala ini masih akan terjadi ke depan. Ia menilai lima tahun ke depan, kebijakan belum akan banyak berubah untuk berpihak pada lingkungan hidup.
Ia mengambil contoh salah satunya di RUU Mineral dan Batubara. Dalam RUU itu terdapat revisi pasal 99 ayat 2 yang menurut Merah membuat perusahaan mengingkari tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup pasca aktivitas penambangan.
Pasal itu sebelumnya berbunyi, “Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.” Kini pasal itu ingin direvisi dengan bunyi, “Peruntukkan lahan pascatambang antara lain dapat digunakan untuk bangunan irigasi dan objek wisata.”
Merah menegaskan, lubang bekas tambang seharusnya direklamasi untuk mengembalikan ekosistem lingkungan sekitar. Penggunaan lubang bekas tambang untuk irigasi juga bukan hal yang tepat, sebab air bekas tambang memiliki kandungan kimia berbahaya yang berbahaya bagi tubuh manusia.
“Revisi aturannya seharusnya mendorong tanggung jawab perusahaan untuk mereklamasi atau merehabilitas lubang bekas tambang, bukan untuk wisata atau irigasi,” ujar Merah.
Kekhawatiran kebijakan belum berpihak pada lingkungan hidup juga dikemukakan Iqbal. Apalagi dalam berbagai kesempatan, presiden akan memberi jalan untuk mendorong investasi. Salah satunya dengan rencana pemerintah untuk merevisi 74 undang-undang yang dianggap menghambat investasi yang semuanya akan diatur dalam satu undang-undang dengan model omnimbus law.
“Pendekatannya memang mendukung investasi,” ujar Iqbal.
Melihat berbagai fenomena itu, seluruh pembicara dalam acara itu, sepakat bahwa pemerintahan berikutnya harus memprioritaskan unsur lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan.
“Kebijakan yang mendorong investasi dan pembangunan infrastruktur harus diimbangi dengan standar pemeliharan ketat yang harus dipenuhi secara disiplin. Hal ini agar pembangunan bisa berjalan tanpa merusak lingkungan,” ujar Henri.
Sumber: Kompas
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang