Laju Industri Ekstraktif Ugal-Ugalan, Penyebab Rentetan Bencana Sosial-Ekologi di Kalimantan Utara


Siaran Pers

Laju Industri Ekstraktif Ugal-Ugalan, Penyebab Rentetan Bencana Sosial-Ekologi di Kalimantan Utara


Oleh JATAM

09 Februari 2023





Laju Industri Ekstraktif Ugal-Ugalan, Penyebab Rentetan Bencana Sosial-Ekologi di Kalimantan Utara


Banjir Bandang di Kabupaten Konservasi, Kabupaten Malinau

Gencarnya investasi sektor industri ekstraktif di Kalimantan Utara, khususnya di sektor pertambangan dan energi, turut mengundang rentetan bencana yang terus-menerus terjadi di berbagai wilayah di Kalimantan Utara. Dalam sepekan terakhir saja, setidaknya dua bencana lingkungan dan kemanusian terjadi akibat operasi ugal-ugalan perusahaan pertambangan batu bara di Kalimantan Utara. Namun hingga saat ini, alih-alih melakukan pencabutan izin, pemerintah belum sekalipun memberikan sanksi tegas untuk menindak perusahaan-perusahaan pengundang bencana ini.

Di wilayah Kabupaten Malinau yang juga dikenal sebagai Kabupaten Konservasi dengan satu taman nasional, sejak 29 Januari hingga 4 februari lalu, banjir bandang melanda setidaknya enam desa selama berhari-hari. JATAM memandang, banjir yang kerap kali terjadi di Malinau ini disebabkan oleh aktifitas industri di kawasan Daerah Aliran Sungai di Malinau dan sekitarnya.

Aktivitas industri, khususnya operasi pertambangan, di kawasan hulu dan daerah aliran Sungai Malinau, Sungai Mentarang dan Sungai Sesayap ini, telah menyebabkan alih fungsi lahan dan hilangnya kawasan hutan yang mengakibatkan banjir makin sering terjadi. Bahkan dalam banjir yang terjadi pekan lalu, luapan Sungai Sesayap tersebut mengakibatkan meninggalnya Efan, anak kecil usia 7 (tujuh) Tahun yang terseret arus dan tenggelam.

JATAM mencatat sudah beberapa kali terjadi banjir di Kabupaten Malinau yang disebabkan akibat aktivitas tambang yang berada di kawasan hulu. Banjir tersebut terus berulang sejak sejak 2010, 2011, 2012, 2017, 2021, 2022 dan terakhir pada awal 2023 lalu. Pada 4 Juli 2017, misalnya, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.

Saat itu PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai tersebut mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU yang mengacu pada Kepmen Kesehatan NO 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Pada saat itu, PDAM setempat juga mematikan pelayanan air bersih selama 3 hari, sejak tanggal 7 hingga 9 Juli 2017.

Kemudian pada 7 Februari 2021, Tanggul penampung limbah tambang yang diduga berasal dari kolam Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol dan mencemari Sungai Malinau. Akibat pencemaran itu, air sungai menjadi keruh-kecoklatan, ratusan ikan ditemukan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak. Selain itu, akses terhadap air bersih pun terganggu, setidaknya dialami warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau (Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota). Bahkan, PDAM Malinau terpaksa menghentikan pengelolaan dan pasokan air bersih pada 8 Februari 2021 lalu akibat sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar parah. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan.

Terbukti berdasarkan hasik uji lab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang disampaikan pada JATAM Kalimantan Utara terkait peritiwa di atas melalui surat Hasil uji sampel Sungai Malinau Nomor: S.447/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2021 menyatakan:

“Terdapat parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) kelas 1 PP 82 Tahun 2001 yaitu BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Flouride, minyak, lemak, MBAS, CACO3 dan Phenol”.

Selanjutnya pada 14 Agustus 2022, tanggul penampungan limbah beracun milik perusahaan tambang batu bara PT KPUC kembali jebol dan mencemari Sungai Malinau, menyebabkan air Sungai Malinau berwarna coklat keruh, berlumpur, serta meluap hingga menggenangi kebun-kebun warga dan memutus akses jalan penghubung antar Desa Langap dan Desa Loreh.

Jebolnya tanggul limbah PT KPUC ini juga menyebabkan pasokan air bersih warga di Sebagian Kabupaten Malinau Terganggu, terutama di Desa Malinau Hulu, Desa Tanjung Keranjang, Desa Malinau Hilir dan Desa Pelita Kanaan di Kecamatan Malinau Barat. Hal ini dikarenakan PDAM Malinau berhenti mengoperasikan instalasi pengolahan air, sebab baku mutu air Sungai Malinau yang telah tercemar limbah batu bara tersebut tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air konsumsi warga.

Kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi. Sebab saat ini, terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang konsesinya berada pada hulu dan badan sungai Malinau. Kelima perusahaan itu, antara lain PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Mudasukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).

Bencana Sosial-Ekologi Dari Tambang Batu Bara Di Pulau Kecil Bunyu

Tak hanya di Kabupaten Malinau, di saat yang bersamaan bencana sosial-ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas tambang juga terjadi di Pulau Kecil Bunyu dan perairan sekitarnya. Dimana pada 1 Februari lalu warga Pulau Bunyu dikagetkan dengan jebolnya tanggul limbah batu bara di Desa Bunyu Barat, milik perusahaan tambang PT Saka Putra Perkasa.

Air limbah beracum bercampur lumpur dan pasir tersebut mengalir deras dan menenggelamkan pemukiman warga. Diperkirakan 100 lebih keluarga petani dan nelayan menjadi korban atas peristiwa tersebut. Tak hanya merendam pemukiman, puluhan hektar lahan kebun warga rusak diterjang aliran limbah dari tanggul yang jebol tersebut, terendam air limbah bercampur lumpur dan pasir. Setidaknya 45 rumah kebun dan enam buah bangunan sarang burung walet warga turut rusak.

Sementara itu, kawasan pesisir pantai hingga laut Pulau Bunyu juga turut tercemar oleh limbah beracun dari tanggul limbah yang jebol tersebut. Sebagaimana kesaksian Haryono, warga Pulau Bunyu, diperkirakan sepanjang 6 km kawasan pantai di Desa Bunyu Barat tercemar limbah batu bara dari jebolnya tanggul tersebut. Masih menurut keterangan Haryono, pencemaran tersebut bahkan mencapai perairan yang berjarak 2 mil dari bibir pantai Desa Bunyu Barat.

Sejak jebolnya tanggul penampungan limbah batu bara tersebut, tim dari kepolisian, dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, serta PSDKP Dinas Kelautan dan Perikanan, hingga Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, telah turun melakukan peninjauan lokasi, pengumpulan data dan fakta lapangan. Namun, kedatangan tim-tim tersebut tidak membuat warga lega dan terbantu. Bahkan warga menyatakan kekecewaan mereka. Hal tersebut dikarenakan tim-tim tersebut hanya datang sekedar meninjau. Datang pagi Pukul 10.00 WITA, setelah melihat kiri-kanan, ujung ke ujung, jelang siang Pukul

14.00 WITA para tim tersebut Kembali pulang, meninggalkan Pulau Bunyu dalam keadaan kolam limbah menganga dan terus mengalirkan limbah beracun hingga ke laut lepas.

Tidak ada satupun upaya untuk mendatangkan alat berat dan menutup tanggul limbah beracun milik yang jebol. Padahal kurang dari satu kilometer dari tanggul jebol tersebut, terdapat alat berat perusahaan batu bara lain yang sedang beroperasi, yakni milik PT Lamindo Multikon. Akibatnya limbah beracun tersebut terus mengalir hingga Selasa 7 Februari 2023.

Perusahaan pemilik tanggul limbah yang jebol ini, PT Saka Putra Perkasa, adalah pemilik konsesi tambang batu bara seluas 728,59 hektar di Pulau Bunyu berdasarkan izin usaha pertambangan Nomor 205/K-IV/549/2014 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan. Selain PT Saka Putra Perkasa, terdapat dua perusahaan tambang batu bara lainnya yang beroperasi di Pulau Bunyu, yakni PT Garda Tujuh Buana seluas 710 hektar dan PT Lamindo Multikon 2.413 hektar.

Pencemaran pantai dan pesisir Pulau Bunyu ini bukan yang pertama kalinya. Pada Mei 2022 lalu, Sungai Siput dan Sungai Barat di Pulau Bunyu juga mengalami pencemaran akibat limbah batu bara. Kedua sungai tersebut menjadi keruh dan dan berlumpur akibat pencemaran dari kolam limbah batu bara. Pencemaran sungai dan kawasan pesisir ini memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh, pindah dari muara Sungai Barat dan Sungai siput ke muara Sungai Kelong dan Sungai Kapah yang belum tersentuh aktivitas pertambangan batu bara.

Padahal, Pulau Bunyu yang hanya seluas 198,32 km² masuk dalam kategori pulau kecil (kurang dari2.000 Km2) yang seharusnya dilarang untuk aktivitas pertambangan sebagaimana ketentuan Undang- undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada Pasal 35 tegas menyatakan bahwa “Pulau Kecil yang ukurannya setara atau lebih kecil 2.000 km2 (Dua Pulu Kilometer Persegi) dilarang untuk “Melakukan Penambangan” dan juga dilarang untuk “Melakukan Pembangunan Fisik” apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/ataubudaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya”.

Pengurus Negara Bebal, Menjerumuskan Kaltara Pada Bencana Sosial-Ekologi Berulang

 Rentetan bencana yang terjadi di Kalimantan Utara yang terus berulang ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pengurus Negara, khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, untuk tidak lagi secara ugal-ugalan mengobral izin industri ekstraktif berbasis lahan skala luas. Pemerintah, baik nasional maupun daerah, harus bertindak tegas, mencabut seluruh izin tambang yang telah menyebabkan bencana sosial-ekologis di Kalimantan Utara.

Apa lagi, kini Kalimantan Utara tengah dalam ancaman industri yang berdaya rusak tinggi, namun dilabeli ramah lingkungan dan rendah karbon, yakni proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan, serta proyek pembangunan Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning. Kedua proyek yang berada di Kabupaten Bulungan ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dan diproyeksikan akan menjadi penopang untuk kebutuhan Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan Timur.

Untuk itu, demi menjamin keselamatan warga di Kalimantan Utara, JATAM mendesak kepada Pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas, mencabut izin dan menghentikan seluruh aktivitas tambang dan industri ekstraktif lainnya, yang telah terbukti mendatangkan bencana sosial- ekologis dan menyengsarakan warga. Kemudian, menghentikan seluruh proyek ramah lingkungan abal-abal, yang berdaya rusak tinggi dan mengundang bencana sosial-ekologis yang lebih besar, di antaranya adalah KIPI di Tanah Kuning dan PLTA Kayan.

Narahubung:

  • Andri, JATAM Kaltara: +62 822-5041-9406
  • Muh. Jamil, JATAM Nasional: +62 821-5647-0477






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Laju Industri Ekstraktif Ugal-Ugalan, Penyebab Rentetan Bencana Sosial-Ekologi di Kalimantan Utara


Share


Oleh JATAM

09 Februari 2023



Laju Industri Ekstraktif Ugal-Ugalan, Penyebab Rentetan Bencana Sosial-Ekologi di Kalimantan Utara


Banjir Bandang di Kabupaten Konservasi, Kabupaten Malinau

Gencarnya investasi sektor industri ekstraktif di Kalimantan Utara, khususnya di sektor pertambangan dan energi, turut mengundang rentetan bencana yang terus-menerus terjadi di berbagai wilayah di Kalimantan Utara. Dalam sepekan terakhir saja, setidaknya dua bencana lingkungan dan kemanusian terjadi akibat operasi ugal-ugalan perusahaan pertambangan batu bara di Kalimantan Utara. Namun hingga saat ini, alih-alih melakukan pencabutan izin, pemerintah belum sekalipun memberikan sanksi tegas untuk menindak perusahaan-perusahaan pengundang bencana ini.

Di wilayah Kabupaten Malinau yang juga dikenal sebagai Kabupaten Konservasi dengan satu taman nasional, sejak 29 Januari hingga 4 februari lalu, banjir bandang melanda setidaknya enam desa selama berhari-hari. JATAM memandang, banjir yang kerap kali terjadi di Malinau ini disebabkan oleh aktifitas industri di kawasan Daerah Aliran Sungai di Malinau dan sekitarnya.

Aktivitas industri, khususnya operasi pertambangan, di kawasan hulu dan daerah aliran Sungai Malinau, Sungai Mentarang dan Sungai Sesayap ini, telah menyebabkan alih fungsi lahan dan hilangnya kawasan hutan yang mengakibatkan banjir makin sering terjadi. Bahkan dalam banjir yang terjadi pekan lalu, luapan Sungai Sesayap tersebut mengakibatkan meninggalnya Efan, anak kecil usia 7 (tujuh) Tahun yang terseret arus dan tenggelam.

JATAM mencatat sudah beberapa kali terjadi banjir di Kabupaten Malinau yang disebabkan akibat aktivitas tambang yang berada di kawasan hulu. Banjir tersebut terus berulang sejak sejak 2010, 2011, 2012, 2017, 2021, 2022 dan terakhir pada awal 2023 lalu. Pada 4 Juli 2017, misalnya, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.

Saat itu PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai tersebut mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU yang mengacu pada Kepmen Kesehatan NO 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Pada saat itu, PDAM setempat juga mematikan pelayanan air bersih selama 3 hari, sejak tanggal 7 hingga 9 Juli 2017.

Kemudian pada 7 Februari 2021, Tanggul penampung limbah tambang yang diduga berasal dari kolam Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol dan mencemari Sungai Malinau. Akibat pencemaran itu, air sungai menjadi keruh-kecoklatan, ratusan ikan ditemukan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak. Selain itu, akses terhadap air bersih pun terganggu, setidaknya dialami warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau (Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota). Bahkan, PDAM Malinau terpaksa menghentikan pengelolaan dan pasokan air bersih pada 8 Februari 2021 lalu akibat sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar parah. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan.

Terbukti berdasarkan hasik uji lab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang disampaikan pada JATAM Kalimantan Utara terkait peritiwa di atas melalui surat Hasil uji sampel Sungai Malinau Nomor: S.447/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2021 menyatakan:

“Terdapat parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) kelas 1 PP 82 Tahun 2001 yaitu BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Flouride, minyak, lemak, MBAS, CACO3 dan Phenol”.

Selanjutnya pada 14 Agustus 2022, tanggul penampungan limbah beracun milik perusahaan tambang batu bara PT KPUC kembali jebol dan mencemari Sungai Malinau, menyebabkan air Sungai Malinau berwarna coklat keruh, berlumpur, serta meluap hingga menggenangi kebun-kebun warga dan memutus akses jalan penghubung antar Desa Langap dan Desa Loreh.

Jebolnya tanggul limbah PT KPUC ini juga menyebabkan pasokan air bersih warga di Sebagian Kabupaten Malinau Terganggu, terutama di Desa Malinau Hulu, Desa Tanjung Keranjang, Desa Malinau Hilir dan Desa Pelita Kanaan di Kecamatan Malinau Barat. Hal ini dikarenakan PDAM Malinau berhenti mengoperasikan instalasi pengolahan air, sebab baku mutu air Sungai Malinau yang telah tercemar limbah batu bara tersebut tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air konsumsi warga.

Kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi. Sebab saat ini, terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang konsesinya berada pada hulu dan badan sungai Malinau. Kelima perusahaan itu, antara lain PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Mudasukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).

Bencana Sosial-Ekologi Dari Tambang Batu Bara Di Pulau Kecil Bunyu

Tak hanya di Kabupaten Malinau, di saat yang bersamaan bencana sosial-ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas tambang juga terjadi di Pulau Kecil Bunyu dan perairan sekitarnya. Dimana pada 1 Februari lalu warga Pulau Bunyu dikagetkan dengan jebolnya tanggul limbah batu bara di Desa Bunyu Barat, milik perusahaan tambang PT Saka Putra Perkasa.

Air limbah beracum bercampur lumpur dan pasir tersebut mengalir deras dan menenggelamkan pemukiman warga. Diperkirakan 100 lebih keluarga petani dan nelayan menjadi korban atas peristiwa tersebut. Tak hanya merendam pemukiman, puluhan hektar lahan kebun warga rusak diterjang aliran limbah dari tanggul yang jebol tersebut, terendam air limbah bercampur lumpur dan pasir. Setidaknya 45 rumah kebun dan enam buah bangunan sarang burung walet warga turut rusak.

Sementara itu, kawasan pesisir pantai hingga laut Pulau Bunyu juga turut tercemar oleh limbah beracun dari tanggul limbah yang jebol tersebut. Sebagaimana kesaksian Haryono, warga Pulau Bunyu, diperkirakan sepanjang 6 km kawasan pantai di Desa Bunyu Barat tercemar limbah batu bara dari jebolnya tanggul tersebut. Masih menurut keterangan Haryono, pencemaran tersebut bahkan mencapai perairan yang berjarak 2 mil dari bibir pantai Desa Bunyu Barat.

Sejak jebolnya tanggul penampungan limbah batu bara tersebut, tim dari kepolisian, dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, serta PSDKP Dinas Kelautan dan Perikanan, hingga Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, telah turun melakukan peninjauan lokasi, pengumpulan data dan fakta lapangan. Namun, kedatangan tim-tim tersebut tidak membuat warga lega dan terbantu. Bahkan warga menyatakan kekecewaan mereka. Hal tersebut dikarenakan tim-tim tersebut hanya datang sekedar meninjau. Datang pagi Pukul 10.00 WITA, setelah melihat kiri-kanan, ujung ke ujung, jelang siang Pukul

14.00 WITA para tim tersebut Kembali pulang, meninggalkan Pulau Bunyu dalam keadaan kolam limbah menganga dan terus mengalirkan limbah beracun hingga ke laut lepas.

Tidak ada satupun upaya untuk mendatangkan alat berat dan menutup tanggul limbah beracun milik yang jebol. Padahal kurang dari satu kilometer dari tanggul jebol tersebut, terdapat alat berat perusahaan batu bara lain yang sedang beroperasi, yakni milik PT Lamindo Multikon. Akibatnya limbah beracun tersebut terus mengalir hingga Selasa 7 Februari 2023.

Perusahaan pemilik tanggul limbah yang jebol ini, PT Saka Putra Perkasa, adalah pemilik konsesi tambang batu bara seluas 728,59 hektar di Pulau Bunyu berdasarkan izin usaha pertambangan Nomor 205/K-IV/549/2014 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan. Selain PT Saka Putra Perkasa, terdapat dua perusahaan tambang batu bara lainnya yang beroperasi di Pulau Bunyu, yakni PT Garda Tujuh Buana seluas 710 hektar dan PT Lamindo Multikon 2.413 hektar.

Pencemaran pantai dan pesisir Pulau Bunyu ini bukan yang pertama kalinya. Pada Mei 2022 lalu, Sungai Siput dan Sungai Barat di Pulau Bunyu juga mengalami pencemaran akibat limbah batu bara. Kedua sungai tersebut menjadi keruh dan dan berlumpur akibat pencemaran dari kolam limbah batu bara. Pencemaran sungai dan kawasan pesisir ini memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh, pindah dari muara Sungai Barat dan Sungai siput ke muara Sungai Kelong dan Sungai Kapah yang belum tersentuh aktivitas pertambangan batu bara.

Padahal, Pulau Bunyu yang hanya seluas 198,32 km² masuk dalam kategori pulau kecil (kurang dari2.000 Km2) yang seharusnya dilarang untuk aktivitas pertambangan sebagaimana ketentuan Undang- undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada Pasal 35 tegas menyatakan bahwa “Pulau Kecil yang ukurannya setara atau lebih kecil 2.000 km2 (Dua Pulu Kilometer Persegi) dilarang untuk “Melakukan Penambangan” dan juga dilarang untuk “Melakukan Pembangunan Fisik” apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/ataubudaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya”.

Pengurus Negara Bebal, Menjerumuskan Kaltara Pada Bencana Sosial-Ekologi Berulang

 Rentetan bencana yang terjadi di Kalimantan Utara yang terus berulang ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pengurus Negara, khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, untuk tidak lagi secara ugal-ugalan mengobral izin industri ekstraktif berbasis lahan skala luas. Pemerintah, baik nasional maupun daerah, harus bertindak tegas, mencabut seluruh izin tambang yang telah menyebabkan bencana sosial-ekologis di Kalimantan Utara.

Apa lagi, kini Kalimantan Utara tengah dalam ancaman industri yang berdaya rusak tinggi, namun dilabeli ramah lingkungan dan rendah karbon, yakni proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan, serta proyek pembangunan Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning. Kedua proyek yang berada di Kabupaten Bulungan ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dan diproyeksikan akan menjadi penopang untuk kebutuhan Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan Timur.

Untuk itu, demi menjamin keselamatan warga di Kalimantan Utara, JATAM mendesak kepada Pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas, mencabut izin dan menghentikan seluruh aktivitas tambang dan industri ekstraktif lainnya, yang telah terbukti mendatangkan bencana sosial- ekologis dan menyengsarakan warga. Kemudian, menghentikan seluruh proyek ramah lingkungan abal-abal, yang berdaya rusak tinggi dan mengundang bencana sosial-ekologis yang lebih besar, di antaranya adalah KIPI di Tanah Kuning dan PLTA Kayan.

Narahubung:

  • Andri, JATAM Kaltara: +62 822-5041-9406
  • Muh. Jamil, JATAM Nasional: +62 821-5647-0477


Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang