KPK Dalami Persoalan Tambang di Wawonii
Berita
KPK Dalami Persoalan Tambang di Wawonii
Oleh JATAM
07 Agustus 2019
Tim Koordinasi Supervisi dan Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami persoalan pertambangan di Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Persoalan tambang wilayah tersebut perlu ditangani lebih komprehensif untuk mencegah konflik berlarut.
”Untuk (persoalan) tambang di Sultra, kami juga sedang fokus terkait permasalahan di Konawe Kepulauan, khususnya konflik masyarakat dengan perusahaan. Kami sedang tahap identifikasi data dan mendalami persoalan,” kata Koordinator Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) KPK Fungsional Korwil VIII Edi Suryanto yang dihubungi dari Kendari, Selasa (30/7/2019).
Secara umum, menurut Edi, pihaknya tengah mendalami beberapa hal terkait pertambangan di wilayah tersebut. Beberapa di antaranya legalitas perizinan dan syarat administratif. Terkait konflik masyarakat dengan perusahaan, hal itu menjadi wewenang pihak lain. ”Ini sedang menjadi perhatian. Kami mendalami hal ini,” ujarnya.
Persoalan pertambangan menjadi salah satu fokus Korsupgah KPK di wilayah Sultra. Selain rawan menjadi bancakan korupsi, sektor pertambangan juga banyak terbelit konflik dengan masyarakat.
Terakhir, pada Senin (29/7/2019), tiga warga Wawonii Tenggara, diperiksa Polda Sultra. Wa Ana (37), Amin L (55), dan Labaa (78) dilaporkan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) karena dianggap menghalangi proses pembangunan jalan tambang. Warga bertahan di lokasi kebun mereka yang telah diolah sekitar 30 tahun dan tidak ingin beralih menjadi jalan pertambangan.
Konflik warga dengan perusahaan tambang di Wawonii bukan kali ini terjadi. Sejak beberapa bulan lalu, aksi warga menolak tambang terus bergulir. Ribuan warga melakukan aksi selama beberapa waktu meminta agar izin tambang dicabut.
Pemerintah Provinsi Sultra berjanji menghentikan aktivitas tambang dan mencabut izin. Di pulau seluas 1.514 kilometer persegi itu terdapat 18 izin usaha pertambangan (IUP) dan tiga IUP di antaranya telah habis masa berlakunya.
Belakangan, dari 15 IUP yang tersisa, Pemprov Sultra hanya mencabut sembilan izin yang kebetulan telah habis masa berlakunya. Sementara enam izin hanya dibekukan dengan alasan untuk dikaji lebih mendalam.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Sultra Andi Azis mengatakan, pihaknya telah mencabut pembekuan izin terhadap PT GKP beberapa waktu lalu. Hal itu dilakukan karena adanya permintaan untuk mecabut izin dari perusahaan tersebut. ”Tetapi dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Mereka sudah bermohon, maka kami cabut pembekuannya,” kata Azis.
Terkait konflik antara masyarakat dan PT GKP, menurut Azis, perusahaan harus menyelesaikan dan melakukan kesepakatan terlebih dahulu. Aktivitas pertambangan baru bisa berjalan setelah hak-hak warga terpenuhi.
Selain itu, kata Azis, ia berharap semua pihak benar-benar memikirkan dan mencari titik temu terkait hal ini. Langkah-langkah pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat harus dipikirkan secara matang.
”Kami terus pantau dan klarifikasi kalau ada informasi terkait gesekan perusahaan dengan masyarakat. Kami berharap kesejahteraan masyarakat secara umum terjamin,” kata Azis.
Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso, Senin (29/7/2019), menjelaskan, pihaknya telah berusaha melakukan pendekatan persuasif ke warga Desa Sukarela Jaya terkait pembuatan jalan tambang. Dari total 18 warga yang melakukan penanaman di kawasan hutan, 15 warga telah bersedia menjual tanaman di lahan mereka. Lahan tersebut menurut rencana dibuat jalan tambang selebar 20 meter dengan sepanjang 5 kilometer.
Terlebih lagi, kata Bambang, lahan yang dikelola warga tersebut adalah lahan hutan di mana perusahaan telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) sejak 2010. Area tersebut adalah area hutan produksi konversi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga diminta segera menginvestigasi kerusakan lingkungan oleh perusahaan tambang.
Menurut Bambang, secara keseluruhan, pihaknya telah membebaskan hampir 280 hektar lahan yang digunakan untuk jalan hauling, jetty, dan lokasi tambang. ”Tetapi tinggal tiga orang ini yang keras kepala. Selain itu, ada tiga orang lain lagi yang akan kami pidanakan karena melakukan penganiayaan,” kata Bambang.
Sementara itu, Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mendesak berbagai pihak untuk segera turun dan menyelesaikan permasalahan di Wawonii, khususnya terkait konflik warga dengan perusahaan. Salah satunya mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk turun tangan, menyelamatkan pulau kecil Wawonii yang dikepung perusahaan tambang.
Mereka juga mendesak Kapolri menghentikan pemidanaan bagi warga penolak tambang dan menarik seluruh personel yang mengawal aktivitas perusahaan tambang. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga diminta segera menginvestigasi kerusakan lingkungan oleh perusahaan tambang.
Sumber: Kompas
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang