Indonesia kerap disebut sebagai negara kepulauan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut jumlah pulau di Indonesia lebih dari 16 ribu. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk mengatur tata kelola kepulauan. Diantaranya melalui UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui dengan UU No.1 Tahun 2014.
Misalnya, UU No.1 Tahun 2014 mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk 9 jenis kepentingan, seperti konservasi; pendidikan dan pengembangan; dan budi daya laut. Ironisnya, ketentuan ini tidak berjalan optimal karena faktanya tidak sedikit pulau kecil yang pemanfaatannya di luar ketentuan tersebut misalnya melakukan penambangan.
Staf riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alwiya Shahbanu mencatat ada 55 pulau kecil dengan 164 konsesi pertambangan mineral dan batubara. Sejumlah pulau kecil itu antara lain pulau Bunyu di Kalimantan Utara, dan Pulau Gebe di Maluku Utara. Keberadaan tambang di pulau kecil ini berdampak buruk terhadap lingkungan hidup. Seperti, membuat sumber air tercemar dan hilang, dan penghancuran sumber pangan karena lahan dicaplok konsesi tambang.
“Ada 3 sumber air utama pulau Bunyu yaitu sungai Ciput, sungai Barat, dan sungai Lumpur sekarang tercemar dan kering,” kata Alwiya dalam diskusi yang digelar Jatam di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Alwiya mengatakan pulau-pulau kecil butuh perhatian khusus karena infrastruktur ekologisnya terbatas. Instrumen hukum yang selama ini digunakan untuk pulau-pulau kecil dan pesisir yakni Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagaimana mandat UU No.27 Tahun 2007 dinilai tidak bisa memulihkan krisis yang ada. Proses penyusunan RZWP3K justru membuka ruang investasi, termasuk penambangan di pulau kecil dan pesisir.
Jatam merekomendasikan pemerintah untuk mencabut semua izin pertambangan di pulau kecil, melakukan audit, dan investigasi khusus terkait kejahatan korporasi di pesisir dan pulau-pulau kecil. Menghentikan pendekatan militeristik dalam bentuk pengerahan aparat dan melakukan pemulihan sosial-ekologis secara komprehensif sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dirusak oleh pertambangan.
Direktur Direktorat Perencanaan Ruang Laut KKP, Suharyanto mengatakan salah satu persoalan yang menyebabkan pertambangan bisa masuk di pulau-pulau kecil karena ini tidak diatur dalam RZWP3K. Peruntukan suatu wilayah, termasuk untuk pertambangan diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Selama Perda RTRW mengatur bahwa di pulau kecil pada wilayah tersebut bisa dilakukan pertambangan, maka izin bisa diterbitkan.
Menurut Suharyanto, masalah ini sudah menjadi perhatian. Salah satu upaya yang dilakukan KKP yakni melakukan koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, KPK, dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota.
Targetnya, hasil koordinasi itu akan selesai tahun ini dengan menerbitkan satu aturan bersama seperti Surat Edaran (SE). Aturan itu pada intinya menegaskan agar Perda RTRW yang tidak selaras dengan UU No.1 Tahun 2014 harus ditinjau kembali.
“Dalam peraturan itu juga akan diatur bagaimana penyesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan yang ada atau ketika izinnya habis, maka tidak bisa diperpanjang lagi,” kata Suharyanto.
Suharyanto menegaskan Pasal 23 UU No.1 Tahun 2014 mengatur pulau kecil tidak bisa ditambang. Persoalannya, ada perusahaan yang sudah mengantongi izin sebelum UU No.1 Tahun 2014 terbit, sehingga perusahaan itu sudah melakukan operasional di pulau kecil. Tapi melalui koordinasi dengan beberapa kementerian dan lembaga terkait itu diharapkan ke depan pemerintah dapat mendorong revisi Perda RTRW, sehingga melarang pertambangan di pulau-pulau kecil.
Kepala Litbang KPK, Wawan Wardiana, menekankan KPK hanya bisa melakukan penindakan untuk kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Untuk isu sumber daya alam (SDA), tahun 2013 KPK mendeklarasikan gerakan nasional penyelamatan SDA. KPK menggandeng Kejaksaan, Polri, dan Panglima TNI untuk menandatangani deklarasi tersebut dengan harapan dapat dilaksanakan oleh masing-masing lembaga yang berkomitmen sampai ke tingkat bawah.
Salah satu pemicu deklarasi itu karena sampai saat ini tidak ada peta tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik yang diterbitkan pemerintah pusat dan daerah. Kemudian tidak ada aturan yang tegas menyebut kewajiban pengusaha yang mengantongi IUP. Data KPK menunjukan dari sekitar 10 ribu perusahaan tambang, ada 3 ribu yang tidak memiliki NPWP. Kemudian tidak ada informasi yang jelas bagaimana kewajiban perusahaan pasca melakukan penambangan.
“Ditambah lagi antar kementerian terkait sangat minim melakukan koordinasi,” katanya.
Sumber: hukumonline.com