“Kembalikan Hak Watuputih Sebagai Kawasan Lindung”


Siaran Pers

“Kembalikan Hak Watuputih Sebagai Kawasan Lindung”


Oleh JATAM

03 April 2017





Menanggapi surat Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tentang “Dukungan Pemetaan Sistem Aliran Sungai Bawah Tanah Cekungan Air Tanah (CAT Watuputih, Rembang, Jawa Tengah” dengan nomor 2537/42/MEM.S/ 2017 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup tertanggal 24 Maret 2017, kami Jaringan Masyarakat Peduli Pegunugan Kendeng (JMPPK) merasa perlu untuk menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Kementerian ESDM dalam hal ini diwakili oleh Yth. Bapak Ignasius Jonan sebagai Menteri seharusnya mengutamakan sikap kehati-hatian dalam membuat pernyataan terkait status kawasan CAT Watuputih, mengingat status CAT Watuputih adalah KAWASAN LINDUNG GEOLOGI berdasarkan fungsinya sebagai resapan air tanah sesuai dengan PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NO.14 TAHUN 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031 Pasal 19/a.
  1. Kementerian ESDM dalam hal ini diwakili oleh Yth. Bapak Ignasius Jonan sebagai Menteri seharusnya mengutamakan sikap kehati-hatian dalam membuat pernyataan terkait status kawasan CAT Watuputih, mengingat status CAT Watuputih telah ditetapkan oleh Presiden sebagai salah satu CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) dengan luas 31 Km2 berdasarkan KEPUTUSAN PRESIDEN NO.26 TAHUN 2011. 
  1. Penjelasan mengenai batas-batas dan kondisi CAT WATUPUTIH telah disampaikan oleh Kepala Badan Geologi yang pada waktu dijabat oleh Yth. Bapak Surono melalui surat bernomor 1855/40/BGL/2014 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM dan ditembuskan ke JMPPK. Dalam surat tersebut dijelaskan CAT Watuputih merupakan bentang alam yang tersusun oleh batugamping pejal dan batugamping dolomitan Formasi Paciran yang memiliki karakteristik AKUIFER dengan aliran melalui celahan, rekahan dan saluran. CAT WATUPUTIH MEMILIKI KLASIFIKASI DAN BATASAN YANG SAMA DENGAN AKUIFER KARST.
  1. Hasil uji lacak jaringan hidrologi yang dilakukan oleh Tim Penyusun AMDAL PT. Semen Indonesia di Watuputih, MENUNJUKKAN ADANYA KAITAN ANTARA WILAYAH IUP BATUGAMPING DENGAN MATA AIR SUMBER BRUBULAN yang berjarak 4 kilometer di sebelah tenggara (BAB V halaman 74-75 dokumen AMDAL PTSI). Dalam dokumen tersebut dituliskan bahwa larutan perunut yang dituangkan ke dalam titik bor 3 terdeteksi di Sumber Brubulan (100 liter/detik) setelah 3.5 hari (82 jam), dituliskan permeabilitas mencapai 1 kilometer/hari hanya memungkinkan terjadi pada akuifer konduit (saluran). Titik Bor 3 juga terhubung deng titik bor 5 yang diperkirakan merupakan satu sistem dengan Sumber Brubulan. Titik bor 3 dan 5 berada di wilayah IUP Batugamping PT Semen Indonesia. Saluran air bawah tanah dengan panjang sedikitnya 4 kilometer dan debit 100 liter/detik telah secara jelas ditunjukkan keberadaannya di CAT WATUPUTIH. Hasil uji perunut ini dengan sendirinya telah menjawab poin 2 dan poin 3 dalam surat yang disampaikan oleh Menteri ESDM.
  1. Hasil pendataan tim JMPPK dan Semarang Caver Assosiation (SCA) menemukan sedikitnya 154 titik mata air, 28 titik mulut goa dan 15 titik ponor (lubang resapan alami) di Watuputih. Sedikitnya terdapat 2 titik mulut goa dan 18 titik ponor yang berada di dalam IUP batugamping PT. Semen Indonesia. Temuan-temuan tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut terutama terkait jaringan goa-goa dan hubungannya terkait tata hidrologi di Kawasan Watuputih. Dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional Pasal 60 menuliskan Bentang Alam Goa (poin 2c) dan Bentang Alam Karst (poin 2f) merupakan unsur-unsur yang berdiri sendiri sebagai KAWASAN LINDUNG GEOLOGI dari sisi keunikan bentang alam. Belum ditetapkannya Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) seharusnya tidak menggugurkan status CAT Watuputih sebagai kawasan yang harus dilindungi, mengingat banyaknya bentang alam goa dan mata air yang ditemukan di kawasan WATUPUTIH, terlebih dengan mempertimbangkan fungsinya sebagai KAWASAN RESAPAN AIR (Pasal 52 Poin 1c) dan KAWASAN PERLINDUNGAN AIR TANAH (Pasal 53 Poin a dan Poin b).
  1. Hasil Penelitian LIPI dan Tim KLHK (Kompas, Rabu 22 Oktober 2014) menyatakan bahwa Watuputih merupakan ekosistem karst yang memiliki fungsi lingkungan tinggi sehingga harus hati-hati dalam pemanfaatannya. Tim LIPI dan KLHK juga telah menemukan dampak penambangan yang telah berlangsung saat ini yang dilakukan oleh perusahaan lokal (PT SAF) di lokasi Watuputih yaitu hilang/berkurangnya fungsi daerah imbuhan aliran air tanah dan sedimentasi pada sumber-sumber mataair. Tim LIPI juga menyatakan secara biologi KAWASAN WATUPUTIH MEMILIKI INDIKASI FUNGSI LINDUNG EKOSISTEM KARST. Temuan tim LIPI antara lain di Goa Jagung dan Goa Joglo sedikitnya terdapat tiga jenis kelelawar pemakan serangga : Minioterus autralis (240 individu), Rhinolopus pusillus (400 individu) dan Hipposideros larvatus (90 invididu) di Goa Joglo dan Goa Jagung. Sementara di Goa Temu dijumpai ribuan individu kelelawar Miniopterus sp. Kelelawar pemakan serangga memiliki fungsi pengendali hama pertanian, Kelelawar penghuni Goa Joglo dan Goa Jagung dalam satu malam diperkirakan mampu memakan 2,2 kilogram serangga yg berpotensi menjadi hama pertanian.
  1. Penelitian yang diprioritas oleh Kementerian ESDM pada tanggal 15-24 Februari dan tanggal 8-9 Maret 2017 (total selama 12 hari) menurut kami belum cukup meyakinkan untuk menyimpulkan status kawasan Watuputih sebagai kawasan karst atau bukan. Hal ini sebenarnya telah dijelaskan sendiri dalam surat tersebut (Poin 2) bahwa minimal pengamatan harus dilakukan minimal selama setahun. Berdasarkan data-data primer yang kami miliki, kami menghimbau dan mengajak tim Kementerian ESDM untuk kembali melakukan identifikasi lapangan bersama-sama masyarakat dan pendamping ahli untuk membuktikan bahwa temuan-temuan di kawasan WATUPUTIH dengan jelas telah memenuhi krtiteria kawasan karst sebagaimana dalam PERMEN ESDM 17/2012.
  1. Kami juga menghimbau agar Kementerian ESDM dalam hal ini Bapak Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM meminta seluruh pihak terbuka terkait data hasil riset dan penelitian yang telah dilakukan di WATUPUTIH, terutama penelitian keterkaitan IUP batugamping PT Semen Indonesia dengan mataair Sumber Brubulan yang telah dilakukan oleh penyusun AMDAL. Kami meminta Kementerian ESDM bisa melakukan uji ulang watertracing dengan disaksikan masyarakat dan ahli pendamping untuk membuktikan keberadaan aliran bawah tanah di WATUPUTIH.

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas kami dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menghimbau kepada pemerintah untuk MENGEMBALIKAN HAK  WATUPUTIH SEBAGAI KAWASAN LINDUNG dan berhenti melakukan manuver-manuver yang semakin menunjukkan pemerintah tidak independen dalam menentukan sikap terkait polemik pendirian pabrik semen di Kawasan Pegunungan Kendeng.

Narahubung: 

Gunretno [081391285242]

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

“Kembalikan Hak Watuputih Sebagai Kawasan Lindung”


Share


Oleh JATAM

03 April 2017



Menanggapi surat Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tentang “Dukungan Pemetaan Sistem Aliran Sungai Bawah Tanah Cekungan Air Tanah (CAT Watuputih, Rembang, Jawa Tengah” dengan nomor 2537/42/MEM.S/ 2017 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup tertanggal 24 Maret 2017, kami Jaringan Masyarakat Peduli Pegunugan Kendeng (JMPPK) merasa perlu untuk menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Kementerian ESDM dalam hal ini diwakili oleh Yth. Bapak Ignasius Jonan sebagai Menteri seharusnya mengutamakan sikap kehati-hatian dalam membuat pernyataan terkait status kawasan CAT Watuputih, mengingat status CAT Watuputih adalah KAWASAN LINDUNG GEOLOGI berdasarkan fungsinya sebagai resapan air tanah sesuai dengan PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NO.14 TAHUN 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031 Pasal 19/a.
  1. Kementerian ESDM dalam hal ini diwakili oleh Yth. Bapak Ignasius Jonan sebagai Menteri seharusnya mengutamakan sikap kehati-hatian dalam membuat pernyataan terkait status kawasan CAT Watuputih, mengingat status CAT Watuputih telah ditetapkan oleh Presiden sebagai salah satu CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) dengan luas 31 Km2 berdasarkan KEPUTUSAN PRESIDEN NO.26 TAHUN 2011. 
  1. Penjelasan mengenai batas-batas dan kondisi CAT WATUPUTIH telah disampaikan oleh Kepala Badan Geologi yang pada waktu dijabat oleh Yth. Bapak Surono melalui surat bernomor 1855/40/BGL/2014 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM dan ditembuskan ke JMPPK. Dalam surat tersebut dijelaskan CAT Watuputih merupakan bentang alam yang tersusun oleh batugamping pejal dan batugamping dolomitan Formasi Paciran yang memiliki karakteristik AKUIFER dengan aliran melalui celahan, rekahan dan saluran. CAT WATUPUTIH MEMILIKI KLASIFIKASI DAN BATASAN YANG SAMA DENGAN AKUIFER KARST.
  1. Hasil uji lacak jaringan hidrologi yang dilakukan oleh Tim Penyusun AMDAL PT. Semen Indonesia di Watuputih, MENUNJUKKAN ADANYA KAITAN ANTARA WILAYAH IUP BATUGAMPING DENGAN MATA AIR SUMBER BRUBULAN yang berjarak 4 kilometer di sebelah tenggara (BAB V halaman 74-75 dokumen AMDAL PTSI). Dalam dokumen tersebut dituliskan bahwa larutan perunut yang dituangkan ke dalam titik bor 3 terdeteksi di Sumber Brubulan (100 liter/detik) setelah 3.5 hari (82 jam), dituliskan permeabilitas mencapai 1 kilometer/hari hanya memungkinkan terjadi pada akuifer konduit (saluran). Titik Bor 3 juga terhubung deng titik bor 5 yang diperkirakan merupakan satu sistem dengan Sumber Brubulan. Titik bor 3 dan 5 berada di wilayah IUP Batugamping PT Semen Indonesia. Saluran air bawah tanah dengan panjang sedikitnya 4 kilometer dan debit 100 liter/detik telah secara jelas ditunjukkan keberadaannya di CAT WATUPUTIH. Hasil uji perunut ini dengan sendirinya telah menjawab poin 2 dan poin 3 dalam surat yang disampaikan oleh Menteri ESDM.
  1. Hasil pendataan tim JMPPK dan Semarang Caver Assosiation (SCA) menemukan sedikitnya 154 titik mata air, 28 titik mulut goa dan 15 titik ponor (lubang resapan alami) di Watuputih. Sedikitnya terdapat 2 titik mulut goa dan 18 titik ponor yang berada di dalam IUP batugamping PT. Semen Indonesia. Temuan-temuan tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut terutama terkait jaringan goa-goa dan hubungannya terkait tata hidrologi di Kawasan Watuputih. Dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional Pasal 60 menuliskan Bentang Alam Goa (poin 2c) dan Bentang Alam Karst (poin 2f) merupakan unsur-unsur yang berdiri sendiri sebagai KAWASAN LINDUNG GEOLOGI dari sisi keunikan bentang alam. Belum ditetapkannya Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) seharusnya tidak menggugurkan status CAT Watuputih sebagai kawasan yang harus dilindungi, mengingat banyaknya bentang alam goa dan mata air yang ditemukan di kawasan WATUPUTIH, terlebih dengan mempertimbangkan fungsinya sebagai KAWASAN RESAPAN AIR (Pasal 52 Poin 1c) dan KAWASAN PERLINDUNGAN AIR TANAH (Pasal 53 Poin a dan Poin b).
  1. Hasil Penelitian LIPI dan Tim KLHK (Kompas, Rabu 22 Oktober 2014) menyatakan bahwa Watuputih merupakan ekosistem karst yang memiliki fungsi lingkungan tinggi sehingga harus hati-hati dalam pemanfaatannya. Tim LIPI dan KLHK juga telah menemukan dampak penambangan yang telah berlangsung saat ini yang dilakukan oleh perusahaan lokal (PT SAF) di lokasi Watuputih yaitu hilang/berkurangnya fungsi daerah imbuhan aliran air tanah dan sedimentasi pada sumber-sumber mataair. Tim LIPI juga menyatakan secara biologi KAWASAN WATUPUTIH MEMILIKI INDIKASI FUNGSI LINDUNG EKOSISTEM KARST. Temuan tim LIPI antara lain di Goa Jagung dan Goa Joglo sedikitnya terdapat tiga jenis kelelawar pemakan serangga : Minioterus autralis (240 individu), Rhinolopus pusillus (400 individu) dan Hipposideros larvatus (90 invididu) di Goa Joglo dan Goa Jagung. Sementara di Goa Temu dijumpai ribuan individu kelelawar Miniopterus sp. Kelelawar pemakan serangga memiliki fungsi pengendali hama pertanian, Kelelawar penghuni Goa Joglo dan Goa Jagung dalam satu malam diperkirakan mampu memakan 2,2 kilogram serangga yg berpotensi menjadi hama pertanian.
  1. Penelitian yang diprioritas oleh Kementerian ESDM pada tanggal 15-24 Februari dan tanggal 8-9 Maret 2017 (total selama 12 hari) menurut kami belum cukup meyakinkan untuk menyimpulkan status kawasan Watuputih sebagai kawasan karst atau bukan. Hal ini sebenarnya telah dijelaskan sendiri dalam surat tersebut (Poin 2) bahwa minimal pengamatan harus dilakukan minimal selama setahun. Berdasarkan data-data primer yang kami miliki, kami menghimbau dan mengajak tim Kementerian ESDM untuk kembali melakukan identifikasi lapangan bersama-sama masyarakat dan pendamping ahli untuk membuktikan bahwa temuan-temuan di kawasan WATUPUTIH dengan jelas telah memenuhi krtiteria kawasan karst sebagaimana dalam PERMEN ESDM 17/2012.
  1. Kami juga menghimbau agar Kementerian ESDM dalam hal ini Bapak Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM meminta seluruh pihak terbuka terkait data hasil riset dan penelitian yang telah dilakukan di WATUPUTIH, terutama penelitian keterkaitan IUP batugamping PT Semen Indonesia dengan mataair Sumber Brubulan yang telah dilakukan oleh penyusun AMDAL. Kami meminta Kementerian ESDM bisa melakukan uji ulang watertracing dengan disaksikan masyarakat dan ahli pendamping untuk membuktikan keberadaan aliran bawah tanah di WATUPUTIH.

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas kami dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menghimbau kepada pemerintah untuk MENGEMBALIKAN HAK  WATUPUTIH SEBAGAI KAWASAN LINDUNG dan berhenti melakukan manuver-manuver yang semakin menunjukkan pemerintah tidak independen dalam menentukan sikap terkait polemik pendirian pabrik semen di Kawasan Pegunungan Kendeng.

Narahubung: 

Gunretno [081391285242]

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang