Kekerasan dan Penangkapan Sewenang-wenang Kembali Terjadi Terhadap Nelayan di Sulsel


Siaran Pers

Kekerasan dan Penangkapan Sewenang-wenang Kembali Terjadi Terhadap Nelayan di Sulsel


Oleh JATAM

12 September 2020





Setelah peristiwa kekerasan, penangkapan dan perusakan perahu pada 23 Agustus 2020, terhadap tiga orang Nelayan Pulau Kodingareng, Kota Makassar. Hari ini, Sabtu 12 September 2020, peristiwa serupa kembali terjadi.

Kronologi Peristiwa

Sabtu, 12 September sekitar pukul 06.00 Wita kapal milik PT. Boskalis kembali melakukan penambangan pasir di daerah copong (wilayah tangkap nelayan), kegiatan ini menimbulkan reaksi dari masyarakat/nelayan Pulau Kodingareng.

Tepat Pukul 07.30 WITA ratusan nelayan yang didominasi oleh ibu-ibu bersama mahasiswa/aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa bergerak menuju lokasi tambang untuk melakukan aksi protes dengan menggunakan 3 jolloro (perahu tradisional berukuran besar) dan 45 lepa-lepa (perahu tradisional berukuran kecil).

Pukul 08.33 Wita massa aksi tiba di lokasi tambang langsung menggelar aksi demonstrasi berupa orasi ilmiah dan pembentangan spanduk yang berisi penolakan kegiatan tambang. Puluhan perahu nelayan kemudian mengelilingi kapal tambang dengan maksud menghentikan/mengusir kapal. Alhasil, pada pukul 08.50, kapal milik Boskalis meninggalkan lokasi tambang. Disusul puluhan perahu nelayan kembali ke Pulau Kodingareng.

Sekitar pukul 09.40 Wita, saat nelayan dalam perjalanan pulang, tiba-tiba perahu nelayan dihadang oleh dua speedboat milik Polairud Polda Sulsel. Perahu nelayan kemudian dipepet/ditabrak dan alat kendali perahu (stir) dirusak. Perahu terus didorong hingga penumpang/nelayan yang ada di atas hampir terjatuh ke laut. Kemudian Polairud menarik paksa dan menangkap nelayan, mahasiswa aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang berada di atas perahu tersebut.

Tercatat dalam peristiwa tersebut sebanyak 11 (sebelas) orang ditangkap. Diantaranya, 7 (tujuh) nelayan, yaitu: Nawir, Asrul, Andi Saputra, Irwan, Mustakim, Nasar dan Rijal. 1 (satu) nelayan mengalami kekerasan hingga berdarah di bagian wajah. Selain itu, 1 (satu) mahasiswa aktivis lingkungan bernama Rahmat yang sedang merekam kejadian ikut ditangkap dan mengalami kekerasan; dipukul di bagian wajah dan badan, ditendang dan lehernya diinjak. Lalu handphone milik Rahmat yang dipake merekam jatuh ke laut saat hendak disita oleh Polairud.     

Sementara itu, 3 (tiga) orang mahasiswa yang ditangkap merupakan jurnalis pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan aksi, yaitu: Hendra dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM-UH), Mansur dan Raihan dari Unit Kegiatan Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UPPM UMI). Sebelum ditarik paksa, mahasiswa tersebut memperlihatkan kartu pers. Polisi tak menghiraukan dan tetap menangkap mahasiswa tersebut.

Selanjutnya, pukul 14.10 Wita, ratusan masyarakat/nelayan hendak menuju kantor Dit. Polairud Polda Sulsel untuk melakukan aksi protes terhadap tindakan penangkapan. Namun anak buah kapal (ABK) yang akan ditumpangi tidak bersedia mengangkut para nelayan, karena menadapat ancaman dari pihak Polairud. Jika nekat mengangkut akan ditangkap.

Analisis Hukum

Secara tegas, penggunaan kekuatan dengan menggunakan senjata api maupun alat lainnya merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (vide; Ps. 8 ayat 2 Perkap No. 1/2009).

Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindak Kepolisian, aparat polisi hanya boleh menggunakan kekuatan dengan kendali tangan kosong keras ketika pelaku bertindak aktif, dalam artian tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk melepaskan diri atau melarikan diri. Dan menggunakan kendali senjata tumpul ketika pelaku bertindak agresif, dalam artian bertindak menyerang aparat polisi, masyarakat, harta benda atau kehormatan kesusilaan.

Sedangkan faktanya, peristiwa penangkapan terjadi setelah aksi demonstrasi dan kapal milik Boskalis sudah pulang. Dalam artian sudah tidak ada aksi dan saat itu para nelayan dalam perjalanan pulang ke Pulau Kodingareng.  Sehingga tidak ada tindakan-tindakan bersifat aktif apalagi agresif.

Dengan demikian, tindakan kekerasan dan penangkapan Polairud Polda Sulsel sangat berlebihan dalam artian belum diperlukan dan masih dapat dihindari. Masih terdapat pilihan tindakan lain untuk melakukan penegakan hukum demi menghindari tindakan yang dapat merugikan korban.

Berdasarkan uraian di atas, tindakan Aparat Polairud Polda Sulsel tersebut diduga melanggar prinsip-prinsip penggunaan kekuatan berdasarkan Pasal 3 Perkap. No. 1 tahun 2009: 

a). prinsip nesesitas dimana penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;

b). prinsip proporsionalitas, dimana penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan; dan

c). masuk akal (reasonable), dimana tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Di lain sisi, hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Serangkain aksi protes nelayan Kodingareng mesti dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, oleh karena kegiatan tambang pasir telah nyata merusak ekosistem laut.

Peristiwa ini berawal dari peristiwa enam bulan terakhir, tepatnya tanggal 13 Februari 2020 PT. Boskalis melakukan kegiatan tambang pasir laut. Fakta mana, nelayan Pulau Kodingareng sebagai terdampak langsung dari kegiatan tambang, tidak pernah dilibatkan pada tahap perencanaan, baik dalam bentuk sosialisasi maupun konsultasi publik.

Pasir laut tersebut digunakan untuk material urugan reklamasi Makassar New Port (MNP) sebagai proyek strategis nasional. Lokasi tambang pasir, tepat berada di wilayah tangkap ikan nelayan yang dikenal dengan nama copong. Akibatnya, nelayan kehilangan hasil tangkapan karena.

Di sisi lain, secara nyata terjadi kerusakan ekosistem laut-terumbu karang, kekeruhan air laut dan gelombang tinggi. Dampak dari semua itu adalah hilangnya mata pencaharian nelayan yang menyebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup dasar-belanja rumah tangga dan biaya sekolah anak

Berdasarkan hal-hal di atas, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan mendesak:

  1. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk segera membebaskan 11 orang nelayan, aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang ditangkap;
  2. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk tidak melakukan pemeriksaan terhadap 11 orang ditangkap tanpa pendampingan dari penasehat hukum;
  3. Komnas HAM RI dan Kompolnas RI untuk segera melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polairud Polda Sulsel yang bertugas;
  4. Polda Sulsel Cq. Dit. Polairud Polda Sulsel untuk menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan Kodingareng yang tengah mempertahankan hak atas hidup dan kehidupannya;
  5. Mendesak Gubernur Sulsel untuk menghentikan kapal milik Boskalis dan mencabut izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan;
  6. Hentikan reklamasi Makassar New Port karena telah menghilangkan ruang hidup nelayan pesisir Makassar;
  7. Mendesak Kementerian Kelautan Perikanan RI untuk mencabut PERDA SULSEL No. 2 tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 
  8. Mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Sulsel melindungi hak-hak tradisional nelayan wilayah perairan spermonde sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 2016.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami haturkan terima kasih.

Makassar, 12 September 2020

 

KOALISI MASYARAKAT SIPIL SULSEL

[YLBHI-LBH Makassar, Walhi Sulsel, JATAM, Greenpeace, KIARA, AJI Makassar, KontraS Sulawesi, KPA Sulsel, IGJ, ICEL, FIK-ORNOP, SP-AM, Sawit Watch, KRUHA, FMN, FORMAT, Hima Sejarah UNM, Fosis UMI, UPPM UMI, UKPM UNHAS, FPPI, FNKSDA Makassar, BEM FIS UNM, Lapar Sulsel, LAW Unhas, PPMI Makassar, BEM FIKP UNHAS, IM3I, Pembebasan, ELF Unhas, KisSa UIN, KNTI, Alinasi Mahasiswa UMI, Aliansi Mahasiswa Makassar, Federasi Mahasiswa UNHAS, Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia dan Aliansi Bara-Baraya Bersatu]

 

Nara hubung:

0853 9512 2233 – Edy Kurniawan (LBH Makassar)

0822 9393 9591 – Muhammad Al-Amin (WALHI Sulsel)

0821 9174 8798 – Afif (KIARA)

0813 1978 9181 – Melky Nahar (JATAM)

0813 4210 0642 – Kiki (KPA Sulsel)

0813 5581 3549 – Afif (UPPM UMI)

0852 4041 2019 – Ahmad (ASP)







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Kekerasan dan Penangkapan Sewenang-wenang Kembali Terjadi Terhadap Nelayan di Sulsel


Share


Oleh JATAM

12 September 2020



Setelah peristiwa kekerasan, penangkapan dan perusakan perahu pada 23 Agustus 2020, terhadap tiga orang Nelayan Pulau Kodingareng, Kota Makassar. Hari ini, Sabtu 12 September 2020, peristiwa serupa kembali terjadi.

Kronologi Peristiwa

Sabtu, 12 September sekitar pukul 06.00 Wita kapal milik PT. Boskalis kembali melakukan penambangan pasir di daerah copong (wilayah tangkap nelayan), kegiatan ini menimbulkan reaksi dari masyarakat/nelayan Pulau Kodingareng.

Tepat Pukul 07.30 WITA ratusan nelayan yang didominasi oleh ibu-ibu bersama mahasiswa/aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa bergerak menuju lokasi tambang untuk melakukan aksi protes dengan menggunakan 3 jolloro (perahu tradisional berukuran besar) dan 45 lepa-lepa (perahu tradisional berukuran kecil).

Pukul 08.33 Wita massa aksi tiba di lokasi tambang langsung menggelar aksi demonstrasi berupa orasi ilmiah dan pembentangan spanduk yang berisi penolakan kegiatan tambang. Puluhan perahu nelayan kemudian mengelilingi kapal tambang dengan maksud menghentikan/mengusir kapal. Alhasil, pada pukul 08.50, kapal milik Boskalis meninggalkan lokasi tambang. Disusul puluhan perahu nelayan kembali ke Pulau Kodingareng.

Sekitar pukul 09.40 Wita, saat nelayan dalam perjalanan pulang, tiba-tiba perahu nelayan dihadang oleh dua speedboat milik Polairud Polda Sulsel. Perahu nelayan kemudian dipepet/ditabrak dan alat kendali perahu (stir) dirusak. Perahu terus didorong hingga penumpang/nelayan yang ada di atas hampir terjatuh ke laut. Kemudian Polairud menarik paksa dan menangkap nelayan, mahasiswa aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang berada di atas perahu tersebut.

Tercatat dalam peristiwa tersebut sebanyak 11 (sebelas) orang ditangkap. Diantaranya, 7 (tujuh) nelayan, yaitu: Nawir, Asrul, Andi Saputra, Irwan, Mustakim, Nasar dan Rijal. 1 (satu) nelayan mengalami kekerasan hingga berdarah di bagian wajah. Selain itu, 1 (satu) mahasiswa aktivis lingkungan bernama Rahmat yang sedang merekam kejadian ikut ditangkap dan mengalami kekerasan; dipukul di bagian wajah dan badan, ditendang dan lehernya diinjak. Lalu handphone milik Rahmat yang dipake merekam jatuh ke laut saat hendak disita oleh Polairud.     

Sementara itu, 3 (tiga) orang mahasiswa yang ditangkap merupakan jurnalis pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan aksi, yaitu: Hendra dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM-UH), Mansur dan Raihan dari Unit Kegiatan Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UPPM UMI). Sebelum ditarik paksa, mahasiswa tersebut memperlihatkan kartu pers. Polisi tak menghiraukan dan tetap menangkap mahasiswa tersebut.

Selanjutnya, pukul 14.10 Wita, ratusan masyarakat/nelayan hendak menuju kantor Dit. Polairud Polda Sulsel untuk melakukan aksi protes terhadap tindakan penangkapan. Namun anak buah kapal (ABK) yang akan ditumpangi tidak bersedia mengangkut para nelayan, karena menadapat ancaman dari pihak Polairud. Jika nekat mengangkut akan ditangkap.

Analisis Hukum

Secara tegas, penggunaan kekuatan dengan menggunakan senjata api maupun alat lainnya merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (vide; Ps. 8 ayat 2 Perkap No. 1/2009).

Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindak Kepolisian, aparat polisi hanya boleh menggunakan kekuatan dengan kendali tangan kosong keras ketika pelaku bertindak aktif, dalam artian tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk melepaskan diri atau melarikan diri. Dan menggunakan kendali senjata tumpul ketika pelaku bertindak agresif, dalam artian bertindak menyerang aparat polisi, masyarakat, harta benda atau kehormatan kesusilaan.

Sedangkan faktanya, peristiwa penangkapan terjadi setelah aksi demonstrasi dan kapal milik Boskalis sudah pulang. Dalam artian sudah tidak ada aksi dan saat itu para nelayan dalam perjalanan pulang ke Pulau Kodingareng.  Sehingga tidak ada tindakan-tindakan bersifat aktif apalagi agresif.

Dengan demikian, tindakan kekerasan dan penangkapan Polairud Polda Sulsel sangat berlebihan dalam artian belum diperlukan dan masih dapat dihindari. Masih terdapat pilihan tindakan lain untuk melakukan penegakan hukum demi menghindari tindakan yang dapat merugikan korban.

Berdasarkan uraian di atas, tindakan Aparat Polairud Polda Sulsel tersebut diduga melanggar prinsip-prinsip penggunaan kekuatan berdasarkan Pasal 3 Perkap. No. 1 tahun 2009: 

a). prinsip nesesitas dimana penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;

b). prinsip proporsionalitas, dimana penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan; dan

c). masuk akal (reasonable), dimana tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Di lain sisi, hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Serangkain aksi protes nelayan Kodingareng mesti dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, oleh karena kegiatan tambang pasir telah nyata merusak ekosistem laut.

Peristiwa ini berawal dari peristiwa enam bulan terakhir, tepatnya tanggal 13 Februari 2020 PT. Boskalis melakukan kegiatan tambang pasir laut. Fakta mana, nelayan Pulau Kodingareng sebagai terdampak langsung dari kegiatan tambang, tidak pernah dilibatkan pada tahap perencanaan, baik dalam bentuk sosialisasi maupun konsultasi publik.

Pasir laut tersebut digunakan untuk material urugan reklamasi Makassar New Port (MNP) sebagai proyek strategis nasional. Lokasi tambang pasir, tepat berada di wilayah tangkap ikan nelayan yang dikenal dengan nama copong. Akibatnya, nelayan kehilangan hasil tangkapan karena.

Di sisi lain, secara nyata terjadi kerusakan ekosistem laut-terumbu karang, kekeruhan air laut dan gelombang tinggi. Dampak dari semua itu adalah hilangnya mata pencaharian nelayan yang menyebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup dasar-belanja rumah tangga dan biaya sekolah anak

Berdasarkan hal-hal di atas, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan mendesak:

  1. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk segera membebaskan 11 orang nelayan, aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang ditangkap;
  2. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk tidak melakukan pemeriksaan terhadap 11 orang ditangkap tanpa pendampingan dari penasehat hukum;
  3. Komnas HAM RI dan Kompolnas RI untuk segera melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polairud Polda Sulsel yang bertugas;
  4. Polda Sulsel Cq. Dit. Polairud Polda Sulsel untuk menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan Kodingareng yang tengah mempertahankan hak atas hidup dan kehidupannya;
  5. Mendesak Gubernur Sulsel untuk menghentikan kapal milik Boskalis dan mencabut izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan;
  6. Hentikan reklamasi Makassar New Port karena telah menghilangkan ruang hidup nelayan pesisir Makassar;
  7. Mendesak Kementerian Kelautan Perikanan RI untuk mencabut PERDA SULSEL No. 2 tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 
  8. Mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Sulsel melindungi hak-hak tradisional nelayan wilayah perairan spermonde sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 2016.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami haturkan terima kasih.

Makassar, 12 September 2020

 

KOALISI MASYARAKAT SIPIL SULSEL

[YLBHI-LBH Makassar, Walhi Sulsel, JATAM, Greenpeace, KIARA, AJI Makassar, KontraS Sulawesi, KPA Sulsel, IGJ, ICEL, FIK-ORNOP, SP-AM, Sawit Watch, KRUHA, FMN, FORMAT, Hima Sejarah UNM, Fosis UMI, UPPM UMI, UKPM UNHAS, FPPI, FNKSDA Makassar, BEM FIS UNM, Lapar Sulsel, LAW Unhas, PPMI Makassar, BEM FIKP UNHAS, IM3I, Pembebasan, ELF Unhas, KisSa UIN, KNTI, Alinasi Mahasiswa UMI, Aliansi Mahasiswa Makassar, Federasi Mahasiswa UNHAS, Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia dan Aliansi Bara-Baraya Bersatu]

 

Nara hubung:

0853 9512 2233 – Edy Kurniawan (LBH Makassar)

0822 9393 9591 – Muhammad Al-Amin (WALHI Sulsel)

0821 9174 8798 – Afif (KIARA)

0813 1978 9181 – Melky Nahar (JATAM)

0813 4210 0642 – Kiki (KPA Sulsel)

0813 5581 3549 – Afif (UPPM UMI)

0852 4041 2019 – Ahmad (ASP)



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang