Jokowi Dorong Pemuda Jadi Petani Tapi Kebijakannya Bikin Trauma Petani
Blog
Jokowi Dorong Pemuda Jadi Petani Tapi Kebijakannya Bikin Trauma Petani
Oleh Imam Shofwan
26 September 2022
Jokowi Dorong Pemuda Jadi Petani Tapi Kebijakannya Bikin Trauma Petani
Pertanian adalah sektor yang paling tahan terhadap gempuran kelesuan ekonomi akibat Covid-19 serta perang Ukraina dan Rusia. Saat sebagian besar sektor lain, mengalami kelesuan dan terkontraksi, pada 2020, sektor pertanian tumbuh tipis 1.75 persen.
Sayangnya, pertanian tidak menjadi prioritas utama pemerintah Jokowi dan bukan menjadi sektor impian kerja generasi muda. Mayoritas yang menekuni pertanian adalah generasi berusia 45 tahun ke atas. Generasi di bawah itu makin sedikit yang menekuni pertanian. “71 persen dari total petani saat ini berusia di atas 45 tahun. Sedangkan yang di bawah 45 tahun hanya 29 persen saja.” Tutur Presiden Joko Widodo dikutip CNN Agustus tahun lalu.
Jumlah petani kian merosot dari tahun ke tahun seiring dengan berkurangnya masa produktif generasi tua. Ini gejala buruk, apalagi dunia di ambang krisis pangan.
Jokowi mengingini generasi muda untuk lebih meminati pertanian dan menguasai hulu dan hilir pertanian. Dari area produksi hingga produk olahan pasca panen, pengepakan, distribusi, dan pemasaran.
Dari kata-katanya Jokowi tampak hendak mendorong sektor pertanian. Cita-cita Jokowi muluk. Ia ingin Indonesia mencapai kemandirian pangan.
Namun kebijakan-kebijakan Jokowi, selama berkuasa, bertolak belakang dengan keinginan tersebut. Bagaimana bisa mewujudkan kemandirian pangan ketika tanah petani justru kerap kali dirampas negara dan, diberikan korporasi? Sialnya proses ini dilindungi aparat keamanan atasnama “proyek strategis nasional.”
Proyek-proyek strategis nasional itu, antara lain, selama delapan tahun berkuasa, Jokowi telah memberikan lahan lebih dari 11 juta hektar pada korporasi besar. Sektor non-pertanian. Hampir separuhnya, diberikan pada sektor pertambangan. Ini adalah rekor tertinggi dari lima presiden pendahulunya.
Kemandirian pangan itu hanya omong kosong, ketika korporasi masih mendominasi penguasaan atas tanah di Indonesia.
Distribusi masif tanah pada korporasi yang dilakukan Jokowi ini adalah teror terhadap sektor pertanian dan para pelakunya. Akibatnya, banyak konflik agraria dan penangkapan petani serta warga.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama enam tahun pemerintahan Jokowi (2015-2020), ada 2291 letusan konflik agraria di seluruh provinsi. Konflik tersebut didominasi sektor perkebunan yang diakibatkan oleh Hak Guna Usaha. Konflik agraria tahun 2020 meningkat 28 persen dari tahun sebelumnya.
Di lapangan, kepentingan tambang yang mengeduk tanah untuk mengeluarkan isi perut bumi sering menghancurkan lahan pertanian, perkebunan, sungai, bahkan laut tempat tumpuan hidup petani dan nelayan. Konflik mempertahankan ruang hidup sering meletus di lokasi-lokasi tambang ini.
Ketika Jokowi menggeber industri nikel di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku utara, ribuan lahan pertanian tak bisa ditanami. Di Morowali, tempat proyek strategis nasional IMIP, ratusan hektar lahan dan sungai tergenang air kuning bekas kupasan tanah yang diambil nikelnya. “Padi yang baru ditanam langsung mati kena air kuning,” tutur petani transmigran Jawa yang menetap di Morowali sejak 1991.
Di Morowali Utara, lokasi proyek strategis nasional lainnya, tambang nikel sengaja membendung lahan pertanian warga beserta kampung demi membuat tandon air untuk mendinginkan smelter nikel di sana. Para petani di sana berada di posisi sangat sulit. Lahannya tak bisa lagi berproduksi dan dijual pun jeblok harganya karena sudah menjadi danau.
Para petani tak dikasih solusi atas lahannya yang terendam dan dipaksa mencari penghidupan lain. Protes pun percuma. Pernah mereka protes untuk buka bendungan, saat protes bendungan dibuka. Namun saat mereka pulang, dibendung lagi.
Ketika berhadap-hadapan antara petani yang mempertahankan lahan garapannya dari gempuran perusahaan besar yang ingin merusak lahan pertanian dengan menambang. Bisa dipastikan Jokowi dan aparat negaranya memihak ke perusahaan besar.
Sebut saja, konflik petani Kendeng dengan Perusahaan Tambang Semen, konflik petani Wadas dan penambang batu Andesit, konflik petani Porong dan Jabon dengan penambang gas, konflik petani Dairi dengan penambang seng, hingga konflik petani di Sangihe dan Wawonii dengan penambang emas dan nikel. Ratusan petani ditangkapi dan diintimidasi dari konflik-konflik tersebut dan seperti anda tahu, tak satu pun orang perusahaan tambang yang ditangkap.
Sebulan pasca Jokowi mengungkapkan keinginannya mendorong pemuda untuk bertani. Saat kunjungan ke Blitar 2021, seorang petani ditangkap hanya karena membentangkan poster bertuliskan, “PAK JOKOWI, BANTU PETERNAK, BELI JAGUNG DENGAN HARGA… WAJAR!!!”
Saat kunjungan Jokowi ke kilang minyak Tuban, 21 Desember 2019, tiga petani bernama Wawan, Mashuri, dan M. Basori, ditangkap dan dibui oleh Kepolisian Resor Tuban. Ketiganya ditangkap saat hendak membentangkan spanduk berisi penolakan pembangunan kilang minyak di tanah mereka.
Begitu banyaknya kasus kriminalisasi terhadap petani, hingga sekali anda mencari kata kunci “penangkapan petani di masa Jokowi,” setidaknya 1,700,000 hasil pencarian akan muncul. Jokowi boleh saja mendorong pemuda untuk bertani namun kebijakan-kebijakannya lebih banyak bikin orang makin takut bertani.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang