Jejak Kejahatan Harita Group di Balik IPO Saham


Siaran Pers

Jejak Kejahatan Harita Group di Balik IPO Saham


Oleh JATAM

24 Maret 2023





Jejak Kejahatan Harita Group di Balik IPO Saham


Rencana Harita Group melalui anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), untuk menambah modal melalui IPO saham dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun, akan semakin menambah panjang daftar derita warga di Pulau Obi, Maluku Utara dan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Dua pulau padat penghuni itu tengah diluluh-lantakkan oleh oeprasi tambang dan pabrik smelter nikel milik keluarga konglomerat Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.

Masa penawaran awal saham Trimegah Bangun Persada (NCKL) dimulai pada 15 maret 2023 dan berakhir pada hari ini. Kemudian dilanjutkan pada masa penawaran umum saham yang dijadwalkan pada 5-10 April 2023 dan pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia pada 12 April 2023. Gelontoran dana segar hingga Rp 15,1 triliun dari IPO ini akan digunakan untuk mempercepat proses produksi guna meraih keuntungan berlipat-ganda.

Upaya Harita Group mengumpulkan tambahan modal yang begitu besar ini, tentu tidak lepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel yang kedua di Pulau Obi. Saat ini, PT TBP sudah memiliki satu pabrik pengolahan nikel di Desa Kawasi, Pulau Obi, dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching, yakni PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan asal China, Lygend.

Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal. Operasional industri tambang dan smelter nikel – dimana seluruh suplai energi listriknya bersumber dari batubara, juga telah memicu pembongkaran pulau-pulau lain yang kaya akan batubara. Setiap pulau dipaksa untuk saling memangsa.

Penghancuran Daratan dan Wilayah Laut Pulau Obi

Jejak kotor Harita di Kawasi bukan hanya dari pembangunan pabrik pengolahan nikel semata, namun juga dari operasi pertambangan nikel sejak 2010 lalu. Kawasi merupakan kampung tertua di pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Luasnya mencapai sektiar 286 KM2, dihuni oleh lebih dari 1.118 jiwa penduduk. Masyarakat Kawasi hidup di daratan dan pesisir Pulau Obi sejak tahun 1980-an. Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela di Pulau Halmahera, dan sebagian lagi dari Buton. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.

Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi – yang semula warga hidup damai, bertani dan melaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga – berubah menjadi area pertambangan yang meluluh-lantakkan wilayah daratan, pesisir, dan laut. Lahan-lahan warga dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.

Ironisnya, proses pencaplokan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan.

Perusahaan selalu menggunakan siasat licik, dengan menerobos terlebih dahulu baru melakukan negosiasi. Siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan. Di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak.

Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga – yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis – kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar.

Air Cermin dan Sungai Loji yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, misalnya, kini telah lenyap pasca perusahaan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir. Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, kawasan hulunya tengah dibongkar oleh perusahaan tambang. Bukit-bukit yang menjadi daerah aliran dan badan sungai telah dikupas, menyebabkan sungai ini dalam kondisi tercemar dan rusak.

Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan.

Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan Muhammad Aris dalam jurnal “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia” (2020), polusi logam berat diperairan pulau Obi terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan. Logam yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar.

Setelah ruang hidup warga dicaplok dan dicemari, pihak perusahaan kini berencana memindah-paksakan warga di Kawasi ke Ecovillage (perumahan) milik perusahaan. Lokasi Ecovillage ini berjarak sekitar lima kilometer di bagian selatan Kawasi. Perusahaan mengatakan permukiman warga saat ini terlalu dekat dengan pabrik dan masuk zona rawan gempa bumi. Sejalan dengan pihak perusahaan, pemerintah daerah juga turut berdalih bahwa pemukiman warga terlalu dekat dengan laut, dengan demikian rentan terjadi bencana bila gelompang pasang atau tsunami terjadi. Alasan-alasan lain yang dipakai untuk menjustifikasi relokasi ini adalah terkait Kawasi yang dianggap telah kumuh, sampah berserakan dimana-mana, dan lingkungan tidak sehat dan tidak beraturan, serta sering terjadi konflik.

Sejumlah alasan relokasi yang digunakan perusahaan dan pemerintah di atas, tentu saja mengada-ada dan ditolak keras warga. Selain telah hidup ratusan tahun di Kawasi, justru aktivitas perusahaan tambang yang berada di atas zona gempa itulah yang punya risiko besar bagi keselamatan warga.

Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Warga Pulau Wawonii

Sama halnya yang terjadi di wilayah penambangan nikel lainnya milik Harita Group di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang dioperasikan oleh PT Gema Kreasi Perdana. Dari seluruh perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan di pulau Wawonii, baru PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group, yang sedang beroperasi. Operasi perusahaan tambang nikel ini telah menimbulkan daya rusak bagi warga dan lingkungan. Lahan-lahan warga diterobos berulang, warga pemilik lahan yang menolak tambang alami kekerasan dan kriminalisasi hingga mendekam di penjara.

Sejak beroperasi di pulau Wawonii, PT GKP telah berulang kali menerobos lahan-lahan warga para penolak tambang. Penerobosan lahan itu terjadi sejak 9 Juli 2019, 16 Juli 2019, 22 Agustus 2019, 19 Februari 2023, dan terbaru pada 9 Maret 2023. Penerobosan yang berakibat pada kerusakan tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, cengkeh, pala, dan kakao, hingga kelapa itu, seringkali dikawal aparat keamanan bersenjata lengkap. Ironisnya, warga yang menolak tanahnya dijual, justru diperhadapkan dengan tindakan represif aparat keamanan.

Hingga saat ini tercatat setidaknya sudah 35 orang warga yang dikriminalisasi oleh PT GKP. Mereka dijerat dengan berbagai pasal, mulai tuduhan pengrusakan, perampasan kemerdekaan, menghalangi operasi tambang, hingga pasal pencemaran nama baik menggunakan UU ITE.

Operasi PT GKP juga telah mencemari sumber air warga. Sungai Tambo Siu-Siu di Desa Sukarela Jaya, yang digunakan untuk mencuci, mandi, dan air minum ini, kondisinya berubah menjadi kuning-kecoklatan akibat pembangunan jalan hauling perusahaan. Warga terpaksa mencari sumber air lain yang letaknya lebih jauh dari tempat tinggalnya dengan kualitas yang tidak lebih baik.

Selain itu, Mata Air Banda yang di gunakan oleh hampir seluruh masyarakat di Desa Dompo-Dompo, Desa Roko-Roko, Desa Bahaba, dan Desa Teporoko juga ikut tercemar akibat aktivitas perusahaan. Ratusan kepala keluarga dari empat desa kehilangan akses air bersih.

Setelah bertahun-tahun melawan pertambangan PT GKP, warga Wawonii akhirnya memenangi gugatan terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan di Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari.

Putusan yang keluar pada Kamis (2/2/2023) itu, mengabulkan semua gugatan warga Wawonii. Dalam amar putusan PTUN Kendari perkara No.  67/G/LH/2022/PTUN.KDI menyebutkan batalnya keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tenggara tentang Persetujuan Perubahan izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT GKP pada 2019. Pengadilan juga mewajibkan pemerintah terkait untuk mencabut keputusan tersebut. Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan ini adalah bahwa IUP PT GKP diterbitkan tanpa dilengkapi perubahan izin lingkungan.

Selain itu, putusan Mahkamah Agung No. 57/P/HUM/2022 tertanggal 22 Desember 2022 terkait Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan juga dimenangkan warga Pulau Wawonii. Melalui putusan Mahkamah Agung ini, Pemerintah harus menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii, mengingat pada Perda RTRW sebelumnya pun tidak ada alokasi ruang untuk pertambangan di Pulau Wawonii.

Meski warga menang gugatan, PT GKP justru membangkang, terus beroperasi, bahkan pada 9 Maret 2023 lalu kembali menerobos lahan warga di Mosolo Raya. Menurut keterangan warga, PT GKP terus beroperasi dan mengangkut ore nikel untuk dibawa ke pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Evaluasi Seluruh Operasi Harita Group, Hentikan Investasi, Lakukan Penegakan Hukum dan Pemulihan Kerusakan

Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Industri ekstraktif seperti pertambangan nikel menuntut pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.

Seluruh daya rusak ini tidak dianggap sebagai bagian dari kerugian negara, semua dibebankan kepada warga lokal. Sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi terus diberikan pemerintah kepada para pelaku industri ini.

Rentetan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan Harita Group sudah semestinya dihentikan dan diproses hukum. Salah satu yang mendesak adalah terkait keberadaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan yang telah ilegal secara hukum pasca warga menang gugatan di PTUN Kendari pada perkara No.  67/G/LH/2022/PTUN.KDI atas izin tambang PT GKP dan putusan hukum Mahkamah Agung No. 57/P/HUM/2022 membatalkan alokasi ruang tambang di Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan, dimana pemerintah diwajibkan untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii.

Hal mendesak lainnya adalah terkait brutalitas Harita Group yang selain terus memperluas wilayah operasional, juga berencana memindah-paksakan warga Kawasi, Pulau Obi ke Ecovillage, sebuah upaya paksa memiskinkan dan mencerabut warga asli dari kampung-ruang hidupnya yang penuh sejarah.

Kami memandang, langkah PT Trimegah Bangun Persada milik keluarga Lim Hariyanto Sarwono yang melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) sahamnya pada April mendatang berlangsung di tengah derita warga dan lingkungan yang dibiarkan, tanpa penegekan hukum dan pemulihan, sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi terus diberikan pemerintah kepada para pelaku industri ini.

Bagi korporasi, gelontoran uang yang akan didapatkan dari IPO ini, akan mempercepat proses produksi untuk meraih keuntungan berlipat-ganda, sementara bagi warga lokal adalah sumber malapetaka yang mempertaruhkan masa depan mereka dan ruang hidupnya.

Seluruh sepak terjang Harita group beserta jejaring korporasi global/regionalnya, dan afiliasi simbiotiknya dengan aparat negara bersenjata itu adalah kejahatan kolaboratif negarakorporasi.

Baca Laporan  |   Dokumentasi

Narahubung:

  1. Upiawan Umar (Warga Obi/+62 813-4011-0515)
  2. Yamir (Warga Wawonii/+62 821-5185-4952)
  3. Muh Jamil (Kepala Divisi Hukum JATAM/ +62 821-5647-0477)
  4. Melky Nahar (Koordinator JATAM/081319789181)






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Jejak Kejahatan Harita Group di Balik IPO Saham


Share


Oleh JATAM

24 Maret 2023



Jejak Kejahatan Harita Group di Balik IPO Saham


Rencana Harita Group melalui anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), untuk menambah modal melalui IPO saham dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun, akan semakin menambah panjang daftar derita warga di Pulau Obi, Maluku Utara dan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Dua pulau padat penghuni itu tengah diluluh-lantakkan oleh oeprasi tambang dan pabrik smelter nikel milik keluarga konglomerat Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.

Masa penawaran awal saham Trimegah Bangun Persada (NCKL) dimulai pada 15 maret 2023 dan berakhir pada hari ini. Kemudian dilanjutkan pada masa penawaran umum saham yang dijadwalkan pada 5-10 April 2023 dan pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia pada 12 April 2023. Gelontoran dana segar hingga Rp 15,1 triliun dari IPO ini akan digunakan untuk mempercepat proses produksi guna meraih keuntungan berlipat-ganda.

Upaya Harita Group mengumpulkan tambahan modal yang begitu besar ini, tentu tidak lepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel yang kedua di Pulau Obi. Saat ini, PT TBP sudah memiliki satu pabrik pengolahan nikel di Desa Kawasi, Pulau Obi, dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching, yakni PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan asal China, Lygend.

Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal. Operasional industri tambang dan smelter nikel – dimana seluruh suplai energi listriknya bersumber dari batubara, juga telah memicu pembongkaran pulau-pulau lain yang kaya akan batubara. Setiap pulau dipaksa untuk saling memangsa.

Penghancuran Daratan dan Wilayah Laut Pulau Obi

Jejak kotor Harita di Kawasi bukan hanya dari pembangunan pabrik pengolahan nikel semata, namun juga dari operasi pertambangan nikel sejak 2010 lalu. Kawasi merupakan kampung tertua di pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Luasnya mencapai sektiar 286 KM2, dihuni oleh lebih dari 1.118 jiwa penduduk. Masyarakat Kawasi hidup di daratan dan pesisir Pulau Obi sejak tahun 1980-an. Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela di Pulau Halmahera, dan sebagian lagi dari Buton. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.

Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi – yang semula warga hidup damai, bertani dan melaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga – berubah menjadi area pertambangan yang meluluh-lantakkan wilayah daratan, pesisir, dan laut. Lahan-lahan warga dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.

Ironisnya, proses pencaplokan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan.

Perusahaan selalu menggunakan siasat licik, dengan menerobos terlebih dahulu baru melakukan negosiasi. Siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan. Di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak.

Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga – yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis – kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar.

Air Cermin dan Sungai Loji yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, misalnya, kini telah lenyap pasca perusahaan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir. Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, kawasan hulunya tengah dibongkar oleh perusahaan tambang. Bukit-bukit yang menjadi daerah aliran dan badan sungai telah dikupas, menyebabkan sungai ini dalam kondisi tercemar dan rusak.

Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan.

Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan Muhammad Aris dalam jurnal “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia” (2020), polusi logam berat diperairan pulau Obi terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan. Logam yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar.

Setelah ruang hidup warga dicaplok dan dicemari, pihak perusahaan kini berencana memindah-paksakan warga di Kawasi ke Ecovillage (perumahan) milik perusahaan. Lokasi Ecovillage ini berjarak sekitar lima kilometer di bagian selatan Kawasi. Perusahaan mengatakan permukiman warga saat ini terlalu dekat dengan pabrik dan masuk zona rawan gempa bumi. Sejalan dengan pihak perusahaan, pemerintah daerah juga turut berdalih bahwa pemukiman warga terlalu dekat dengan laut, dengan demikian rentan terjadi bencana bila gelompang pasang atau tsunami terjadi. Alasan-alasan lain yang dipakai untuk menjustifikasi relokasi ini adalah terkait Kawasi yang dianggap telah kumuh, sampah berserakan dimana-mana, dan lingkungan tidak sehat dan tidak beraturan, serta sering terjadi konflik.

Sejumlah alasan relokasi yang digunakan perusahaan dan pemerintah di atas, tentu saja mengada-ada dan ditolak keras warga. Selain telah hidup ratusan tahun di Kawasi, justru aktivitas perusahaan tambang yang berada di atas zona gempa itulah yang punya risiko besar bagi keselamatan warga.

Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Warga Pulau Wawonii

Sama halnya yang terjadi di wilayah penambangan nikel lainnya milik Harita Group di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang dioperasikan oleh PT Gema Kreasi Perdana. Dari seluruh perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan di pulau Wawonii, baru PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group, yang sedang beroperasi. Operasi perusahaan tambang nikel ini telah menimbulkan daya rusak bagi warga dan lingkungan. Lahan-lahan warga diterobos berulang, warga pemilik lahan yang menolak tambang alami kekerasan dan kriminalisasi hingga mendekam di penjara.

Sejak beroperasi di pulau Wawonii, PT GKP telah berulang kali menerobos lahan-lahan warga para penolak tambang. Penerobosan lahan itu terjadi sejak 9 Juli 2019, 16 Juli 2019, 22 Agustus 2019, 19 Februari 2023, dan terbaru pada 9 Maret 2023. Penerobosan yang berakibat pada kerusakan tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, cengkeh, pala, dan kakao, hingga kelapa itu, seringkali dikawal aparat keamanan bersenjata lengkap. Ironisnya, warga yang menolak tanahnya dijual, justru diperhadapkan dengan tindakan represif aparat keamanan.

Hingga saat ini tercatat setidaknya sudah 35 orang warga yang dikriminalisasi oleh PT GKP. Mereka dijerat dengan berbagai pasal, mulai tuduhan pengrusakan, perampasan kemerdekaan, menghalangi operasi tambang, hingga pasal pencemaran nama baik menggunakan UU ITE.

Operasi PT GKP juga telah mencemari sumber air warga. Sungai Tambo Siu-Siu di Desa Sukarela Jaya, yang digunakan untuk mencuci, mandi, dan air minum ini, kondisinya berubah menjadi kuning-kecoklatan akibat pembangunan jalan hauling perusahaan. Warga terpaksa mencari sumber air lain yang letaknya lebih jauh dari tempat tinggalnya dengan kualitas yang tidak lebih baik.

Selain itu, Mata Air Banda yang di gunakan oleh hampir seluruh masyarakat di Desa Dompo-Dompo, Desa Roko-Roko, Desa Bahaba, dan Desa Teporoko juga ikut tercemar akibat aktivitas perusahaan. Ratusan kepala keluarga dari empat desa kehilangan akses air bersih.

Setelah bertahun-tahun melawan pertambangan PT GKP, warga Wawonii akhirnya memenangi gugatan terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan di Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari.

Putusan yang keluar pada Kamis (2/2/2023) itu, mengabulkan semua gugatan warga Wawonii. Dalam amar putusan PTUN Kendari perkara No.  67/G/LH/2022/PTUN.KDI menyebutkan batalnya keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tenggara tentang Persetujuan Perubahan izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT GKP pada 2019. Pengadilan juga mewajibkan pemerintah terkait untuk mencabut keputusan tersebut. Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan ini adalah bahwa IUP PT GKP diterbitkan tanpa dilengkapi perubahan izin lingkungan.

Selain itu, putusan Mahkamah Agung No. 57/P/HUM/2022 tertanggal 22 Desember 2022 terkait Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan juga dimenangkan warga Pulau Wawonii. Melalui putusan Mahkamah Agung ini, Pemerintah harus menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii, mengingat pada Perda RTRW sebelumnya pun tidak ada alokasi ruang untuk pertambangan di Pulau Wawonii.

Meski warga menang gugatan, PT GKP justru membangkang, terus beroperasi, bahkan pada 9 Maret 2023 lalu kembali menerobos lahan warga di Mosolo Raya. Menurut keterangan warga, PT GKP terus beroperasi dan mengangkut ore nikel untuk dibawa ke pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Evaluasi Seluruh Operasi Harita Group, Hentikan Investasi, Lakukan Penegakan Hukum dan Pemulihan Kerusakan

Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Industri ekstraktif seperti pertambangan nikel menuntut pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.

Seluruh daya rusak ini tidak dianggap sebagai bagian dari kerugian negara, semua dibebankan kepada warga lokal. Sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi terus diberikan pemerintah kepada para pelaku industri ini.

Rentetan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan Harita Group sudah semestinya dihentikan dan diproses hukum. Salah satu yang mendesak adalah terkait keberadaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan yang telah ilegal secara hukum pasca warga menang gugatan di PTUN Kendari pada perkara No.  67/G/LH/2022/PTUN.KDI atas izin tambang PT GKP dan putusan hukum Mahkamah Agung No. 57/P/HUM/2022 membatalkan alokasi ruang tambang di Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan, dimana pemerintah diwajibkan untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii.

Hal mendesak lainnya adalah terkait brutalitas Harita Group yang selain terus memperluas wilayah operasional, juga berencana memindah-paksakan warga Kawasi, Pulau Obi ke Ecovillage, sebuah upaya paksa memiskinkan dan mencerabut warga asli dari kampung-ruang hidupnya yang penuh sejarah.

Kami memandang, langkah PT Trimegah Bangun Persada milik keluarga Lim Hariyanto Sarwono yang melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) sahamnya pada April mendatang berlangsung di tengah derita warga dan lingkungan yang dibiarkan, tanpa penegekan hukum dan pemulihan, sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi terus diberikan pemerintah kepada para pelaku industri ini.

Bagi korporasi, gelontoran uang yang akan didapatkan dari IPO ini, akan mempercepat proses produksi untuk meraih keuntungan berlipat-ganda, sementara bagi warga lokal adalah sumber malapetaka yang mempertaruhkan masa depan mereka dan ruang hidupnya.

Seluruh sepak terjang Harita group beserta jejaring korporasi global/regionalnya, dan afiliasi simbiotiknya dengan aparat negara bersenjata itu adalah kejahatan kolaboratif negarakorporasi.

Baca Laporan  |   Dokumentasi

Narahubung:

  1. Upiawan Umar (Warga Obi/+62 813-4011-0515)
  2. Yamir (Warga Wawonii/+62 821-5185-4952)
  3. Muh Jamil (Kepala Divisi Hukum JATAM/ +62 821-5647-0477)
  4. Melky Nahar (Koordinator JATAM/081319789181)


Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang