JATAM: UU Pertambangan Belum Memfasilitasi Hak Menolak Tambang


Berita

JATAM: UU Pertambangan Belum Memfasilitasi Hak Menolak Tambang


Oleh JATAM

19 Maret 2019





Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai konflik antara masyarakat dan pemerintah dalam kasus penolakan tambang di Pulau Wawonii, Sulawei Tenggara adalah buntut tidak terakomodirnya suara masyarakat dalam regulasi yang ada.

“Tidak tersedianya hak ruang untuk masyarakat mengatakan tidak terhadap investasi pertambangan. Di dalam UU pertambangan, mineral, dan batubara No.4/2009,” ujar Koordinator Nasional JATAM, Merah Johansyah kepada Tirto, Selasa (12/3/2019).

Menurutnya perspektif regulasi yang ada hanya mengarah pada kepentingan korporasi saja. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan mengutarakan pandanganterkait investasi pertambangan.

Namun sebaliknya, kata Johansyah, ketika masyarakat menunjukkan sikap keberatannya pemerintah justru bersikap represif. Sikap represif pemerintah tersebut, yang menurutnya justru dilegatimasi melalui salah satu pasal dalam perundangan-undangan tersebut.

“Di dalam UU itu ada Pasal 162, pasal yang mengkriminalisasi masyarakat. Barang siapa yang mengganggu izin tambang yang sah, versi pemerintah, bisa dibawa ke meja hukum,” ujarnya.

Pada UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 162 disebutkan bahwa:

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Hal tersebut yang menurutnya membuat posisi masyarakat rentan setiap kali mengajukan protes terhadap adanya pertambangan di wilayahnya. Alih-alih diajak mendudukan perkara, menurutnya, pemerintah justru menggunakan aparat penegak hukum untuk merespons protes yang dilakukan masyarakat.

“Standar operasi penanganan protes yang dilakukan masyarakat juga selalu diatasi dengan cara-cara kekerasan terorganisir, oleh TNI dan Polisi. Pola pemerintah dalam menyikapi protes masyarakat, terutama pada daerah di luar Jakarta selalu dengan kekerasan,” ujarnya.

Pada Rabu (6/3/2019) protes muncul dari masyarakat dan mahasiswa, menolak pertambangan di Pulau Wawonii. Aksi di depan Kantor Gubenur Sultra tersebut berakhir ricuh, terdapat peserta aksi yang menjadi korban pemukulan oleh pihak pengamanan yang diduga dilakukan personel polisi dan anggota Pol PP Pemprov Sultra.

“Harusnya ada ruang, ketika masyarakat menolak itu harus didengar,” pungkas Merah.

Sumber: Tirto







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Berita

JATAM: UU Pertambangan Belum Memfasilitasi Hak Menolak Tambang


Share


Oleh JATAM

19 Maret 2019



Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai konflik antara masyarakat dan pemerintah dalam kasus penolakan tambang di Pulau Wawonii, Sulawei Tenggara adalah buntut tidak terakomodirnya suara masyarakat dalam regulasi yang ada.

“Tidak tersedianya hak ruang untuk masyarakat mengatakan tidak terhadap investasi pertambangan. Di dalam UU pertambangan, mineral, dan batubara No.4/2009,” ujar Koordinator Nasional JATAM, Merah Johansyah kepada Tirto, Selasa (12/3/2019).

Menurutnya perspektif regulasi yang ada hanya mengarah pada kepentingan korporasi saja. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan mengutarakan pandanganterkait investasi pertambangan.

Namun sebaliknya, kata Johansyah, ketika masyarakat menunjukkan sikap keberatannya pemerintah justru bersikap represif. Sikap represif pemerintah tersebut, yang menurutnya justru dilegatimasi melalui salah satu pasal dalam perundangan-undangan tersebut.

“Di dalam UU itu ada Pasal 162, pasal yang mengkriminalisasi masyarakat. Barang siapa yang mengganggu izin tambang yang sah, versi pemerintah, bisa dibawa ke meja hukum,” ujarnya.

Pada UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 162 disebutkan bahwa:

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Hal tersebut yang menurutnya membuat posisi masyarakat rentan setiap kali mengajukan protes terhadap adanya pertambangan di wilayahnya. Alih-alih diajak mendudukan perkara, menurutnya, pemerintah justru menggunakan aparat penegak hukum untuk merespons protes yang dilakukan masyarakat.

“Standar operasi penanganan protes yang dilakukan masyarakat juga selalu diatasi dengan cara-cara kekerasan terorganisir, oleh TNI dan Polisi. Pola pemerintah dalam menyikapi protes masyarakat, terutama pada daerah di luar Jakarta selalu dengan kekerasan,” ujarnya.

Pada Rabu (6/3/2019) protes muncul dari masyarakat dan mahasiswa, menolak pertambangan di Pulau Wawonii. Aksi di depan Kantor Gubenur Sultra tersebut berakhir ricuh, terdapat peserta aksi yang menjadi korban pemukulan oleh pihak pengamanan yang diduga dilakukan personel polisi dan anggota Pol PP Pemprov Sultra.

“Harusnya ada ruang, ketika masyarakat menolak itu harus didengar,” pungkas Merah.

Sumber: Tirto



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang