JATAM: Urusan Ekonomi Dan Energi, Jokowi Masih Bergantung Pada Pengerukan Sumber Daya Alam.
Kampanye
JATAM: Urusan Ekonomi Dan Energi, Jokowi Masih Bergantung Pada Pengerukan Sumber Daya Alam.
Oleh JATAM
17 Agustus 2015
Siaran Pers JATAM, 17 Agustus 2015.
Pidato Presiden Jokowi dalam Sidang Paripurna DPR-RI pada jumat (14/8/2015) kemarin sarat dengan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan bahwa Indonesia ke depan masih akan tetap bergantung kepada industri ekstraktif dan energi fosil, baik dalam bidang ekonomi maupun pemenuhan energi nasional. Bahkan dalam sektor energi, tidak ada satu pun pernyataan tegas dari Presiden Jokowi untuk lepas ketergantungan dari energi fosil dan mendorong pemanfaatan energi bersih dan terbarukan.
Dalam pidatoya, Presiden Jokowi menyinggung akan mengurangi ketergantungan pada penerimaan dari sumber daya alam. Namun hal tersebut kontradiktif dengan pernyataan Beliau dalam pidato selanjutnya, yang berkomitmen akan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan didominasi dari sektor Migas. Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia kedepan masih akan ditumpukan pada pengerukan sumberdaya alam secara massif, baik untuk kebutuhan dalam Negeri maupun ekspor.
Yang menarik adalah pernyataan Presiden berikut, “Tahun 2014, sekitar 240 triliun rupiah subsidi BBM hanya dibakar di jalan-jalan, hanya dibakar-bakar dan dinikmati oleh jutaan mobil pribadi”. Namun di satu sisi Presiden Jokowi menyebutkan pembangunan jalan tol di berbagai wilayah. Jelas, pembangunan jalan tol ini akan berimplikasi semakin meningkatnya penjualan kendaraan bermotor, yang kembali akan membakar “subsidi BBM”.
Dari berbagai proyek infrastruktur yang dibanggakan oleh Presiden Jokowi, maka pertanyaannya apakah pembangunan infrastruktur tersebut bertujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat atau hanya memfasilitasi korporasi untuk semakin mudah mengeruk dan mengolah kekayaan sumber daya alam kita. Dengan watak ekonomi yang masih bertumpu pada pengerukan sumberdaya alam, maka jelas pembangunan infrastruktur ditujukan untuk memfasilitasi industri, dengan memangkas rantai komoditas demi efisiensi dalam distribusi dan produksi. Sebut saja pembangunan Jalan tol, rel angkutan batubara, pembangkit listrik hingga fasilitas smelter, semuanya didorong atas nama efisiensi komodifikasi.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga dengan bangga mengatakan bahwa dalam sepuluh bulan terakhir telah berhasil memulai pembangunan lebih banyak pemangkit listrik di pelosok daerah. Namun yang harus dikritisi dalam pernyataan tersebut adalah bahwa pembangunan pembangkit listrik tersebut adalah bagian dari proyek 35.000 megawatt, yang 94% berasal dari energi fosil (20.000 megawatt dari batubara. 13.000 dari gas). Artinya pembangunan pembangkit listrik yang selama ini diklaim demi mengatasi krisis listrik tersebut, hanya akan semakin menghasilkan krisis-krisis baru di berbagai wilayah. Pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara secara massif akan semakin menurunkan kualitas lingkungan hidup di sekitarnya, mencemari tanah, air dan udara. Perusakan ruang hidup ini jelas akan mematikan kehidupan ekonomi dan sosial warga, bahkan hingga merenggut nyawa.
Pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt jelas akan meningkatkan kebutuhan batubara dalam Negeri. Artinya batubara akan semakin dikeruk lagi demi memenuhi permintaan dalam negeri tersebut. Padahal industri batubara selama ini hanya menyisakan kerusakan-kerusakan dari hulu hingga hilir. Lubang-lubang bekas tambang dibiarkan saja menganga tanpa pengamanan khusus, mencemari lingkungan dengan air asam tambangnya, hingga merenggut nyawa belasan anak-anak yang tenggelam di dalamnya, seperti yang telah terjadi pada 14 anakdi Kutai Kartanegara dan Samarinda, Kalimantan timur.
Dengan harga batubara yang terus anjlok dan permintaan yang terus menurun, produksi batubara Indonesia pada 2014 mencapai 435 juta ton, hanya turun 8% dari produksi tahun 2013 sebesar 474 juta ton.Produksi batubara pada 2015 pun juga diprediksiakan mengalami penurunan hingga 20% dengan target produksi 425 juta ton. Namun jika proyek 35.000 megawatt milik Jokowi berjalan mulus, turunnya produksi tersebut akan tertutupi dengan tambahan kebutuhan batubara dalam Negeri hingga 200 juta ton pertahun. Artinya pengerukan batubara masih akan terus berlanjut dan meluas.
Trend global saat ini, berbagai Negara sudah mulai meninggalkan batubara sebagai sumber energi. Sebut saja Tiongkok, Amerika, Norwegia hingga India, mulai dari mengurangi konsumsi batubara hingga mematikan pembangkit listrik tenaga batubara mereka. Batubara sudah mulai ditinggalkan di banyak Negara. Maka salah besar jika pemerintah Indonesia masih mengaharapkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan Negara dari industri batubara dan ekspor sumber daya alam.
Tidak hanya batubara saja, sektor migas pun juga akan mengalami hal yang sama. Energi fosil adalah energi tak terbarukan, yang suatu saat cepat atau lambat pasti akan habis. Belum lagi dengan kondisi perdagangan migas yang tidak stabil dari tahun ke tahun. Pemanfaatan energi bersih dan terbarukan, seperti tenaga surya misalnya, seharusnya bisa dioptimalkan pemanfaatannya oleh Pemerintah Indonesia ke depan, baik untuk pemenuhan energi maupun penopang perekonomian.
Dalam lima tahun terakhir saja, harga pembangkit listrik tenaga surya sudah turun hingga 80%. Artinya alasan energi terbarukan yang tidak ekonomis dan mahal sudah tidak bisa berlaku lagi.Seharusnya pemerintah sadar, sudah tidak ada lagi masa depan bagi energi fosil.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang