JATAM Gelar Diskusi Media “Lubang Tambang Pencabut Nyawa”


Kampanye

JATAM Gelar Diskusi Media “Lubang Tambang Pencabut Nyawa”


Oleh JATAM

30 Maret 2015





10967678_10204634618518075_1755215350_n
Jenazah Muhammad Raihan Saputra, korban kesembilan

“Hutan dan tempat bermain anak-anak telah berubah menjadi lubang raksasa batubara semenjak 2011-2014, dan sudah Sembilan anak yang tewas di bekas galian tambang batu bara di Samarinda” ujar Mareta Sari Divisi Riset dan Pendidikan JATAM Kaltim dalam Diskusi Media “Lubang Tambang Pencabut Nyawa” di Dapur Selera Jalan Prof. Supomo Tebet Jakarta Selatan. Rabu (25/03/2015).

Dalam diskusi media tersebut, Mareta menjelaskan bahwa 71% Luas kota Samarinda telah dikapling oleh 52 usaha pertambangan. Jelas terlihat bahwa kawasan hidup yang sehat pun telah tiada, karena hampir di seluruh tempat tinggal warga Kota Tepian telah berdampingan dengan pertambangan bahkan masuk dalam konsesi pertambanganya. Hal ini pula menunjukkan bahwa Samarinda tidak lagi layak untuk dijadikan tempat berkehidupan yang sehat karena sumber-sumber dari kehidupan yang layak itu secara sengaja telah dihilangkan.

“Kami telah menyampaikan kepada pemerintah mengenai hal tersebut, sayang pemerintah terkesan tidak peduli dan tetap menambah izin-izin pertambangan di Samarinda,” ujarnya kembali.
JATAM Kaltim mencatat sepanjang tahun 2011 Hingga 2014 tercatat sembilan anak meninggal di lubang bekas Tambang di Samarinda. Hal Ini menunjukkan bahwa ancaman yang diakibatkan dari aktivitas pertambangan sudah sangat berbahaya. Selain itu pemerintah kotapun terlihat sangat bobrok untuk menangani kasus ini Karena tidak ada tindakan yang serius untuk segera menyelesaikan kasus Sembilan anak yang meninggal di Lubang Tambang.

Kemudian pada 22 Desember 2014 Muhammad Reihan Saputra (10 tahun) menjadi korban dari lubang bekas tambang PT Graha Benua Etam (GBE) yang melakukakn aktivitas pertambangannya di Sempaja Selatan, Samarinda. Ini merupakan kelalaian yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda. Apalagi yang menjadi korbannya adalah anak-anak. Padahal Walikota menyebutkan bahwa Samarinda adalah Kota Layak anak.

DAFTAR ANAK YANG MENINGGAL DI LUBANG BEKAS TAMBANG BATUBARA :
1. 7 Juli 2011, Tiga Anak tewas, bernama Miftahul Jannah, Junaidi dan Ramadhani di Lubang Tambang milik perusahaan Batubara Hymco Coal yang berlokasi di Sambutan, Samarinda.
2. 24 Desember 2011, Dua Anak tewas, bernama Eza dan Ema (6 tahun) di Lubang Tambang Batubara Milik PT. Panca Prima Mining yang berlokasi di Perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7, Samarinda.
3. 25 Desember 2012, Maulana Mahendra (11 Tahun), tewas disebuah galian bekas Tambang Batubara Milik salah seorang warga bernama Said Darmadi yang berlokasi di Blok B RT 18 Simpang Pasir, Palaran, Samarinda.
4. 8 April 2014, tepat sehari sebelum pesta demokrasi di Indonesia, Nadia Zaskia Putri, (10 Tahun), yang meninggal saat berenang di galian bekas tambang batubara milik sebuah perusahaan bernama Cahaya Ramadhan yang berlokasi di Kelurahan RT 48, Rawa Makmur, Kecamatan Palaran, Samarinda.
5. 22 Desember 2014, Tepat pada perayaan Hari Ibu. Muhammad Raihan Saputra (10 Tahun), Tewas lemas di Lubang Bekas Tambang Batubara yang tak direklamasi diduga milik PT Graha Benua Etam (GBE) yang berlokasi di Gang Saliki, Jl Padat Karya, Bengkuring, Sempaja Selatan.

Ditempat yang sama Ki Bagus Hadi Kusuma Pengkampanye JATAM menyatakan bahwa kasus yang menimpa Sembilan anak tersebut merupakan pelanggaran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman warga, dan dilapangan kami melihat kenyataan bahwa pertambangan dilakukan dengan jarak 50 meter saja.

“Di lokasi kejadian juga terlihat bahwa perusahaan juga tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam Keputusan Menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang pelang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.”

Masih dalam keterangan Ki Bagus menyataka bahwa dari kasus diatas terlihat jelas bahwa masih lemahnya peraturan dan monitoring pemerintah dalam upaya rehabilitsi lingkungan pasca tambang. Belum adanya sangsi yang tepat bagi perusahaan yang melanggar kebijakan dalam merehabilitasi lingkungan pasca tambang, serta jaminan reklamasi yang akan memicu skandal korupsi.

“Aturan reklamasi sejak dulu dan sekarang diatur dalam UU No. 11/1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan PP No. 32/1969, tentang Pelaksanaan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. PP No. 75/2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969. Kepmen PE No. 1211.K/1995, tentang Pecegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum. Permen ESDM No. 18/2008, tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. PP No. 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang. Kepmen ESDM 1820/2013 tentang Pelimpahan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pasca Tambang. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Kepmen 146/1999 tentang Pedomana Reklmasi Bekas Tambang Dalam kawasan Hutan.”

“Menurut Dinas pertambangan Kalsel, biaya reklamasi lahan tambang Rp 60 juta per hektar atau Rp 500 – Rp 2000 per ton batubara.Darimana angka tersebut? Kemana uangnya? Bandingkan dengan biaya penanganan lubang-lubang tambang negara lain. Di Australia, CSIRO menyebut Air Asam Tambang bom waktu ekologis. Dr Graham Taylor menyatakan ongkos untuk memelihara Air asam tambang (AMD) pada tambang yang masih berjalan adalah AUD$ 60juta per tahun. Itu sekitar Rp 540 Milyar. Sementara tambang yang ditinggalkan, ongkos itu meningkat hingga AUD$100,000 per ha.”
JATAM mencata bahwa Tunggakan dan ketidaksesuaian reklamasi terlihat dalam :
1. Tahun 2007, Jaminan reklamasi PT. Kideco Jaya Agung kurang sebesar US$ 2.231.322.
2. PT. Sumber Kurnia Buana, menambang sejak Desember 2000 tapi tidak pernah menyetorkan jaminan reklamasi sebesar Rp.955.588.486.
3. Kegiatan reklamasi & revegetasi PT. Arutmin Indonesia, PT. Jorong Barutama Greston & PT. Sumber Kurnia Buana tidak sesuai sehingga keseburan tanah justru berkurang dibekas tambang.
4. PT. Timah hanya mereklamasi 8.662,20 ha dari 19.207,15 ha bekas lokasi tambang timah dan kurang tanam sebanyak 19.228 batang pohon.
5. 93 KP/IUP & 14 KPR di Kabupaten Timor Tengah Utara NTT, menunggak Rp6,7 milyar jaminan reklamasi & jaminan kesungguhan usaha sepanjang 2008-2010.
6. Perusahaan tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara menunggak Rp.52.859.696.727 jaminan reklamasi 2009.
7. 12 pemilik IUP di kabupaten Kolaka Sultra, 7 diantara belum membayar sama sekali jaminan reklamasi sebesar Rp.51,45 milyar. 5 perusahaan lainya baru membayar sebagian.

“Tahun 2010 sampai dengan semester I Tahun 2011, BPK kembali melakukan audit pengelolaan pertambangan batubara pada Kementerian ESDM, 7 Pemerintah Kabupaten/Kota, 77 Pemegang KP/IUP, 10 Kontraktor PKP2B serta instansi terkait lainnya di Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah,” ujarnya Bagus kembali.

Di Kalimantan Barat, untuk perusahaan tambang dengan luas konsesi 145,5 hektar hanya menyetor dana jaminan reklamasi Rp. 67.818.615,- atau senilai Rp. 466.107,- per hektar. Dari 247 perusahaan pemegang IUP di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, 64 diantaranya tidak memiliki rencana reklamasi dan pascatambang, dan 73 perusahaan tidak menyetorkan dana jaminan reklamasi.
Sementara itu, Sigit Reliantoro Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Pertambangan Energi dan Migas Kementerian Negara Lingkungan & Kehutanan menyatakan bahwa Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemegang izin pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan benar. Jika melanggar, sanksi maksimal pencabutan izin siap dijatuhkan.

“Dalam PP No. 78 Tahun 2010, setiap calon pemegang Pemegang IUP dan IUPK Eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi yang dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi (RKAB). RKAB ini berjangka waktu lima tahun dengan rincian rencana tiap tahunnya. Minimal, RKAB harus memuat penjelasan mengenai tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang.”

“Rencana pembukaan lahan serta program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang baik sementara maupun permanen. Juga harus memuat kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir, serta rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.”

Masih dalam keterangan Sigit Reliantoro, saat ini Kementrian KLHK telah memberikan ruang pengaduan kepada masyarakat baik pengaduan secara langsung ke KLHK maupun dengan cara mengirim langsung SMS kepada Kementrian.
Subkomisi Mediasi Komnas HAM Yhodhisman menyatakan bahwa saat ini Komnas HAM memiliki dua fokus di konflik SDA yaitu di Pertambangan dan Perkebunan, karena dikedua bidang ini begitu ekspansif dan perluasan bisnisnya luar biasa. Sehingga untuk tahun-tahun ini Komnas HAM akan fokus dalam dua bidang SDA tersebut.

“Jika kita lihat di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua, kita lihat izin-izin yang dikelaurkan luar biasa banyaknya. Dan bahkan disalah satu kota di Sulawesi jika kita lihat overlay, yang kita lihat seluruhnya telah dikuasai oleh kooporasi baik dari swasta maupun oleh BUMN.”
“Dan dalam hal ini, dua korporasi ini sebagai pelindung dan pengayom masyarakat telah salah mengambil kebijakan. Pradigma yang dipakai oleh pemerintah dan koorporasi ini salah, mereka memakai sistim dual mutualisme dalam konteks pertambangan. Hal ini dapat dilihat dari pemerintah adalah kebijakan, pajak, dan keuntungan daerah dan kalau perusahaan sudah jelas bahwa mereka adalah keuntungan bisnis. Dan jika ini dikelola dengan melihat prinsip-prinsip Hak azasi maka bagi Komnas itu tidak ada problem.”

Tetapi kita lihat saat ini, kita mendapatkan fakta yang bahwa kehadiran Tambang dan Perkebunan sama sekali tidak mensejaterakan rakyat. Freeport di Papua misalnya, sejak beroperasi 1968 sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang kongkrit. Permasalahan yang mucul sebelum dan pasca tambang banyak sekali menyisakan permasalahan yang tidak kunjung kelar.
Sejak Komnas HAM turun di Kaltim, sekitar tahun 2010 di Kutai. Itu sudah keluar sekitar 200 izin pertambangan yang tidak menyisakan ruang untuk hidup bagi masyarakat. Dan bagaimana cara mengelola itu semua, jika kita lihat dari peta, kawasan Kuatai terlihat bolong-bolong.

“Dan saya tidak habis pikir bahwa pertambangan yang harusnya memiliki kawasan yang begitu luas dan jauh dari kehidupan masyarakat malah di taruh izinnya didalam perkotaan, dan tanpa memandang budaya mereka harus dikemanakan, masyarakatnya harus diapakan inilah kebijakan yang sering duabaikan oleh pemerintah yang ada di Samarinda.”
“Untuk kasus yang muncul selama ini menurut saya, memang ada pengawasan tetapi tidak ada tindakan yang nyata yang dilakukan oleh pemerintah mengenai kasus-kasus yang terjadi selama ini”, pungkasnya.







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

JATAM Gelar Diskusi Media “Lubang Tambang Pencabut Nyawa”


Share


Oleh JATAM

30 Maret 2015



10967678_10204634618518075_1755215350_n
Jenazah Muhammad Raihan Saputra, korban kesembilan

“Hutan dan tempat bermain anak-anak telah berubah menjadi lubang raksasa batubara semenjak 2011-2014, dan sudah Sembilan anak yang tewas di bekas galian tambang batu bara di Samarinda” ujar Mareta Sari Divisi Riset dan Pendidikan JATAM Kaltim dalam Diskusi Media “Lubang Tambang Pencabut Nyawa” di Dapur Selera Jalan Prof. Supomo Tebet Jakarta Selatan. Rabu (25/03/2015).

Dalam diskusi media tersebut, Mareta menjelaskan bahwa 71% Luas kota Samarinda telah dikapling oleh 52 usaha pertambangan. Jelas terlihat bahwa kawasan hidup yang sehat pun telah tiada, karena hampir di seluruh tempat tinggal warga Kota Tepian telah berdampingan dengan pertambangan bahkan masuk dalam konsesi pertambanganya. Hal ini pula menunjukkan bahwa Samarinda tidak lagi layak untuk dijadikan tempat berkehidupan yang sehat karena sumber-sumber dari kehidupan yang layak itu secara sengaja telah dihilangkan.

“Kami telah menyampaikan kepada pemerintah mengenai hal tersebut, sayang pemerintah terkesan tidak peduli dan tetap menambah izin-izin pertambangan di Samarinda,” ujarnya kembali.
JATAM Kaltim mencatat sepanjang tahun 2011 Hingga 2014 tercatat sembilan anak meninggal di lubang bekas Tambang di Samarinda. Hal Ini menunjukkan bahwa ancaman yang diakibatkan dari aktivitas pertambangan sudah sangat berbahaya. Selain itu pemerintah kotapun terlihat sangat bobrok untuk menangani kasus ini Karena tidak ada tindakan yang serius untuk segera menyelesaikan kasus Sembilan anak yang meninggal di Lubang Tambang.

Kemudian pada 22 Desember 2014 Muhammad Reihan Saputra (10 tahun) menjadi korban dari lubang bekas tambang PT Graha Benua Etam (GBE) yang melakukakn aktivitas pertambangannya di Sempaja Selatan, Samarinda. Ini merupakan kelalaian yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda. Apalagi yang menjadi korbannya adalah anak-anak. Padahal Walikota menyebutkan bahwa Samarinda adalah Kota Layak anak.

DAFTAR ANAK YANG MENINGGAL DI LUBANG BEKAS TAMBANG BATUBARA :
1. 7 Juli 2011, Tiga Anak tewas, bernama Miftahul Jannah, Junaidi dan Ramadhani di Lubang Tambang milik perusahaan Batubara Hymco Coal yang berlokasi di Sambutan, Samarinda.
2. 24 Desember 2011, Dua Anak tewas, bernama Eza dan Ema (6 tahun) di Lubang Tambang Batubara Milik PT. Panca Prima Mining yang berlokasi di Perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7, Samarinda.
3. 25 Desember 2012, Maulana Mahendra (11 Tahun), tewas disebuah galian bekas Tambang Batubara Milik salah seorang warga bernama Said Darmadi yang berlokasi di Blok B RT 18 Simpang Pasir, Palaran, Samarinda.
4. 8 April 2014, tepat sehari sebelum pesta demokrasi di Indonesia, Nadia Zaskia Putri, (10 Tahun), yang meninggal saat berenang di galian bekas tambang batubara milik sebuah perusahaan bernama Cahaya Ramadhan yang berlokasi di Kelurahan RT 48, Rawa Makmur, Kecamatan Palaran, Samarinda.
5. 22 Desember 2014, Tepat pada perayaan Hari Ibu. Muhammad Raihan Saputra (10 Tahun), Tewas lemas di Lubang Bekas Tambang Batubara yang tak direklamasi diduga milik PT Graha Benua Etam (GBE) yang berlokasi di Gang Saliki, Jl Padat Karya, Bengkuring, Sempaja Selatan.

Ditempat yang sama Ki Bagus Hadi Kusuma Pengkampanye JATAM menyatakan bahwa kasus yang menimpa Sembilan anak tersebut merupakan pelanggaran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman warga, dan dilapangan kami melihat kenyataan bahwa pertambangan dilakukan dengan jarak 50 meter saja.

“Di lokasi kejadian juga terlihat bahwa perusahaan juga tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam Keputusan Menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang pelang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.”

Masih dalam keterangan Ki Bagus menyataka bahwa dari kasus diatas terlihat jelas bahwa masih lemahnya peraturan dan monitoring pemerintah dalam upaya rehabilitsi lingkungan pasca tambang. Belum adanya sangsi yang tepat bagi perusahaan yang melanggar kebijakan dalam merehabilitasi lingkungan pasca tambang, serta jaminan reklamasi yang akan memicu skandal korupsi.

“Aturan reklamasi sejak dulu dan sekarang diatur dalam UU No. 11/1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan PP No. 32/1969, tentang Pelaksanaan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. PP No. 75/2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969. Kepmen PE No. 1211.K/1995, tentang Pecegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum. Permen ESDM No. 18/2008, tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. PP No. 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang. Kepmen ESDM 1820/2013 tentang Pelimpahan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pasca Tambang. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Kepmen 146/1999 tentang Pedomana Reklmasi Bekas Tambang Dalam kawasan Hutan.”

“Menurut Dinas pertambangan Kalsel, biaya reklamasi lahan tambang Rp 60 juta per hektar atau Rp 500 – Rp 2000 per ton batubara.Darimana angka tersebut? Kemana uangnya? Bandingkan dengan biaya penanganan lubang-lubang tambang negara lain. Di Australia, CSIRO menyebut Air Asam Tambang bom waktu ekologis. Dr Graham Taylor menyatakan ongkos untuk memelihara Air asam tambang (AMD) pada tambang yang masih berjalan adalah AUD$ 60juta per tahun. Itu sekitar Rp 540 Milyar. Sementara tambang yang ditinggalkan, ongkos itu meningkat hingga AUD$100,000 per ha.”
JATAM mencata bahwa Tunggakan dan ketidaksesuaian reklamasi terlihat dalam :
1. Tahun 2007, Jaminan reklamasi PT. Kideco Jaya Agung kurang sebesar US$ 2.231.322.
2. PT. Sumber Kurnia Buana, menambang sejak Desember 2000 tapi tidak pernah menyetorkan jaminan reklamasi sebesar Rp.955.588.486.
3. Kegiatan reklamasi & revegetasi PT. Arutmin Indonesia, PT. Jorong Barutama Greston & PT. Sumber Kurnia Buana tidak sesuai sehingga keseburan tanah justru berkurang dibekas tambang.
4. PT. Timah hanya mereklamasi 8.662,20 ha dari 19.207,15 ha bekas lokasi tambang timah dan kurang tanam sebanyak 19.228 batang pohon.
5. 93 KP/IUP & 14 KPR di Kabupaten Timor Tengah Utara NTT, menunggak Rp6,7 milyar jaminan reklamasi & jaminan kesungguhan usaha sepanjang 2008-2010.
6. Perusahaan tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara menunggak Rp.52.859.696.727 jaminan reklamasi 2009.
7. 12 pemilik IUP di kabupaten Kolaka Sultra, 7 diantara belum membayar sama sekali jaminan reklamasi sebesar Rp.51,45 milyar. 5 perusahaan lainya baru membayar sebagian.

“Tahun 2010 sampai dengan semester I Tahun 2011, BPK kembali melakukan audit pengelolaan pertambangan batubara pada Kementerian ESDM, 7 Pemerintah Kabupaten/Kota, 77 Pemegang KP/IUP, 10 Kontraktor PKP2B serta instansi terkait lainnya di Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah,” ujarnya Bagus kembali.

Di Kalimantan Barat, untuk perusahaan tambang dengan luas konsesi 145,5 hektar hanya menyetor dana jaminan reklamasi Rp. 67.818.615,- atau senilai Rp. 466.107,- per hektar. Dari 247 perusahaan pemegang IUP di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, 64 diantaranya tidak memiliki rencana reklamasi dan pascatambang, dan 73 perusahaan tidak menyetorkan dana jaminan reklamasi.
Sementara itu, Sigit Reliantoro Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Pertambangan Energi dan Migas Kementerian Negara Lingkungan & Kehutanan menyatakan bahwa Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemegang izin pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan benar. Jika melanggar, sanksi maksimal pencabutan izin siap dijatuhkan.

“Dalam PP No. 78 Tahun 2010, setiap calon pemegang Pemegang IUP dan IUPK Eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi yang dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi (RKAB). RKAB ini berjangka waktu lima tahun dengan rincian rencana tiap tahunnya. Minimal, RKAB harus memuat penjelasan mengenai tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang.”

“Rencana pembukaan lahan serta program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang baik sementara maupun permanen. Juga harus memuat kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir, serta rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.”

Masih dalam keterangan Sigit Reliantoro, saat ini Kementrian KLHK telah memberikan ruang pengaduan kepada masyarakat baik pengaduan secara langsung ke KLHK maupun dengan cara mengirim langsung SMS kepada Kementrian.
Subkomisi Mediasi Komnas HAM Yhodhisman menyatakan bahwa saat ini Komnas HAM memiliki dua fokus di konflik SDA yaitu di Pertambangan dan Perkebunan, karena dikedua bidang ini begitu ekspansif dan perluasan bisnisnya luar biasa. Sehingga untuk tahun-tahun ini Komnas HAM akan fokus dalam dua bidang SDA tersebut.

“Jika kita lihat di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua, kita lihat izin-izin yang dikelaurkan luar biasa banyaknya. Dan bahkan disalah satu kota di Sulawesi jika kita lihat overlay, yang kita lihat seluruhnya telah dikuasai oleh kooporasi baik dari swasta maupun oleh BUMN.”
“Dan dalam hal ini, dua korporasi ini sebagai pelindung dan pengayom masyarakat telah salah mengambil kebijakan. Pradigma yang dipakai oleh pemerintah dan koorporasi ini salah, mereka memakai sistim dual mutualisme dalam konteks pertambangan. Hal ini dapat dilihat dari pemerintah adalah kebijakan, pajak, dan keuntungan daerah dan kalau perusahaan sudah jelas bahwa mereka adalah keuntungan bisnis. Dan jika ini dikelola dengan melihat prinsip-prinsip Hak azasi maka bagi Komnas itu tidak ada problem.”

Tetapi kita lihat saat ini, kita mendapatkan fakta yang bahwa kehadiran Tambang dan Perkebunan sama sekali tidak mensejaterakan rakyat. Freeport di Papua misalnya, sejak beroperasi 1968 sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang kongkrit. Permasalahan yang mucul sebelum dan pasca tambang banyak sekali menyisakan permasalahan yang tidak kunjung kelar.
Sejak Komnas HAM turun di Kaltim, sekitar tahun 2010 di Kutai. Itu sudah keluar sekitar 200 izin pertambangan yang tidak menyisakan ruang untuk hidup bagi masyarakat. Dan bagaimana cara mengelola itu semua, jika kita lihat dari peta, kawasan Kuatai terlihat bolong-bolong.

“Dan saya tidak habis pikir bahwa pertambangan yang harusnya memiliki kawasan yang begitu luas dan jauh dari kehidupan masyarakat malah di taruh izinnya didalam perkotaan, dan tanpa memandang budaya mereka harus dikemanakan, masyarakatnya harus diapakan inilah kebijakan yang sering duabaikan oleh pemerintah yang ada di Samarinda.”
“Untuk kasus yang muncul selama ini menurut saya, memang ada pengawasan tetapi tidak ada tindakan yang nyata yang dilakukan oleh pemerintah mengenai kasus-kasus yang terjadi selama ini”, pungkasnya.



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang