Jatam Desak Bekukan Kementerian ESDM
Berita
Jatam Desak Bekukan Kementerian ESDM
Oleh JATAM
17 Juni 2019
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak pemerintah segera membekukan kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM) Mineral baik di pusat maupun di daerah.
Koordinator Jatam Merah Johansyah menyatakan pihaknya tidak percaya dengan Kementerian ESDM karena sudah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Kami menyatakan tidak percaya dengan kantor Kementerian ini baik rakyat menyatakan veto untuk bekukan saja, untuk apa lebih banyak merusak lingkungan,” kata Merah Johansyah, di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Rabu (29/5).
Alasannya adalah karena fungsi, wewenang dan instrumen perizinan yang diterbitkan untuk memfasilitasi pelanggengan industri ekstraktif menjadi sumber perusakan sosial-ekologis.
“Karena satu kantor kementerian ESDM ini berubah menjadikan instrumen-instrumen, kebijakan-kebijakan dan program-program itu hanya melayani kepentingan perluasan ekspansi bisnis pertambangan mineral, logam, minyak bumi, gas alam biotermal dan lain-lain,” ujarnya.
Merah mengatakan saat dibekukan pemerintah harus melalukan evaluasi internal terhadap instrumen, kebijakan dan program yang ada di Kementerian ESDM termasuk juga melakukan audit terhadap izin-izin perusahaan tambang yang bermasalah.
Lebih lanjut, Merah menjelaskan kantor ESDM ini harus diikuti dengan penyusunan skenario transisi mulai dari penyelamatan ekonomi Indonesia baik ketergantungan ekonomi tambang, pemulihan ruang hidup warga serta peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan.
“Karena perusahaan tambang batu bara dan PLTU juga diurus berkaitan juga izinnya dengan Kementerian ini kan. Dorong dong energi yang bersih terbarukan dan adil. Jangan lagi batu bara, ini harus diberesin transisinya ini harus gimana,” tuturnya.
Masalah Lumpur Lapindo
Jatam juga menyatakan meskipun gelaran pilpres telah tiga kali dilaksanakan, namun penyelesaian kasus lumpur Lapindo masih jauh dari tuntas.
Menurut Merah, semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo 12 tahun silam merupakan salah satu tragedi pengungsian sosial-ekologis terbesar di Indonesia.
Sebanyak 10.426 rumah di atas 640 hektar lahan di sepuluh desa, terendam lumpur panas. Bencana itu memaksa 22.214 warganya mengungsi.
“Ternyata politik elektoral tersebut belum menyelesaikan masalah-masalah pokok, masalah-masalah utama yang dihadapi atau krisis yang dihadapi oleh korban dari semburan lumpur panas Lapindo 2006 lampau,” kata Merah.
Merah juga mengatakan salah satu pangkal persoalan terhambatnya penuntasan kasus Lapindo adalah kuatnya pengaruh oligarki pebisnis tambang dalam proses politik di Indonesia.
“Demokrasi Indonesia yang sangat bertumpu pada politik elektoral yang bermodal besar menjadi pintu masuk bagi pemodal politik, khususnya pelaku industri berbasis lahan skala luas (pertambangan, perkebunan, kehutanan dan properti),” tuturnya.
Merah menjelaskan tragedi lumpur Lapindo ini telah menciptakan pengungsi sosial-ekologis yang ruang hidupnya dirampas sehingga tidak bisa melanjutkan kehidupannya dengan normal seperti semula.
Dia juga menilai ganti rugi bukanlah akhir dari permasalahan tersebut. Hal ini karena ada tanggung jawab lain untuk pemenuhan hak korban yang mesti diselesaikan, mengingat kerugian tak hanya soal materiel namun imateriel.
“Soal pemulihan kesehatan, tanggung jawab kesehatan, tanggung jawab psikologis karena ini menimbulkan traumatik panjang. Problem-problem sosial yang mengiringinya, masalah pengabaian terhadap hak-hak korban pascakeluar semburan, termasuk reduksi hanya ganti rugi atau jual beli lahan,” ujar Merah.
Sumber: CNN Indonesia
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang