Indonesia Masih Kecanduan Bahan Bakar Fosil
Kampanye
Indonesia Masih Kecanduan Bahan Bakar Fosil
Oleh JATAM
22 September 2015
Menjelang Paris COP, setiap negara diminta untuk menyerahkan sebuah dokumen bernama INDC (Intended Nationally Determined Contributions) yang berisi tentang komitmen dan rencana nasional untuk mengurangi emisi karbon. Pada akhir Agustus, pemerintah Indonesia telah merilis INDC Indonesia. Ada banyak kekecewaan dari organisasi masyarakat sipil karena di dalam INDC masih belum jelas terlihat komitmen serius dari pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan mengatasi krisis iklim.
Khusus sektor energi, belum ada niat pemerintah Indonesia menghentikan ketergantungan bahan bakar fosil! Sebenarnya, pemerintah Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa pembakaran batubara menghasilkan emisi karbon yang sangat besar, di samping menghasilkan polusi partikel dan limbah kimia yang mencemari lingkungan lokal. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia masih saja terus melanggengkan industri bahan bakar fosil. Ketimbang memutus ketergantungan terhadap batubara dan bahan bakar fosil lainnya, pemerintah Indonesia justru mendorong clean coal technology sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon dari PLTU.
Pemerintah Indonesia memang berencana untuk mengembangkan energi terbarukan. Namun ternyata pemerintah Indonesia gagal memahami makna energi terbarukan. Berdasarkan RUPTL 2015 – 2024, beberapa jenis energi baru terbarukan yang telah diidentifikasi oleh pemerintah Indonesia justru akan meningkatkan ancaman terhadap iklim, seperti geothermal, air dengan bendungan skala besar (mega dam), biofuel, coal bed methane, coal slurry dan nuklir. Oleh karena itu, perlu ada perubahan sistem tata kelola energi sehingga energi yang dikembangkan adalah energi yang bersih, aman, berbasis masyarakat dan berkelanjutan.
Target 23% energi terbarukan pada bauran energi pada tahun 2025 adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Target ini tidak menempatkan Indonesia pada jalur untuk dekarbonisasi karena peraturan pemerintah yang sama menetapkan porsi batubara minimal 30%. Hal ini menunjukkan relasi yang kontraproduktif antara target penurunan emisi dengan model pembangunan, yang tetap mengedepankan penggunaan energi kotor dan pembongkaran kawasan hutan.
Bagaimana mungkin Indonesia dapat menurunkan emisi karbon 29% pada 2030, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024? Belum lagi emisi karbon yang dibakar dari minyak dan gas, baik dari pembangkit listrik maupun kendaraan bermotor. Tidak jelas upaya pemerintah dalam upaya memperbaiki moda transportasi publik yang tidak rakus energi fosil. Sementara kawasan-kawasan hutan yang difungsikan untuk menyerap emisi, justru makin banyak akan dibongkar menggali batubara untuk memenuhi kebutuhan PLTU sekitar 250 juta ton/tahun. Kritik organisasi masyarakat sipil terhadap INDC Indonesia selengkapnya (klik disini).
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang