Hentikan Omong Kosong Nasionalisme Freeport!


Kampanye

Hentikan Omong Kosong Nasionalisme Freeport!


Oleh JATAM

22 Oktober 2015





[Jakarta, 22 Oktober 2015] Sungguh tragis dan makin tak ada wibawanya, pemerintahan hari ini. Setali tiga uang anggota DPR RI pun mental terjajahnya masih kental melekat. Terus merendahkan martabat bangsa hanya oleh Freeport, perusahaan tambang yang telah mengeruk keuntungan hampir setengah abad dari bumi Papua. Seakan-akan jika tidak memperpanjang Kontrak Karya PT. Freeport, maka langit akan runtuh. Kekacauan ekonomi! APBN Kolap! ini seperti menjadikan Freeport “Dewa” penyelamat satu-satunya, yang harus dijamu, dilayani, dihormati kalau perlu jadi paham nasionalisme.

Logika para inlander yang menyebut APBN akan kolap, sungguh sudah dibutakan oleh nasionalisme Freeport. Bandingkan saja, pada awal tahun 2014, PT. Freeport menyetor pajak dan royalti Rp.5,6 triliun, sementara pemerintah pada tahun sama harus membayar bunga dan pokok utang mencapai Rp.65,5 triliun. Namun bayar utang sebesar itu tidak disebut kolap. Logika sederhana, jauh lebih senang kehilangan uang sebelas kali lipat untuk membayar utang dari pada kehilangan Freeport.

Bukan alasan pula urusan Freeport akan menimbulkan kekacauan ekonomi. Berkaca kebelakang, saat kewajiban smelter diimplementasikan pada 2014, apakah terjadi kekacauan ekonomi yang hebat, walau banyak perusahaan tambang yang menjerit, bahkan berhenti beroperasi sementara untuk membangun smelter. Bahkan, PT. Newmont Nusa Tenggara pun sempat menggugat pemerintah ke pengadilan Arbitrase. Juga negara-negara anggota WTO seperti Jepang akan menggugat pemerintah Indonesia.

Sungguh masih kacamata kuda yang dipakai pengurus negara terhadap Freeport. Perilaku sama dari tahun ke tahun, hanya mementingkan pendapatan, tapi mengabaikan semua fakta secara utuh. Mestinya, para pengurus negara ini, memanfaatkan waktu menuju 2019 untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap PT. Freeport. Sepatutnya, perilaku buruk yang tak pernah tuntas diusut, dilakukan penegakan hukum, bukan sibuk mencari celah hanya untuk memperpanjang kontrak, dengan membual kesana-kemari.

Jika diperiksa dengan akal dan logika sehat, masalah PT. Freeport tidak cukup hanya karena setorannya besar, berikan kontrak dan biarkan dia lakukan seenaknya. Misalnya, pada tahun 2013, dengan alasan ingin mengembangkan tambang bawah tanahnya, PT. Freeport tidak bayar deviden ke pemerintah Indonesia, dan sekarang dibahasakan sebagai investasi PT. Freeport untuk tambang bawah tanah yang disebut Underground Block Caving, Ironis!

Lalu, bagaimana dengan Sungai Akjwa, bagaimana dengan kasus penembakan buruh PT. Freeport, bagaimana dengan tudingan uang saku Polisi, bagaimana dengan kasus tewasnya 25 pekerja bawah tanah (2013-2014), bagaimana dengan kewajiban rehabilitasi dan reklamasinya? Dan masih banyak lagi persoalan masa lalu yang harus menjadi pokok evaluasi.

“Hentikan segala omong kosong yang berlebihan mengenai Freeport, Freeport harus diperlakukan sama dengan perusahaan-perusahaan lainnya untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Jangan karena tidak mengikuti kemauan Freeport, tidak nasionalis karena tidak membela kepentingan negara. Nyatanya hanyalah kepentingan segilintir orang yang rakus dan haus kekuasaan” Tegas Hendrik Siregar, Koordinator JATAM.

Untuk itu, JATAM menuntut pemerintah Jokowi-JK, sebaiknya melakukan hal sebagai berikut;
1. Melakukan evaluasi menyeluruh atas persoalan lingkungan, HAM, kewajiban keuangan, perizinan dengan melibatkan berbagai pihak secara terbuka dan independen.
2. Menghilangkan status istimewa PT. Freeport, seperti objek vital negara, sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya yang tunduk terhadap hukum Indonesia.
3. Memaksa PT. Freeport untuk melakukan rehabilitasi dan reklamasi bekas tambangnya.

Contact Person; Ki Bagus Hadikusuma, 085781985822







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Kampanye

Hentikan Omong Kosong Nasionalisme Freeport!


Share


Oleh JATAM

22 Oktober 2015



[Jakarta, 22 Oktober 2015] Sungguh tragis dan makin tak ada wibawanya, pemerintahan hari ini. Setali tiga uang anggota DPR RI pun mental terjajahnya masih kental melekat. Terus merendahkan martabat bangsa hanya oleh Freeport, perusahaan tambang yang telah mengeruk keuntungan hampir setengah abad dari bumi Papua. Seakan-akan jika tidak memperpanjang Kontrak Karya PT. Freeport, maka langit akan runtuh. Kekacauan ekonomi! APBN Kolap! ini seperti menjadikan Freeport “Dewa” penyelamat satu-satunya, yang harus dijamu, dilayani, dihormati kalau perlu jadi paham nasionalisme.

Logika para inlander yang menyebut APBN akan kolap, sungguh sudah dibutakan oleh nasionalisme Freeport. Bandingkan saja, pada awal tahun 2014, PT. Freeport menyetor pajak dan royalti Rp.5,6 triliun, sementara pemerintah pada tahun sama harus membayar bunga dan pokok utang mencapai Rp.65,5 triliun. Namun bayar utang sebesar itu tidak disebut kolap. Logika sederhana, jauh lebih senang kehilangan uang sebelas kali lipat untuk membayar utang dari pada kehilangan Freeport.

Bukan alasan pula urusan Freeport akan menimbulkan kekacauan ekonomi. Berkaca kebelakang, saat kewajiban smelter diimplementasikan pada 2014, apakah terjadi kekacauan ekonomi yang hebat, walau banyak perusahaan tambang yang menjerit, bahkan berhenti beroperasi sementara untuk membangun smelter. Bahkan, PT. Newmont Nusa Tenggara pun sempat menggugat pemerintah ke pengadilan Arbitrase. Juga negara-negara anggota WTO seperti Jepang akan menggugat pemerintah Indonesia.

Sungguh masih kacamata kuda yang dipakai pengurus negara terhadap Freeport. Perilaku sama dari tahun ke tahun, hanya mementingkan pendapatan, tapi mengabaikan semua fakta secara utuh. Mestinya, para pengurus negara ini, memanfaatkan waktu menuju 2019 untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap PT. Freeport. Sepatutnya, perilaku buruk yang tak pernah tuntas diusut, dilakukan penegakan hukum, bukan sibuk mencari celah hanya untuk memperpanjang kontrak, dengan membual kesana-kemari.

Jika diperiksa dengan akal dan logika sehat, masalah PT. Freeport tidak cukup hanya karena setorannya besar, berikan kontrak dan biarkan dia lakukan seenaknya. Misalnya, pada tahun 2013, dengan alasan ingin mengembangkan tambang bawah tanahnya, PT. Freeport tidak bayar deviden ke pemerintah Indonesia, dan sekarang dibahasakan sebagai investasi PT. Freeport untuk tambang bawah tanah yang disebut Underground Block Caving, Ironis!

Lalu, bagaimana dengan Sungai Akjwa, bagaimana dengan kasus penembakan buruh PT. Freeport, bagaimana dengan tudingan uang saku Polisi, bagaimana dengan kasus tewasnya 25 pekerja bawah tanah (2013-2014), bagaimana dengan kewajiban rehabilitasi dan reklamasinya? Dan masih banyak lagi persoalan masa lalu yang harus menjadi pokok evaluasi.

“Hentikan segala omong kosong yang berlebihan mengenai Freeport, Freeport harus diperlakukan sama dengan perusahaan-perusahaan lainnya untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Jangan karena tidak mengikuti kemauan Freeport, tidak nasionalis karena tidak membela kepentingan negara. Nyatanya hanyalah kepentingan segilintir orang yang rakus dan haus kekuasaan” Tegas Hendrik Siregar, Koordinator JATAM.

Untuk itu, JATAM menuntut pemerintah Jokowi-JK, sebaiknya melakukan hal sebagai berikut;
1. Melakukan evaluasi menyeluruh atas persoalan lingkungan, HAM, kewajiban keuangan, perizinan dengan melibatkan berbagai pihak secara terbuka dan independen.
2. Menghilangkan status istimewa PT. Freeport, seperti objek vital negara, sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya yang tunduk terhadap hukum Indonesia.
3. Memaksa PT. Freeport untuk melakukan rehabilitasi dan reklamasi bekas tambangnya.

Contact Person; Ki Bagus Hadikusuma, 085781985822



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang