Dokumen Evaluasi dan Kontrak Tertutup, JATAM Gugat ESDM


Siaran Pers

Dokumen Evaluasi dan Kontrak Tertutup, JATAM Gugat ESDM


Oleh JATAM

28 September 2021





Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur secara resmi mengajukan gugatan keterbukaan informasi publik melawan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. Setelah menunggu 10 bulan lamanya sejak didaftarkan di Komisi Informasi Pusat, sidang pemeriksaan berkas pertama baru digelar pada Selasa 21 September 2021. Di hari ini, tepat di hari hak untuk tahu, Komisi Informasi Publik melanjutkan sidang pemeriksaan berkas lanjutan dengan agenda Pemeriksaan tertutup terhadap ESDM RI. Gugatan sengketa informasi ini didaftarkan melalui akta register sengketa nomor 025/REG PSI/XI/2020 pada Senin 9 November 2020 tahun lalu.

Objek gugatan adalah permintaan JATAM berupa salinan dokumen;

  1. Kontrak Karya 5 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Pulau Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 hingga 2025
  2. Catatan perkembangan diskusi pemerintah tentang evaluasi perpanjangan izin dan kontrak
  3. Rekaman dan atau Notulensi rapat pemerintah tentang proses evaluasi terhadap izin yang mengajukan perpanjangan izin dan kontrak
  4. Daftar nama, profesi dan jabatan, pihak-pihak serta Lembaga mana saja yang terlibat dan diundang dalam evaluasi perpanjangan dalam mengevaluasi kontrak PKP2B yang akan berakhir

Seperti yang diketahui publik, elit politik dan pemerintah telah mengesahkan revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) dalam waktu yang sangat singkat. Mereka memanfaatkan kondisi rakyat yang tercekik pandemi pada 2020 lalu. Sejumlah perusahaan raksasa pertambangan batubara di Indonesia yang akan habis masa kontraknya berbondong-bondong menunggangi situasi ini dengan mengajukan perpanjangan izin dan kontrak yang dijamin oleh kedua regulasi bermasalah ini.

Pada November 2020 lalu, PT Arutmin diberikan perpanjangan otomatis, tanpa pengawasan dan partisipasi publik. Kini PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT ADARO, PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA) dan PT Kendilo Coal Indonesia juga sedang melakukan hal serupa, yakni mengajukan perpanjangan izin dan kontrak kepada Kementerian ESDM.

Kelima perusahaan batubara ini di dalam UU Minerba dan UU Ciptaker mendapatkan sejumlah fasilitas mulai dari dijaminnya perpanjangan otomatis menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2 X 10 tahun. Regulasi ini juga memberi insentif berupa tidak ada kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti nol persen (0%) bagi perusahaan batubara yang membangun fasilitas hilirisasi batubara. Catatan JATAM Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta.

“Perpanjangan tanpa pengawasan dan partisipasi publik akan membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, apalagi batubara adalah biang kerok utama dari pemanasan iklim global. Begitu juga proyek gasifikasi batubara yang saat ini dibangun PT KPC bahkan diklaim sebagai energi baru dan terbarukan yang justru sekadar legitimasi bagi energi fosil dan berbahaya seperti batubara untuk terus langgeng di Indonesia dan makin mengundang bencana ekologis dan krisis iklim,” ujar Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional

Menurut Muhammad Jamil, hal-hal itulah yang melandasi mengapa JATAM dan JATAM Kaltim mengajukan permohonan informasi publik. “Sayangnya tidak ada itikad baik dari Kementerian ESDM untuk membuka data tersebut sehingga kami bersama JATAM Kaltim harus sampai mengajukan gugatan dalam persidangan,’ ujarnya.

Dokumen salinan kontrak atau perjanjian, dokumen catatan evaluasi, notulensi hingga informasi siapa saja yang telah diundang dan dilibatkan termasuk dalam kategori data publik dan terbuka untuk diakses.Hal itu sesuai dengan Pasal 64 dan 87D di dalam UU Minerba No 3 Tahun 2020 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah. Dua institusi ini, sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada masyarakat secara terbuka termasuk pusat data dan informasi pertambangan. Bahkan wajib menyajikan informasi pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang perizinan berusaha dan masyarakat.

Peraturan pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara pada pasal 119 ayat 1 hingga ayat 10 diatur persyaratan pemberian izin pertambangan khususnya sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. “Informasi yang disyaratkan dalam regulasi itu yang pada muaranya adalah hasil evaluasinya dapat berpengaruh pada keputusan menteri dalam memberikan persetujuan kelanjutan operasi kontrak/perjanjian atau menteri dapat menolak persetujuan kelanjutan operasi kontrak/perjanjian tersebut,” tambah Jamil.

Menurut UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 65 ayat (2), setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sejumlah yurisprudensi juga menunjukan bahwa data-data itu bisa diakses publik dan terbuka seperti Putusan No. 001/VII/KIP-PS-A/2010 antara LPAW vs. Blora Patragas Hulu terkait dengan dokumen perjanjian kerja antara PT Blora Patragas Hulu dengan PT Anugrah Bangun Sarana Jaya dalam pengelolaan 2,1% saham participating interest Blok Cepu yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Blora; Juga putusan No. 197/VI/KIP-PS-M-A/2011 antara YP2IP vs. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait dengan kontrak Freeport, PT Kaltim Prima Coal, PT Newmont Mining Corporation.

“Karena itu kami dari JATAM Kaltim merasa memiliki legal standing atau posisi dan dasar hukum karena seperti yang tercantum pada pasal 10 UU Minerba Nomor 3 tahun 2020 di jelaskan mengenai peran dan partisipasi masyarakat dalam wilayah pertambangan, disitu dinyatakan bahwa penyusunan dan penetapan wilayah pertambangan harus diselenggarakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab bahkan terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan dengan memperhatikan aspirasi daerah” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim.

“Dari data-data yang kami minta tersebut dapat diketahui apakah pemerintah sudah melibatkan partisipasi masyarakat terdampak,siapa saja yang dilibatkan dan diundang dan bagaimana prosesnya serta apakah sudah memperhatikan aspirasi daerah,” ujar Pradarma Rupang. “Kami sedang menjalankan tugas warga negara yakni berpartisipasi secara aktif dalam perbaikan tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara, apalagi yang menanggung dampak dari perpanjangan ini kelak adalah warga Kalimantan Timur,” lanjut Pradarma Rupang.

Data-data dan proses perpanjangan kontrak perizinan perusahaan pertambangan batubara yang akan berakhir mestinya dibuka pada publik sebagaimana amanat dalam Konstitusi Pasal 28C dan 28F Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP 14/2008) menyatakan:

“Setiap warga Negara memiliki hak untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik, terlebih lagi jika berkaitan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.”

Keputusan publik ini mencakup kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia, dalam hal ini pertambangan Mineral dan Batubara, karena kontrak tersebut memiliki dimensi publik, sehingga masuk dalam kategori keputusan publik yang seharusnya dibuka dan melibatkan partisipasi publik secara luas.

JATAM Nasional dan JATAM Kaltim juga memiliki sejumlah catatan jejak buruk pada kesejahteraan masyarakat setempat atau terhadap keberlangsungan lingkungan hidup di sekitar wilayah pertambangan khususnya kelima perusahaan tambang PKP2B yang akan habis masa berlakunya, mulai dari merubah bentang alam, merusak sumber air, tindak kekerasan, kriminalisasi, merampas tanah, menggusur lahan masyarakat adat, menyembunyikan Informasi publik dan penuh jejak korupsi.

Sebelumnya JATAM Kaltim melayangkan surat keberatan informasi yang kemudian ditanggapi dan dijawab oleh Menteri ESDM RI melalui surat nomor: 1478/05/SJN.I/2020 Perihal: Jawaban Atas Keberatan Permohonan Informasi Publik tertanggal 12 November 2020. Dalam surat jawaban Menteri ESDM RI tersebut pada poin ke 3 menyatakan:

“Permohonan permintaan (1) Kontrak PKP2B; (2) Dokumen rekaman dan atau catatan tertulis notulensi evaluasi pengajuan perpanjangan Kontrak PKP2B; (3) Dokumen evaluasi pengajuan perpanjangan Kontrak PKP2B; dan (4) Daftar nama, profesi dan jabatan serta Lembaga mana saja yang terlibat dalam evaluasi perpanjangan Kontrak PKP2B yang terkait dengan perusahaan PT. Kaltim Prima Coal (PT.KCP), PT. Multi Harapan Utama (PT.MHU), PT. Berau Coal (PT.BC), PT. Kideco Jaya Agung (PT.KIA), PT. Arutmin, dapat kami sampaikan bahwa dokumen-dokumen atau substansi yang terkandung dalam dokumen dimaksud termasuk ke dalam informasi yang dikecualikan”.

“Karena itu permohonan Informasi terhadap Menteri ESDM RI ini akhirnya menemui jalan buntu dan dilanjutkan dalam proses pengadilan karena Menteri ESDM tidak memberikan informasi yang dimohonkan dengan menyatakan bahwa informasi yang kami minta dikecualikan ujar Pradarma Rupang dari JATAM Kaltim. (*)

Berikut sejumlah daftar perusahaan tambang batubara raksasa yang sudah dan akan habis masa berlaku dan sedang dalam upaya perpanjangan izin/kontrak;

  1. PT Kendilo Coal Indonesia
    Luas lahan: 1.869 ha
    Berakhir perjanjian: 13 September 2021 (16 Tahun)
  2. PT Kaltim Prima Coal
    Luas lahan: 84.938 ha
    Berakhir perjanjian: 31 Desember 2021 (38 Tahun)
  3. PT Multi Harapan Utama
    Luas lahan: 39.972 ha
    Berakhir perjanjian: 1 April 2022 (36 Tahun)
  4. PT Adaro Indonesia
    Luas lahan: 31.379 ha
    Berakhir perjanjian: 1 Oktober 2022 (39 Tahun)
  5. PT Kideco Jaya Agung
    Luas lahan: 47.500 ha
    Berakhir perjanjian: 13 Maret 2023 (41 Tahun)
  6. PT Berau Coal
    Luas lahan: 108.009 ha
    Berakhir perjanjian: 26 April 2025 (42 Tahun).

Narahubung;

Pradarma Rupang (Dinamisator JATAM Kaltim) ; 085250509899
Muh Jamil SH (Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional) ; 082156470477







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Dokumen Evaluasi dan Kontrak Tertutup, JATAM Gugat ESDM


Share


Oleh JATAM

28 September 2021



Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur secara resmi mengajukan gugatan keterbukaan informasi publik melawan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. Setelah menunggu 10 bulan lamanya sejak didaftarkan di Komisi Informasi Pusat, sidang pemeriksaan berkas pertama baru digelar pada Selasa 21 September 2021. Di hari ini, tepat di hari hak untuk tahu, Komisi Informasi Publik melanjutkan sidang pemeriksaan berkas lanjutan dengan agenda Pemeriksaan tertutup terhadap ESDM RI. Gugatan sengketa informasi ini didaftarkan melalui akta register sengketa nomor 025/REG PSI/XI/2020 pada Senin 9 November 2020 tahun lalu.

Objek gugatan adalah permintaan JATAM berupa salinan dokumen;

  1. Kontrak Karya 5 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Pulau Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 hingga 2025
  2. Catatan perkembangan diskusi pemerintah tentang evaluasi perpanjangan izin dan kontrak
  3. Rekaman dan atau Notulensi rapat pemerintah tentang proses evaluasi terhadap izin yang mengajukan perpanjangan izin dan kontrak
  4. Daftar nama, profesi dan jabatan, pihak-pihak serta Lembaga mana saja yang terlibat dan diundang dalam evaluasi perpanjangan dalam mengevaluasi kontrak PKP2B yang akan berakhir

Seperti yang diketahui publik, elit politik dan pemerintah telah mengesahkan revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) dalam waktu yang sangat singkat. Mereka memanfaatkan kondisi rakyat yang tercekik pandemi pada 2020 lalu. Sejumlah perusahaan raksasa pertambangan batubara di Indonesia yang akan habis masa kontraknya berbondong-bondong menunggangi situasi ini dengan mengajukan perpanjangan izin dan kontrak yang dijamin oleh kedua regulasi bermasalah ini.

Pada November 2020 lalu, PT Arutmin diberikan perpanjangan otomatis, tanpa pengawasan dan partisipasi publik. Kini PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT ADARO, PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA) dan PT Kendilo Coal Indonesia juga sedang melakukan hal serupa, yakni mengajukan perpanjangan izin dan kontrak kepada Kementerian ESDM.

Kelima perusahaan batubara ini di dalam UU Minerba dan UU Ciptaker mendapatkan sejumlah fasilitas mulai dari dijaminnya perpanjangan otomatis menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2 X 10 tahun. Regulasi ini juga memberi insentif berupa tidak ada kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti nol persen (0%) bagi perusahaan batubara yang membangun fasilitas hilirisasi batubara. Catatan JATAM Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta.

“Perpanjangan tanpa pengawasan dan partisipasi publik akan membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, apalagi batubara adalah biang kerok utama dari pemanasan iklim global. Begitu juga proyek gasifikasi batubara yang saat ini dibangun PT KPC bahkan diklaim sebagai energi baru dan terbarukan yang justru sekadar legitimasi bagi energi fosil dan berbahaya seperti batubara untuk terus langgeng di Indonesia dan makin mengundang bencana ekologis dan krisis iklim,” ujar Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional

Menurut Muhammad Jamil, hal-hal itulah yang melandasi mengapa JATAM dan JATAM Kaltim mengajukan permohonan informasi publik. “Sayangnya tidak ada itikad baik dari Kementerian ESDM untuk membuka data tersebut sehingga kami bersama JATAM Kaltim harus sampai mengajukan gugatan dalam persidangan,’ ujarnya.

Dokumen salinan kontrak atau perjanjian, dokumen catatan evaluasi, notulensi hingga informasi siapa saja yang telah diundang dan dilibatkan termasuk dalam kategori data publik dan terbuka untuk diakses.Hal itu sesuai dengan Pasal 64 dan 87D di dalam UU Minerba No 3 Tahun 2020 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah. Dua institusi ini, sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada masyarakat secara terbuka termasuk pusat data dan informasi pertambangan. Bahkan wajib menyajikan informasi pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang perizinan berusaha dan masyarakat.

Peraturan pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara pada pasal 119 ayat 1 hingga ayat 10 diatur persyaratan pemberian izin pertambangan khususnya sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. “Informasi yang disyaratkan dalam regulasi itu yang pada muaranya adalah hasil evaluasinya dapat berpengaruh pada keputusan menteri dalam memberikan persetujuan kelanjutan operasi kontrak/perjanjian atau menteri dapat menolak persetujuan kelanjutan operasi kontrak/perjanjian tersebut,” tambah Jamil.

Menurut UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 65 ayat (2), setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sejumlah yurisprudensi juga menunjukan bahwa data-data itu bisa diakses publik dan terbuka seperti Putusan No. 001/VII/KIP-PS-A/2010 antara LPAW vs. Blora Patragas Hulu terkait dengan dokumen perjanjian kerja antara PT Blora Patragas Hulu dengan PT Anugrah Bangun Sarana Jaya dalam pengelolaan 2,1% saham participating interest Blok Cepu yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Blora; Juga putusan No. 197/VI/KIP-PS-M-A/2011 antara YP2IP vs. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait dengan kontrak Freeport, PT Kaltim Prima Coal, PT Newmont Mining Corporation.

“Karena itu kami dari JATAM Kaltim merasa memiliki legal standing atau posisi dan dasar hukum karena seperti yang tercantum pada pasal 10 UU Minerba Nomor 3 tahun 2020 di jelaskan mengenai peran dan partisipasi masyarakat dalam wilayah pertambangan, disitu dinyatakan bahwa penyusunan dan penetapan wilayah pertambangan harus diselenggarakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab bahkan terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan dengan memperhatikan aspirasi daerah” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim.

“Dari data-data yang kami minta tersebut dapat diketahui apakah pemerintah sudah melibatkan partisipasi masyarakat terdampak,siapa saja yang dilibatkan dan diundang dan bagaimana prosesnya serta apakah sudah memperhatikan aspirasi daerah,” ujar Pradarma Rupang. “Kami sedang menjalankan tugas warga negara yakni berpartisipasi secara aktif dalam perbaikan tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara, apalagi yang menanggung dampak dari perpanjangan ini kelak adalah warga Kalimantan Timur,” lanjut Pradarma Rupang.

Data-data dan proses perpanjangan kontrak perizinan perusahaan pertambangan batubara yang akan berakhir mestinya dibuka pada publik sebagaimana amanat dalam Konstitusi Pasal 28C dan 28F Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP 14/2008) menyatakan:

“Setiap warga Negara memiliki hak untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik, terlebih lagi jika berkaitan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.”

Keputusan publik ini mencakup kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia, dalam hal ini pertambangan Mineral dan Batubara, karena kontrak tersebut memiliki dimensi publik, sehingga masuk dalam kategori keputusan publik yang seharusnya dibuka dan melibatkan partisipasi publik secara luas.

JATAM Nasional dan JATAM Kaltim juga memiliki sejumlah catatan jejak buruk pada kesejahteraan masyarakat setempat atau terhadap keberlangsungan lingkungan hidup di sekitar wilayah pertambangan khususnya kelima perusahaan tambang PKP2B yang akan habis masa berlakunya, mulai dari merubah bentang alam, merusak sumber air, tindak kekerasan, kriminalisasi, merampas tanah, menggusur lahan masyarakat adat, menyembunyikan Informasi publik dan penuh jejak korupsi.

Sebelumnya JATAM Kaltim melayangkan surat keberatan informasi yang kemudian ditanggapi dan dijawab oleh Menteri ESDM RI melalui surat nomor: 1478/05/SJN.I/2020 Perihal: Jawaban Atas Keberatan Permohonan Informasi Publik tertanggal 12 November 2020. Dalam surat jawaban Menteri ESDM RI tersebut pada poin ke 3 menyatakan:

“Permohonan permintaan (1) Kontrak PKP2B; (2) Dokumen rekaman dan atau catatan tertulis notulensi evaluasi pengajuan perpanjangan Kontrak PKP2B; (3) Dokumen evaluasi pengajuan perpanjangan Kontrak PKP2B; dan (4) Daftar nama, profesi dan jabatan serta Lembaga mana saja yang terlibat dalam evaluasi perpanjangan Kontrak PKP2B yang terkait dengan perusahaan PT. Kaltim Prima Coal (PT.KCP), PT. Multi Harapan Utama (PT.MHU), PT. Berau Coal (PT.BC), PT. Kideco Jaya Agung (PT.KIA), PT. Arutmin, dapat kami sampaikan bahwa dokumen-dokumen atau substansi yang terkandung dalam dokumen dimaksud termasuk ke dalam informasi yang dikecualikan”.

“Karena itu permohonan Informasi terhadap Menteri ESDM RI ini akhirnya menemui jalan buntu dan dilanjutkan dalam proses pengadilan karena Menteri ESDM tidak memberikan informasi yang dimohonkan dengan menyatakan bahwa informasi yang kami minta dikecualikan ujar Pradarma Rupang dari JATAM Kaltim. (*)

Berikut sejumlah daftar perusahaan tambang batubara raksasa yang sudah dan akan habis masa berlaku dan sedang dalam upaya perpanjangan izin/kontrak;

  1. PT Kendilo Coal Indonesia
    Luas lahan: 1.869 ha
    Berakhir perjanjian: 13 September 2021 (16 Tahun)
  2. PT Kaltim Prima Coal
    Luas lahan: 84.938 ha
    Berakhir perjanjian: 31 Desember 2021 (38 Tahun)
  3. PT Multi Harapan Utama
    Luas lahan: 39.972 ha
    Berakhir perjanjian: 1 April 2022 (36 Tahun)
  4. PT Adaro Indonesia
    Luas lahan: 31.379 ha
    Berakhir perjanjian: 1 Oktober 2022 (39 Tahun)
  5. PT Kideco Jaya Agung
    Luas lahan: 47.500 ha
    Berakhir perjanjian: 13 Maret 2023 (41 Tahun)
  6. PT Berau Coal
    Luas lahan: 108.009 ha
    Berakhir perjanjian: 26 April 2025 (42 Tahun).

Narahubung;

Pradarma Rupang (Dinamisator JATAM Kaltim) ; 085250509899
Muh Jamil SH (Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional) ; 082156470477



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang