Di Buyat, Mimpi Mereka Buyar (Bagian 3 dari 3 tulisan)
Kampanye
Di Buyat, Mimpi Mereka Buyar (Bagian 3 dari 3 tulisan)
Oleh JATAM
18 Juni 2015
Pukul 12.20 kami tiba di Desa Trans Pato’a atau yang lebih dikenal dengan kampung Trans Buyat. Rombongan kami dari Manado dijemput di depan pintu masuk tenda tempat acara refleksi relokasi Buyat. Beberapa lelaki dan perempuan separuh baya memberikan senyum bahagia. Beberapa diantara saling berpelukan dengan kami. Suasana riang dan haru bercampur siang itu. Tidak berselang lama, Anwar Stirman, salah satu pejuang Buyat yang kini jadi Sangadi (kepala desa) tiba dan menyalami kami satu per satu.
Kami kemudian diajak menuju rumah Anwar dan dijamu makan siang. Percakapan pun berlangsung hangat dalam suasana kekeluargaan yang akrab. Mulai dari kisah saat masih tinggal di Buyat hingga perkembangan di desa yang kini mereka tempati. Percakapan yang berlangsung dua jam tersebut pun diakhiri sementara karena acara refleksi sudah akan dimulai. Rombongan pun bergegas menuju lokasi acara refleksi. Saat refleksi dimulai, hujan mulai turun deras. Namun acara tetap berlangsung. “Hujan ini mengingatkan kita bahwa pada hari kepindahan kita sepuluh tahun silam pun hujan turun dengan deras,” ujar Anwar mengajak para hadirin untuk mengingat kejadian 10 tahun silam. Acara terus berjalan hingga berakhir menjelang maghrib. Selain mengucap syukur akan kondisi warga eks Buyat saat ini, acara ini juga mengingatkan kembali ke berbagai pihak bahwa kasus Buyat belum selesai.
Masalah Buyat Belum Selesai
Anwar Stirman mengungkapkan bahwa sejak pindah, ia sudah beberapa kali berkunjung ke kampungnya di Buyat. Kondisinya tidak jauh berbeda. Kampung tersebut sebenarnya masih tidak layak huni. “Saya ke sana dan melihat masih banyak orang dilanda penyakit yang aneh-aneh sebagaimana kami alami dulu. Angka kematian pun masih sangat tinggi di sana karena penyakit,” tuturnya.
Namun Anwar tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengajak tetangga dan saudaranya yang masih memilih bertahan di sana. Anwar sudah mencoba namun entah mengapa mereka tidak mau. Anwar juga mengaku kecewa ada warga yang sudah bersama mereka saat pindah pertama kali di Duminanga, malah memutuskan untuk kembali ke Buyat. “Misalnya ada satu keluarga yang kembali ke sana, begitu anak mereka lahir justru mengalami kecacatan,” ungkap Anwar. Anwar merasakan masa depan suram saat dahulu waktu hidup di Buyat yang penuh pencemaran. Hidup di Buyat menurutnya hanya sekadar hidup sambil menunggu giliran kematian. Menurutnya air tercemar, tanah tercemar, udaranya tercemar membuat Buyat tidak lagi nyaman untuk ditinggali apalagi untuk membangun masa depan.
Hal yang sama diutarakan Surtini. Baginya kepindahan ke Duminanga tidak pernah disesali justru menjadi awal dari hidup yang lebih baik. Baginya, walaupun hidup sederhana di Trans Pato’a itu lebih baik karena semuanya masih bersih dan lingkungan yang bersahabat. Dia bercerita kalau dulu masih tinggal di Buyat mungkin anak-anaknya tidak bisa menyelesaikan studinya hingga SMA. Di Buyat, anak-anak lebih rentan sakit karena pencemaran yang terjadi. “Di sini anak saya dua orang sudah lulus SMA, yang satunya lagi kini kelas dua SMA. Kalau masih tinggal di Buyat ini mungkin tidak akan terjadi,” jelas Surtini.
Surtini menambahkan setiap kali lebaran dia selalu menyempatkan waktu berkunjung ke Buyat. Sama seperti yang dialami Anwar, Surtini menjelaskan bahwa di Buyat banyak teman dan saudaranya yang sakit-sakitan tapi tetap bertahan tinggal di sana. Menurutnya angka kematian di sana masih tinggi. Dia berharap agar ada penangan yang serius terhadap warga yang masih tinggal di Buyat oleh pemerintah.
Semenjak pindah 10 tahun silam, angka harapan hidup masyarakat eks Buyat di Trans Pato’a lebih baik. “Sampai sekarang angka kematian warga eks Buyat sejak kami di sini baru 5 orang. Terdiri dari 2 lansia, anak dan orang dewasa. Beda dengan di Buyat ada saja orang meninggal dunia karena penyakit,” jelas Anwar. Bagi Anwar, Buyat masih berlumuran masalah terutama yang terkait dengan keselamatan warganya. Masalah Buyat harus segera diselesaikan, itu kalau kita sepenuhnya setuju bahwa keselamtan rakyat sekecil apapun harus diperjuangkan dan jadi prioritas dalam membangun negeri ini. Semoga kelak, di Buyat tidak ada lagi mimpi yang buyar karena BUYAT SUDAH TERCEMAR.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang