Daya Rusak Industri Pengolahan Nikel di Bantaeng
Ilusi Transisi
Daya Rusak Industri Pengolahan Nikel di Bantaeng
Oleh JATAM
29 Mei 2023
Kawasan industri menjadi salah satu agenda strategis pemerintah Indonesia beberapa tahun terakhir. Sederet kawasan industri gencar dibangun di berbagai wilayah dengan bermacam label, di antaranya Kawasan Industri Teluk Bintuni di Papua Barat, Kawasan Industri Weda (IWIP) di Maluku Utara, Kawasan Industri Morowali (IMIP) di Sulawesi Tengah, Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) di Sulawesi Selatan, Kawasan Industri Hijau (KIHI) di Kalimantan Utara, hingga Kawasan Industri Terpadu Batang di Jawa Tengah.
Pembangunan kawasan-kawasan industri ini tidak jauh-jauh dari industri pengolahan berbasis mineral khususnya nikel yang berpangkal pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terkait larangan ekspor bahan mentah ke luar Indonesia. Lebih lanjut, respon atas aturan ini didorong melalui Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. Ujung tombaknya adalah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Percepatan Peningkatan Nilai Tambah melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Pada tahun 2014, Presiden Jokowi mengarahkan Menteri Perindustrian untuk membangun 13 Kawasan Industri di luar Pulau Jawa, salah satunya di Bantaeng1. Setahun kemudian, terbit Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Kawasan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, di mana kawasan-kawasan industri pemurnian nikel termasuk Kabupaten Bantaeng ditetapkan sebagai Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI).
Selanjutnya Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang menetapkan Pembangunan Kawasan Industri di banyak wilayah Indonesia sebagai PSN. Melalui Perpres ini proyek yang masuk dalam daftar PSN kemudian diberikan kemudahan oleh pemerintah dalam pengurusan perizinan. Perpres ini diubah dengan Perpres 58 tahun 2017, di mana salah satu ketentuan yang paling krusial pada perubahan pertama ini yakni proyek PSN tetap dapat dijalankan meskipun melanggar tata ruang, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Seiring dengan pamor nikel yang meroket karena tren kendaraan listrik makin menguat, ambisi Pemerintah Indonesia kian meroket pula. Malangnya, eskalasi konflik yang berujung kekerasan dan memburuknya kondisi di wilayah-wilayah sasaran permodalan itu tak pernah diperhitungkan oleh Pemerintah, khususnya terkait lingkungan dan manusianya. Terlebih lagi setelah Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Ini makin memacu aktivitas ekstraksi nikel sebagai bahan baku baterai listrik kian menggila di sasaran-sasaran keruk, bahkan hingga ke wilayah industri pemurniannya. Berdasarkan data dari situs geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diolah per Februari 2023, saat ini terdapat 30 smelter khusus nikel2. Dari jumlah tersebut, terdapat 14 smelter nikel yang telah selesai dibangun dan beroperasi serta 16 smelter lainnya yang masih dalam tahap pembangunan. Seluruhnya tersebar di Provinsi Banten, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Sulawesi Tenggara dengan total kapasitas input sebesar 76.300.041 ton per tahun.
Salah satu industri pemurnian ini ada di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), sebuah proyek berlumur darah dan sarat pelanggaran di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. KIBA merupakan salah satu proyek ambisius negara dalam upaya mendorong industrialisasi nasional, khususnya industri feronikel. Tak tanggung-tanggung, proyeknya direncanakan seluas 3.252 ha, terbagi atas lahan daratan di enam desa dengan luas 3.151 ha, dan 101 ha wilayah perairan yang akan direklamasi. Ditilik dari daya rusaknya, pembangunan perdana di KIBA oleh PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia (Huadi Group) telah menghancurkan ruang hidup di darat, laut hingga meracuni udara di Pa’jukukang, bahkan merusak tatanan sosial-ekonomi masyarakat.
Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan daya rusak yang ditimbulkan oleh industri pemurnian yang beroperasi di kawasan penuh pemukiman, beserta rentetan dugaan pelanggaran aturan yang menunjukkan bahwa proyek ini terlalu dipaksakan. Mengingat terbatasnya pengetahuan mengenai daya rusak kawasan industri sementara pembangunannya di berbagai tempat terus didorong, catatan ini kiranya dapat menjadi gambaran bagi para pembacanya. Tentu daya rusak kawasan industri akan berbeda berdasarkan jenis kawasan yang dikembangkan di setiap lokasi di Indonesia. Namun berangkat dari berbagai penuturan warga dalam catatan ini, berbagai pelajaran dan bacaan akan dapat dipelajari oleh warga yang berhadapan dengan masalah serupa.
Laporan ini disusun berdasarkan analisi data primer dan sekunder yang diperoleh melalui investigasi berupa catatan tuturan warga dan pengamatan lapangan, wawancara dengan berbagai pihak, analisis berbagai dokumen resmi dan informasi pendukung lainnya, akses dokumen resmi Ditjen AHU, rilis serta pemberitaan media, overlay peta, dan data pemerintah.
Pada akhirnya, bacaan ini diharapkan mampu memberikan cara pandang baru dalam melihat politik kawasan yang sedang merampas ruang-ruang hidup warga. Demikian pula halnya dalam melihat bagaimana daya rusak berskala lebih besar di seluruh kepulauan Indonesia terhubung pada sebuah agenda bisnis besar yang difasilitasi oleh negara. Di situasi ini, rakyat kian terhimpit dan mesti angkat bicara sebagai pemilik kedaulatan yang seharusnya berdaya di tanah sendiri. Protes dan peringatan kepada penyelenggara negara yang abai atas hak rakyat harus lebih keras dari pada ambisi dan target capaian yang secara nyata merusak ekosistem, sistem sosial, hingga mengancam nyawa manusia. Rakyat berhak menolak proyek-proyek yang menumbalkan kehidupan!
Selamat membaca.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang