Catatan Harian “Tersesat di COP26 Glasgow”


Blog

Catatan Harian “Tersesat di COP26 Glasgow”


Oleh Siti Maimunah

05 November 2021





Pengantar

Catatan ini dibuat Siti Maimunah yang mewakili JATAM dan TKPT mengikuti COP 26 di Glasgow. Mai, adalah mahasiswa S3 Universitas Passau Jerman dan juga fellow WEGO-ITN, Marie Sklodowska Curie yang saat ini menjabat Badan Pengurus JATAM dan pendiri TKPT. Ia memaparkan kesaksiannya secara berkala selama mengikuti COP26 dengan kaca mata yang berbeda.


 

Hari Pertama – 1 November 2021

Febi dan Para Penyangkal Iklim

Hari ini, setelah mengalami banyak drama agar bisa mengikuti KTT Perubahan Ikkim –  COP26,  jam 3.30 sore saya sampai di Edinburgh, ibu kota Scotlandia. Udara terasa dingin, sekitar 6 derajad. Sebenarnya rangkaian pertemuan COP 26 berlangsung di kota Glasgow, namun London Mining Network (LMN) – organisasi yang mengundang saya mewakili JATAM memilih Edinburgh sebagai tempat tinggal sementara. Sulit (atau mahal) mendapat penginapan di Glasgow yang tiba-tiba didatangi ribuan orang dari penujuru dunia, jadilah saya mendarat di Edinburgh, kota yang dikenal sebagai hunian elite di masa lalu.  Saya menghabiskan sekitar 3 jam pulang pergi Edinburg-Glasgow.

Meskipun pernah mengikuti KTT yang sama di Copenhagen Denmark pada 2009, mengikuti COP 26 membutuhkan persiapan mental dan materi yang tidak kecil, apalagi kegiatan ini berlangsung di masa pandemik. Hingga Oktober 2021 setidaknya 137 ribu orang meninggal karena COVID-19 di Inggris, nomer dua tertinggi di Eropa. Mungkin ini yang membuat pertemuan kali ini membuat berasa hidup dalam zaman yang disebut Zuboff sebagai the Age of Survailence, zaman pengawasan melalui teknologi digital. Syarat menjadi peserta terakreditasi COP26 cukup panjang dan ketat. Saya harus punya undangan dari panitia sebagai pengamat terakreditasi COP26, harus sudah vaksin penuh yang  diakui merknya oleh Inggris dan Uni Eropa, punya visa Inggris, harus beli rapid test (jika tidak terakreditasi), memasukkan data diri pada data kesehatan Inggris (NHS) dan  harus melakukan tes bebas covid tiap hari jika ingin masuk ruang negosiasi (blue zone).

Tak lama setelah mendarat, saya melihat dari kejauhan pesawat Air Force One di parkir di bandara yang sama. Penanda bahwa Joe Biden, Presiden AS menghadiri KTT perubahan Iklim yang diselenggarakan di Glasgow sejak 31 Oktober. Meskipun tiga negara pencemar utama atmosfir bumi yang semuanya juga anggota G-20 – China, brazil dan Rusia  tidak hadir di Glasgow, namun sangat jelas  “ekonomi” masih jadi panglima utama segala resep menangani dampak perubahan iklim di pertemuan ini. Setidaknya bisa dilihat dari kedatangan Joe Biden dan presiden Joko Widodo yang menghadiri KTT Perubahan Iklim setelah mengakhiri pertemuan G-20 di Roma, Italia. G20 adalah kumpulan negara dengan ekonomi yang dianggap paling mapan di dunia. Meski kenyataanya hubungan diantara mereka seperti hubungan negara pinggiran  (peri-peri) yang tunggang langgang  mengejar status menjadi negara pusat (core) dengan cara melayani kebutuhan bahan mentah negara pusat (Wallerstein, 1991). Setidaknya melayani kebutuhan G-7, tujuh negara anggota G-20 yang disebut IMF sebagai “advance country”, negeri terdepan sementara negeri seperti Indonesia semula “developing country“ yang kemudian “naik kelas’ menjadi “emerging country” dalam klasifikasi negara ala Lembaga Pendanaan Internasional (IMF). Hingga selesai pertemuannya, G-20 belum bersepakat kapan akan menurunkan penggunaan energi fosil di negara masing-masing, meskipun tahu sikap mereka membawa suhu bumi naik  2.7 degrees Celsius pada 2100. Bukankah negara-negara ini bisa dikelompokkan sebagai para penyangkal iklim atau Climate Denial?

Climate Denial itu tak hanya versi Trump yang koar-koar bahwa perubahan iklim itu tidak ada, mereka yang bahkan mengakui perubahan iklim terjadi, tapi mempermainkan–kalau tak mau dibilang menolak, upaya sungguh-sungguh menurunkan perubahan iklim, mereka juga para penyangkal iklim.

Saya jadi ingat pidato Presiden Jokowi yang kemudian dikritik oleh masyarakat sipil keesokan harinya setelah dia menyampaikan pidato di World Leader Summit COP26. Pidato Presiden Indonesia  yang meletakkan “perubahan iklim sebagai ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global” dan menjawabnya dengan – salah satunya lewat pembangunan ekosistem mobil listrik, pembangkit listrik  tenaga surya terbesar se-Asia Tenggara dan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ala “ekonomi hijau” terbesar di dunia. Artinya, Indonesia membenarkan perubahan iklim namun ingkar mengakui model  “pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi” yang selama ini menjadi mesin beroperasinya sistem kapital telah memperburuk dampak perubahan iklim. Alih-alih menjawabnya dengan cara yang sama: pembesaran industri mobil listrik artinya pembesaran pembongkaran hutan dan lahan untuk Nikel di Kepulauan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, Seng di Sumatera Utara, dan batubara di Kalimantan dan Sumatera untuk bahan dan energi pembuatan baterai mobil listrik. Pembesaran ekonomi biofuel bermakna perluasan perkebunan sawit skala besar di pelosok tanah air, khususnya di Papua. Termasuk KEK hijau  dengan pembangunan bendungan skala besar di sepanjang sungai Kayan untuk pembangkit listrik pabrik smelter di Kalimantan. Bukankah pidato ini bentuk penyangkalan, atau climate denial?

Kontradiksi para penyangkal iklim ini membawa saya kepada kabar beruntun yang dikirim WhatsApp sore tadi  oleh kawan-kawan JATAM Kaltim saat baru sampai Edinburgh. Isinya berita lelayu. Febi Abdi, 25 tahun warga desa Makroman, Samarinda, Kalimantan Timur, tubuhnya baru ditemukan mati di dasar lubang tambang yang ditelantarkan milik PT Arjuna. Febi adalah orang ke 40 setidaknya yang mati di lubang tambang dalam satu dekade terakhir, sebagian besar dari jumlah tersebut adalah anak anak.  Kalimantan Timur telah dikenal sejak masa kolonial merupakan wilayah eksploitasi lahan, hutan dan bahan tambang dan minyaknya, sementara sungai-sungainya berubah menjadi infrastruktur transpotasi bahan mentah untuk memasok kebutuhan negara-negara pusat. Sejarah akumulasi perusakan ini berkontribusi terhadap pencemaran atmosfir bumi yang modanya diteruskan sampai sekarang: keruk, jual, tinggalkan kerusakannya.  Jika begitu, bukankah cerita kematian Febi dan 39 warga Kalimantan Timur lainnya adalah cerita kerusakan yang kesekian, atau bencana-bencana bertuan yang kesekian yang secara akumulatif  menjadi penyusun bencana iklim secara global?

Akhirnya saya sampai Edinburgh tanpa kesulitan berarti setelah 5 jam penerbangan dari Munich, Jerman, tempat saya menuntut ilmu tiga tahun terakhir. Senang, karena teman saya Andrew Hickman dari LMN datang menjemput. Saya tak khawatir tersesat. Di Trem yang membawa ke pusat kota, kami mempercakapkan hubungan Glasgow dan Kalimantan serta cerita perubahan iklim.

 

Bersambung…







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Blog

Catatan Harian “Tersesat di COP26 Glasgow”


Share


Oleh Siti Maimunah

05 November 2021



Pengantar

Catatan ini dibuat Siti Maimunah yang mewakili JATAM dan TKPT mengikuti COP 26 di Glasgow. Mai, adalah mahasiswa S3 Universitas Passau Jerman dan juga fellow WEGO-ITN, Marie Sklodowska Curie yang saat ini menjabat Badan Pengurus JATAM dan pendiri TKPT. Ia memaparkan kesaksiannya secara berkala selama mengikuti COP26 dengan kaca mata yang berbeda.


 

Hari Pertama – 1 November 2021

Febi dan Para Penyangkal Iklim

Hari ini, setelah mengalami banyak drama agar bisa mengikuti KTT Perubahan Ikkim –  COP26,  jam 3.30 sore saya sampai di Edinburgh, ibu kota Scotlandia. Udara terasa dingin, sekitar 6 derajad. Sebenarnya rangkaian pertemuan COP 26 berlangsung di kota Glasgow, namun London Mining Network (LMN) – organisasi yang mengundang saya mewakili JATAM memilih Edinburgh sebagai tempat tinggal sementara. Sulit (atau mahal) mendapat penginapan di Glasgow yang tiba-tiba didatangi ribuan orang dari penujuru dunia, jadilah saya mendarat di Edinburgh, kota yang dikenal sebagai hunian elite di masa lalu.  Saya menghabiskan sekitar 3 jam pulang pergi Edinburg-Glasgow.

Meskipun pernah mengikuti KTT yang sama di Copenhagen Denmark pada 2009, mengikuti COP 26 membutuhkan persiapan mental dan materi yang tidak kecil, apalagi kegiatan ini berlangsung di masa pandemik. Hingga Oktober 2021 setidaknya 137 ribu orang meninggal karena COVID-19 di Inggris, nomer dua tertinggi di Eropa. Mungkin ini yang membuat pertemuan kali ini membuat berasa hidup dalam zaman yang disebut Zuboff sebagai the Age of Survailence, zaman pengawasan melalui teknologi digital. Syarat menjadi peserta terakreditasi COP26 cukup panjang dan ketat. Saya harus punya undangan dari panitia sebagai pengamat terakreditasi COP26, harus sudah vaksin penuh yang  diakui merknya oleh Inggris dan Uni Eropa, punya visa Inggris, harus beli rapid test (jika tidak terakreditasi), memasukkan data diri pada data kesehatan Inggris (NHS) dan  harus melakukan tes bebas covid tiap hari jika ingin masuk ruang negosiasi (blue zone).

Tak lama setelah mendarat, saya melihat dari kejauhan pesawat Air Force One di parkir di bandara yang sama. Penanda bahwa Joe Biden, Presiden AS menghadiri KTT perubahan Iklim yang diselenggarakan di Glasgow sejak 31 Oktober. Meskipun tiga negara pencemar utama atmosfir bumi yang semuanya juga anggota G-20 – China, brazil dan Rusia  tidak hadir di Glasgow, namun sangat jelas  “ekonomi” masih jadi panglima utama segala resep menangani dampak perubahan iklim di pertemuan ini. Setidaknya bisa dilihat dari kedatangan Joe Biden dan presiden Joko Widodo yang menghadiri KTT Perubahan Iklim setelah mengakhiri pertemuan G-20 di Roma, Italia. G20 adalah kumpulan negara dengan ekonomi yang dianggap paling mapan di dunia. Meski kenyataanya hubungan diantara mereka seperti hubungan negara pinggiran  (peri-peri) yang tunggang langgang  mengejar status menjadi negara pusat (core) dengan cara melayani kebutuhan bahan mentah negara pusat (Wallerstein, 1991). Setidaknya melayani kebutuhan G-7, tujuh negara anggota G-20 yang disebut IMF sebagai “advance country”, negeri terdepan sementara negeri seperti Indonesia semula “developing country“ yang kemudian “naik kelas’ menjadi “emerging country” dalam klasifikasi negara ala Lembaga Pendanaan Internasional (IMF). Hingga selesai pertemuannya, G-20 belum bersepakat kapan akan menurunkan penggunaan energi fosil di negara masing-masing, meskipun tahu sikap mereka membawa suhu bumi naik  2.7 degrees Celsius pada 2100. Bukankah negara-negara ini bisa dikelompokkan sebagai para penyangkal iklim atau Climate Denial?

Climate Denial itu tak hanya versi Trump yang koar-koar bahwa perubahan iklim itu tidak ada, mereka yang bahkan mengakui perubahan iklim terjadi, tapi mempermainkan–kalau tak mau dibilang menolak, upaya sungguh-sungguh menurunkan perubahan iklim, mereka juga para penyangkal iklim.

Saya jadi ingat pidato Presiden Jokowi yang kemudian dikritik oleh masyarakat sipil keesokan harinya setelah dia menyampaikan pidato di World Leader Summit COP26. Pidato Presiden Indonesia  yang meletakkan “perubahan iklim sebagai ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global” dan menjawabnya dengan – salah satunya lewat pembangunan ekosistem mobil listrik, pembangkit listrik  tenaga surya terbesar se-Asia Tenggara dan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ala “ekonomi hijau” terbesar di dunia. Artinya, Indonesia membenarkan perubahan iklim namun ingkar mengakui model  “pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi” yang selama ini menjadi mesin beroperasinya sistem kapital telah memperburuk dampak perubahan iklim. Alih-alih menjawabnya dengan cara yang sama: pembesaran industri mobil listrik artinya pembesaran pembongkaran hutan dan lahan untuk Nikel di Kepulauan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, Seng di Sumatera Utara, dan batubara di Kalimantan dan Sumatera untuk bahan dan energi pembuatan baterai mobil listrik. Pembesaran ekonomi biofuel bermakna perluasan perkebunan sawit skala besar di pelosok tanah air, khususnya di Papua. Termasuk KEK hijau  dengan pembangunan bendungan skala besar di sepanjang sungai Kayan untuk pembangkit listrik pabrik smelter di Kalimantan. Bukankah pidato ini bentuk penyangkalan, atau climate denial?

Kontradiksi para penyangkal iklim ini membawa saya kepada kabar beruntun yang dikirim WhatsApp sore tadi  oleh kawan-kawan JATAM Kaltim saat baru sampai Edinburgh. Isinya berita lelayu. Febi Abdi, 25 tahun warga desa Makroman, Samarinda, Kalimantan Timur, tubuhnya baru ditemukan mati di dasar lubang tambang yang ditelantarkan milik PT Arjuna. Febi adalah orang ke 40 setidaknya yang mati di lubang tambang dalam satu dekade terakhir, sebagian besar dari jumlah tersebut adalah anak anak.  Kalimantan Timur telah dikenal sejak masa kolonial merupakan wilayah eksploitasi lahan, hutan dan bahan tambang dan minyaknya, sementara sungai-sungainya berubah menjadi infrastruktur transpotasi bahan mentah untuk memasok kebutuhan negara-negara pusat. Sejarah akumulasi perusakan ini berkontribusi terhadap pencemaran atmosfir bumi yang modanya diteruskan sampai sekarang: keruk, jual, tinggalkan kerusakannya.  Jika begitu, bukankah cerita kematian Febi dan 39 warga Kalimantan Timur lainnya adalah cerita kerusakan yang kesekian, atau bencana-bencana bertuan yang kesekian yang secara akumulatif  menjadi penyusun bencana iklim secara global?

Akhirnya saya sampai Edinburgh tanpa kesulitan berarti setelah 5 jam penerbangan dari Munich, Jerman, tempat saya menuntut ilmu tiga tahun terakhir. Senang, karena teman saya Andrew Hickman dari LMN datang menjemput. Saya tak khawatir tersesat. Di Trem yang membawa ke pusat kota, kami mempercakapkan hubungan Glasgow dan Kalimantan serta cerita perubahan iklim.

 

Bersambung…



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang