BYE BYE BUYAT HINGGA TRANS ‘BUYAT’ (Bagian 1 dari 3 tulisan)
Kampanye
BYE BYE BUYAT HINGGA TRANS ‘BUYAT’ (Bagian 1 dari 3 tulisan)
Oleh JATAM
16 Juni 2015
Jangan Dikoyak Lagi. 10 tahun silam mereka memutuskan pergi keluar dari tanah kelahirannya. Suatu keadaan diluar kendalinya, membuat mereka tidak punya pilihan, selain Hijrah. Teluk Buyat, Bolaang Mongodow, Sulawesi Utara telah tercemar akibat pertambangan emas Newmont Minahasa. Ikan mati, air teracuni, bala penyakit, pangan hancur adalah petaka yang mesti dijejali bila mereka memutuskan bertahan. Akhirnya 25 Juni 2005, mereka dengan penuh lara, meninggalkan kampung Buyat. Negara membiarkannya, tanpa ada upaya melindungi mereka.
Mereka menuju Kampung Duminanga yang juga terletak di Bolaang Mongodow. Saat itu banyak sekali rintangan untuk pindah. Mulai dari urusan transportasi hingga adanya upaya pihak perusahan dan pemerintah daerah untuk menghalang-halangi mereka. Namun mereka tidak bergeming. “Menjelang kepindahan banyak juga preman-preman berkeliaran seperti menghalang-halangi kepindahan kami. Bahkan malam terakhir sebelum keberangkatan pindah, seorang warga ditangkap polisi karena dianggap membawa parang. Padahal saat itu, kami harus pindah jadi kami membongkar rumah kami. Ya tentu juga menggunakan parang,” tutur Anwar Stirman, warga eks Buyat mengisahkan kembali kejadian sebelum dan saat pindah.
Kini setelah 10 tahun, mereka berhasil membangun desa mereka sendiri. Sanitasi yang bersih, air yang berkecukupan, pangan yang sehat, kampung yang bersahaja, anak-anak yang terdidik, kesehatan yang memadai. Mereka Bangkit dari keterpurukan. Ya, keterpurukan yang difasilitasi oleh pemerintahnya sendiri.
Mereka kini telah dinyatakan sebagai Desa Definitif dengan nama desa Trans Pato’a. Namun di Boalang Mongodaw Selatan (Kabupaten pemekaran dari Bolaang Mongodow), desa ini lebih dikenal dengan Trans Buyat. Itu karena mayoritas penduduknya dari total 89 KK yang ada berasal dari warga Eks Buyat. Anwar Stirman bahkan dipercaya warga untuk menjadi Sangadi atau kepala desa di desa tersebut.
Kehidupan ekonomi setempat banyak ditopang dari pertanian dan kelautan. Walaupun penghasilan masih pas-pasan mereka bersyukur karena itu jauh lebih baik dari pada tinggal di Teluk Buyat yang telah tercemar oleh limbah tambang emas. “Memang tidak kaya, tapi cukuplah yang penting tidak kelaparan saja masyarakatnya. Tidak tercemar juga lingkungannya. Kami akan tetap berusaha untuk lebih dari sekarang lagi. Yang pasti tidak boleh merusak lingkungan, kami sudah merasakan dampak dari kerusakan lingkungan,” ungkap Anwar yang telah setahun menjadi Sangadi ini.
Hal senada dijelaskan Bu Surtini. Perempuan setengah baya itu merasakan betul betapa tepatnya keputusan dia untuk ikut pindah. “Saya bahagia di sini, apalagi dua anak saya sudah bisa lulus SMA dan yang satunya kini kelas dua SMA. Kalau tinggal di Buyat yang tercemar dan telah rusak, tidak mungkin itu terjadi. Anak-anak saya sehat,” ujarnya dengan raut berbinar-binar.
Kampung Trans Pato’a alias Trans Buyat adalah kampung yang sederhana. Rumah-rumahnya tertata dengan rapi dengan kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan di Buyat dulunya. Anak-anak bermain dengan leluasa, baik di halaman maupun di laut. Makanannya pun sangat bersih dan layak konsumsi. Kondisi keamanan dan kenyamanan kampung sangat terjaga dengan toleransi yang baik.
Di Buyat dulu, banyak tamu enggan makan hidangan yang disiapkan. Banyak tamu membawa bekalnya sendiri bahkan air untuk cuci muka pun dibawa sendiri. Mereka takut karena air telah tercemar, pangan juga sudah terjangkiti limbah. Namun kini di Trans Pato’a, para tamu makan dengan lahap, mandi dengan riang. Kampung baru ini mereka bangun dari nol, mulai dari kebutuhan perorangannya hingga kehidupan sosial yang bergotong royong.
Mereka telah bekerja keras membangunnya hingga bisa seperti sekarang ini. Mereka berjanji akan mempertahan keselamatan kampung Trans Buyat. JANGAN DIKOYAK LAYAKNYA TELUK BUYAT!
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang