Betulkah Curah Hujan sebagai Penyebab Banjir Lumpur di Pulau Merah?


Selamatkan Pulau Kecil & Pesisir

Betulkah Curah Hujan sebagai Penyebab Banjir Lumpur di Pulau Merah?


Oleh JATAM

27 September 2016





Foto: beritajatim.com
Foto: beritajatim.com

Pakar Geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Dr Eko Teguh Paripurno mengingatkan Pemerintah Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur terkait ancaman bahaya pertambangan di kabupaten itu. “Sejauh ini persoalan tambang selalu meninggalkan masalah dan belum ada catatan yang memiliki tendensi positif kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi tambang,” tegas Eko Teguh, sebagaimana diberitakan AntaraJatim, pada 23 September 2016 lalu. Klik 

Dalam seminar yang diselenggarakan Forum Ketua Umum Pecinta Alam (FKU PA) Jember itu, Eko Teguh mengingatkan pemerintah untuk berkaca dari pengalaman wilayah-wilayah lain di Indonesia yang telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. “Untuk itu, kami mengingatkan semua pihak terutama pemerintah pusat, provinsi, dan daerah untuk belajar banyak dari daerah yang sudah melakukan pertambangan. Jangan paksakan tambang sekarang karena teknologi kita belum mampu menjangkau hal itu”, katanya.

Bagian yang menarik, setidaknya bagi saya, dari seluruh pernyataan Eko Teguh adalah soal penggunaan kasus banjir lumpur di Pulau Merah sebagai penguat pendapatnya dalam seminar itu.

Mengapa demikian?

Pada Agustus 2016 lalu, peristiwa banjir lumpur Pulau Merah tersebar dihampir semua media. Dalam pemberitaan tersebut, pihak perusahaan tambang — yang sedang melakukan eksplorasi di Kawasan Gunung Tumpang Pitu — menjadikan curah hujan yang melampaui kondisi normal sebagai penyebab banjir di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah. Pernyataan ini tentu saja sedang menggiring opini public, lalu menutup suara-suara kritis, bahwa penyebab banjir lumpur adalah akibat aktifitas pertambangan itu sendiri.

Pernyataan pihak perusahaan tambang yang membantah bencana banjir lumpur di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah sebagai penyebab, tampak tidak selaras dengan pernyataan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kabupaten Banyuwangi, Chusnul Chotimah.

“Di Gunung Tumpang Pitu ada pembukaan lahan untuk pembangunan dan pasti ada penebangan pohon, sehingga kalau terjadi hujan walaupun intensitasnya kecil pasti yang akan erosi”, kata Chusnul, sebagaimana ditulis kompas.com. Klik

Pernyataan Bupati ini, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi kita. Pembukaan lahan macam apakah yang bisa melahirkan banjir lumpur Pulau Merah? Sepengetahuan saya, pembukaan lahan yang masif dan agresif dalam rentang waktu dari tahun 2008 hingga kini hanya ada dua, yakni tambang perusahaan dan tambang non-perusahaan.

Pertanyaan berikutnya yang bisa diajukan adaah jenis aktifitas seperti apakah yang dilakukan manusia sehingga menyebabkan banjir lumpur di Pulau Merah? Setahu saya, di Tumpang Pitu dan sekitarnya, begitu banyak orang yang melakukan pembukaan lahan, sejak sebelum tahun 2008 dan sebelum April 2016 (bulan pelaksanaan peledakan perdana PT Bumi Suksesindo, perusahaan yang mengeksplorasi emas di Tumpang Pitu). Di sekitar Tumpang Pitu sebelum 2008 dan sebelum April 2016 telah ada aktivitas manusia seperti pembukaan sawah, pembuatan ladang, pembangunan pemukiman, perikanan laut, akses terhadap hutan, serta pertambangan. Pertanyaannya; dari sekian banyak aktifitas manusia itu, secara kualitatif, jenis aktifitas apakah yang paling masif dan agresif dalam membuka lahan? Tak lain dan tak bukan adalah pertambangan itu sendiri.

Kembali kepada Eko Teguh, pakar geologi, yang memilih kasus banjir lumpur di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah sebagai contoh konkret dan basis utama atas pandangannya soal resiko kerusakan lingkungan. Menariknya, contoh itu disajikan dalam forum seminar resiko pertambangan yang dihelat di Jember. Saya menangkapnya, Eko Teguh sesungguhnya tengah mengajak publik Jember agar belajar pada kasus banjir lumpur Pulau Merah.

Tentu bukanlah sesuatu yang serampangan jika seorang pakar geologi memilih kasus banjir lumpur Pulau Merah sebagai contoh resiko kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas pertambangan. Menggunakan pandangan Eko Teguh, bahwa penyebab banjir lumpur di Pulau Merah adalah bukan karena curah hujan yang melampaui normal. Dengan kata lain, pernyataan pihak perusahaan tambang yang menjadikan curah hujan melampui normal, adalah lemah dan irasional.

Selain itu, pandangan Eko Teguh ini juga diamini oleh (cerita) warga sekitar Tumpang Pitu yang saban hari, bulan, dan tahun beraktifitas dilokasi, bahwa pihak perusahaan tambang memang mengada-ada. Meski pernah terjadi hujan deras, pada Agustus 2016 lalu, namun, tidak sampai mengakibatkan banjir lumpur di Pulau Merah.

Lantas, masih tepatkah pihak perusahaan tambang yang menggunakan alasan curah hujan melampaui normal sebagai penyebab banjir lumpur di Pulau Merah?

Oleh: Rosdi Bahtiar Martadi
 Humas Banyuwangi Forum For Environmental Learning (BaFFEL).






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Selamatkan Pulau Kecil & Pesisir

Betulkah Curah Hujan sebagai Penyebab Banjir Lumpur di Pulau Merah?


Share


Oleh JATAM

27 September 2016



Foto: beritajatim.com
Foto: beritajatim.com

Pakar Geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Dr Eko Teguh Paripurno mengingatkan Pemerintah Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur terkait ancaman bahaya pertambangan di kabupaten itu. “Sejauh ini persoalan tambang selalu meninggalkan masalah dan belum ada catatan yang memiliki tendensi positif kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi tambang,” tegas Eko Teguh, sebagaimana diberitakan AntaraJatim, pada 23 September 2016 lalu. Klik 

Dalam seminar yang diselenggarakan Forum Ketua Umum Pecinta Alam (FKU PA) Jember itu, Eko Teguh mengingatkan pemerintah untuk berkaca dari pengalaman wilayah-wilayah lain di Indonesia yang telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. “Untuk itu, kami mengingatkan semua pihak terutama pemerintah pusat, provinsi, dan daerah untuk belajar banyak dari daerah yang sudah melakukan pertambangan. Jangan paksakan tambang sekarang karena teknologi kita belum mampu menjangkau hal itu”, katanya.

Bagian yang menarik, setidaknya bagi saya, dari seluruh pernyataan Eko Teguh adalah soal penggunaan kasus banjir lumpur di Pulau Merah sebagai penguat pendapatnya dalam seminar itu.

Mengapa demikian?

Pada Agustus 2016 lalu, peristiwa banjir lumpur Pulau Merah tersebar dihampir semua media. Dalam pemberitaan tersebut, pihak perusahaan tambang — yang sedang melakukan eksplorasi di Kawasan Gunung Tumpang Pitu — menjadikan curah hujan yang melampaui kondisi normal sebagai penyebab banjir di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah. Pernyataan ini tentu saja sedang menggiring opini public, lalu menutup suara-suara kritis, bahwa penyebab banjir lumpur adalah akibat aktifitas pertambangan itu sendiri.

Pernyataan pihak perusahaan tambang yang membantah bencana banjir lumpur di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah sebagai penyebab, tampak tidak selaras dengan pernyataan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kabupaten Banyuwangi, Chusnul Chotimah.

“Di Gunung Tumpang Pitu ada pembukaan lahan untuk pembangunan dan pasti ada penebangan pohon, sehingga kalau terjadi hujan walaupun intensitasnya kecil pasti yang akan erosi”, kata Chusnul, sebagaimana ditulis kompas.com. Klik

Pernyataan Bupati ini, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi kita. Pembukaan lahan macam apakah yang bisa melahirkan banjir lumpur Pulau Merah? Sepengetahuan saya, pembukaan lahan yang masif dan agresif dalam rentang waktu dari tahun 2008 hingga kini hanya ada dua, yakni tambang perusahaan dan tambang non-perusahaan.

Pertanyaan berikutnya yang bisa diajukan adaah jenis aktifitas seperti apakah yang dilakukan manusia sehingga menyebabkan banjir lumpur di Pulau Merah? Setahu saya, di Tumpang Pitu dan sekitarnya, begitu banyak orang yang melakukan pembukaan lahan, sejak sebelum tahun 2008 dan sebelum April 2016 (bulan pelaksanaan peledakan perdana PT Bumi Suksesindo, perusahaan yang mengeksplorasi emas di Tumpang Pitu). Di sekitar Tumpang Pitu sebelum 2008 dan sebelum April 2016 telah ada aktivitas manusia seperti pembukaan sawah, pembuatan ladang, pembangunan pemukiman, perikanan laut, akses terhadap hutan, serta pertambangan. Pertanyaannya; dari sekian banyak aktifitas manusia itu, secara kualitatif, jenis aktifitas apakah yang paling masif dan agresif dalam membuka lahan? Tak lain dan tak bukan adalah pertambangan itu sendiri.

Kembali kepada Eko Teguh, pakar geologi, yang memilih kasus banjir lumpur di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah sebagai contoh konkret dan basis utama atas pandangannya soal resiko kerusakan lingkungan. Menariknya, contoh itu disajikan dalam forum seminar resiko pertambangan yang dihelat di Jember. Saya menangkapnya, Eko Teguh sesungguhnya tengah mengajak publik Jember agar belajar pada kasus banjir lumpur Pulau Merah.

Tentu bukanlah sesuatu yang serampangan jika seorang pakar geologi memilih kasus banjir lumpur Pulau Merah sebagai contoh resiko kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas pertambangan. Menggunakan pandangan Eko Teguh, bahwa penyebab banjir lumpur di Pulau Merah adalah bukan karena curah hujan yang melampaui normal. Dengan kata lain, pernyataan pihak perusahaan tambang yang menjadikan curah hujan melampui normal, adalah lemah dan irasional.

Selain itu, pandangan Eko Teguh ini juga diamini oleh (cerita) warga sekitar Tumpang Pitu yang saban hari, bulan, dan tahun beraktifitas dilokasi, bahwa pihak perusahaan tambang memang mengada-ada. Meski pernah terjadi hujan deras, pada Agustus 2016 lalu, namun, tidak sampai mengakibatkan banjir lumpur di Pulau Merah.

Lantas, masih tepatkah pihak perusahaan tambang yang menggunakan alasan curah hujan melampaui normal sebagai penyebab banjir lumpur di Pulau Merah?

Oleh: Rosdi Bahtiar Martadi
 Humas Banyuwangi Forum For Environmental Learning (BaFFEL).


Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang