Bayang-bayang Ekstraksi Nikel di Balik Proyek Mobil Listrik
Berita
Bayang-bayang Ekstraksi Nikel di Balik Proyek Mobil Listrik
Oleh JATAM
20 Februari 2021
Greenpeace Indonesia menyatakan upaya pemerintah menggenjot industri mobil listrik tidak bebas dari ancaman lingkungan.
Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia Satrio Swandiko Prilianto mengatakan ada ancaman ekstraksi nikel dalam wacana percepatan program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai (KLBB).
Ia menjelaskan logam utama yang dipakai dalam baterai lithium-ion yang digunakan KLBB adalah kobalt, lithium, nikel, dan mangan yang merupakan sumber daya alam. Dalam proses ekstraksinya, Satrio mengingatkan industri tambang sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan.
“Greenpeace menyoroti masalah pelanggaran hak asasi manusia, hak buruh, dan kerusakan lingkungan serius yang terkait dengan industri baterai dan pertambangan,” kata dia melalui keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, dikutip Jumat (19/2).
Sejak dua tahun lalu, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Melalui perpres itu, Jokowi mengatakan pemerintah ingin mendorong industri otomotif, dengan membangun industri mobil listrik di Indonesia.
Menurut Jokowi, sekitar 60 persen dalam mengembangkan mobil listrik kuncinya ada di baterai. Ia menyebut bahan baku untuk membuat baterai tersebut ada di Indonesia.
Jokowi sendiri telah membidik perusahaan otomotif asal Amerika Serikat, Tesla, agar mau investasi di Indonesia.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada akhir tahun lalu mengungkapkan Jokowi secara langsung mengundang CEO Tesla Elon Musk berinvestasi. Tesla pun sudah mengirimkan proposal negosiasi tahap awal kepada pemerintah.
Mobil listrik sendiri digadang-gadang sebagai alternatif kendaraan bermotor yang jauh lebih ramah lingkungan, sehingga pamornya kian meningkat seiring dengan isu krisis iklim global.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar, sekitar 25 persen dari total cadangan nikel di dunia. Greenpeace memperhitungkan kebutuhan nikel bisa naik lebih dari 1.000 persen pada 2050.
Dengan kondisi seperti ini, pemerintah pun berambisi bisa menguasai pasar global dengan mengekstraksi sumber daya nikel. Yang jadi masalah, kata Satrio, industri ekstraktif di Indonesia punya dampak besar terhadap peningkatan pengerukan kekayaan alam dan penggundulan tanah, yang bisa memperparah krisis iklim.
Maka ia tidak setuju jika pengalihan konsumsi kendaraan berbahan bakar fosil menjadi KLBB dinilai bisa menjadi solusi pengurangan emisi karbon dari sektor transportasi. Satrio justru menyerukan agar pemerintah menghindari konsumsi kendaraan bermotor.
Dia menunjuk DKI Jakarta sebagai contoh. Berdasarkan data inventarisasi emisi untuk DKI, sektor transportasi menyumbang 42-57 persen emisi pada musim kemarau, dan 32-41 persen pada musim penghujan. Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta per 2019 mencapai 11,8 juta.
Jika situasi ini hanya dibenahi dengan mendorong KLBB, ia khawatir ujung-ujungnya hanya akan menimbulkan masalah lingkungan baru. Terlebih dengan kondisi sumber daya listrik di Indonesia yang masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang juga sarat isu lingkungan.
“Alih-alih menjadi solusi pengurangan emisi, program KLBB justru dilihat sebagai sebuah upaya pemerintah untuk menyerap over supply listrik yang mencapai 40 persen di sistem grid Jawa-Bali, dan akan bertambah lagi mengingat banyaknya PLTU batubara yang akan beroperasi dalam waktu dekat,” lanjut Satrio.
Dampak Tambang Nikel
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkap industri tambang, termasuk nikel, di Indonesia kerap kali menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, memicu konflik, kekerasan dan kriminalisasi pada praktiknya.
Kepala Kampanye Jatam Melky Nahar mengungkap berbagai konflik mencuat di lapangan ketika warga berupaya menolak keberadaan perusahaan tambang di wilayahnya.
Salah satu kasus dialami oleh 27 warga Kabupaten Konawe di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang dikriminalisasi atas tudingan menghalang-halangi aktivitas tambang, melakukan pengancaman, hingga penganiayaan.
Padahal, menurut Melky, warga hanya berupaya mempertahankan hak atas tanah milik mereka yang diambil perusahaan tambang. Ia mengatakan perusahaan beberapa kali berupaya menerobos lahan warga dengan dukungan aparat kepolisian bersenjata.
Kasus serupa juga didapati Jatam di daerah lain, seperti pada warga Bahodopi, Banggai, Morowali Utara di Sulawesi Tengah, dan Weda, Buli, Pulau Obi di Maluku Utara. Melky mengatakan konflik-konflik tersebut melibatkan aktor negara dan non negara.
Ia menyebut kasus seperti ini bisa terjadi karena pemerintah menerbitkan izin tambah secara sepihak. Sehingga tidak ada partisipasi dari warga, baik sebagai pemilik lahan, maupun warga lain yang berpotensi menerima dampak tidak langsung dari aktivitas tambang.
“Warga ditempatkan sebagai pihak yang tidak dianggap penting bagi kebijakan pemerintah. Sebab, semua yang tengah didorong pemerintah itu sedang didesain untuk bagaimana rakyat bisa sejahtera, tapi murni untuk mengakomodasi kebutuhan industri, baik industri baja dan transportasi, maupun industri tambang itu sendiri,” kata Melky.
“Tren konflik ini akan terus meningkat, apalagi Jokowi telah mengeluarkan perpres program percepatan mobil listrik itu, yang imbasnya perusahaan tambang akan semakin agresif mengeruk bahan baku berupa nikel,” lanjut dia lagi.
Selain perkara konflik, ia juga menyinggung dampak lingkungan yang disebabkan pembuangan limbah nikel ke laut Morowali dan Pulau Obi, Maluku Utara yang dilakukan oleh perusahaan tambang nikel dan bisa merusak ekosistem di perairan tersebut. Menurutnya, peningkatan industri KLBB akan menghancurkan wilayah-wilayah seperti Pulau Obi.
Sumber: CNN Indonesia
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang