Anomali Kemiskinan di Wilayah Tambang Batubara
Berita
Anomali Kemiskinan di Wilayah Tambang Batubara
Oleh JATAM
21 Agustus 2019
Pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan di sejumlah wilayah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Di Kalimantan Selatan, riset pakar statistik BPS Kabupaten Hulu Tengah Sungai menunjukkan ketimpangan terjadi pada wilayah yang tak punya sumber daya alam seperti tambang batu bara melimpah.
Meski demikian, ada anomali. Wilayah dengan tambang batu bara yang luas ternyata tak menjamin rendahnya tingkat kemiskinan dan pengangguran warga sekitar.
Selain itu, riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan.
Area bekas tambang merusak kondisi lahan, mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah juga menjadi rusak. Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam. Nelayan dan petani kehilangan produktivitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.
Dari 34 provinsi dengan izin usaha tambang, tiga provinsi dengan konsesi dan luas wilayah terbanyak adalah Sumatra Selatan (Sumsel), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Kalimantan Timur (Kaltim).
Tim Lokadata Beritagar.id menganalisis luas wilayah tambang batu bara di tiga provinsi tersebut dengan kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB, angka kemiskinan, dan pengangguran pada 2016.
Di sejumlah kabupaten/kota, sektor pertambangan dan penggalian menjadi sektor dominan penyumbang PDRB, namun tidak di wilayah lainnya.
Di Kalsel, hampir sepertiga PDRB merupakan sektor pertambangan dan penggalian. Sementara Kalimantan secara keseluruhan, hampir separuh PDRB-nya didominasi sektor ini. Sumsel hanya seperlima PDRB.
Ada tiga kabupaten/kota di Kalsel dengan luas wilayah tambang batu bara kecil–di bawah persentase wilayah batu bara level provinsi, 28 persen–tetapi PDRB pertambangan dan penggalian menjadi sektor ekonomi utama.
Wilayah tersebut adalah Kabupaten Balangan (68,84 persen), Kabupaten Tabalong (55,4 persen), dan Kabupaten Tapin (34,1 persen).
“Potensi daerah itu memang di tambang. Kondisi geografis dan tipologi di kabupaten tersebut tidak memungkinkan penduduk sekitar untuk mencari pekerjaan di luar tambang,” kata peneliti Institute For Development of Economics and Finance, Ariyo DP Irhamna, ketika dihubungi Beritagar.id pada Rabu (31/7/2019).
Di wilayah dengan persentase tambang terluas di Kalsel, Kabupaten Kota Baru, pertambangan hanya menyumbang seperempat dari total PDRB. Lokasi Kota Baru yang berbatasan dengan laut memungkinkan penduduk di wilayah tersebut bekerja di sektor lain.
Ada empat kabupaten/kota di Kaltim yang PDRB sektor pertambangan dan penggalian mendominasi sektor lainnya, yakni di Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, dan Kabupaten Berau.
Tambang batu bara terbesar di Indonesia, Kaltim Coal, berdiri di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat setidaknya 60 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan produksi 65,11 juta ton per 2018. Perusahaan tersebut di antaranya PT Adimitra Bara Nusantara, PT Multi Sarana Avindo, dan PT Kaltim Batu Manunggal.
Pola berbeda terjadi di Sumatra Selatan. Kabupaten/kota dengan persentase luasan wilayah tambang batu bara terbanyak, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian untuk PDRB juga tinggi.
Bayang-bayang kemiskinan
Tak melulu kabupaten/kota dengan wilayah batu bara yang luas, berarti tingkat kemiskinan juga rendah atau di bawah angka provinsi.
Dari tiga provinsi di atas, angka kemiskinan tertinggi tercatat di Sumsel (13,39 persen), disusul Kaltim (6 persen), kemudian Kalsel (4,5 persen).
Meski mayoritas kabupaten/kota di Sumsel mencatat angka kemiskinan lebih rendah dari angka provinsi, terjadi beberapa anomali. Musi Rawas, misalnya, sepertiga wilayah kabupaten itu adalah kawasan tambang, tetapi angka kemiskinan justru lebih tinggi dari angka rerata provinsi, yakni 14 persen.
Kemudian Muara Enim, dua pertiga wilayahnya adalah tambang, namun angka kemiskinan mencapai 13 persen. Di dua kabupaten tersebut, angka pengangguran masing-masing 3 persen.
Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, mayoritas kabupaten/kota mencatat angka kemiskinan yang lebih tinggi dari angka provinsi.
Angka kemiskinan tertinggi tercatat di Kutai Timur, Kaltim. Padahal sepertiga wilayahnya adalah area tambang batu bara. Sementara di Kalsel, angka kemiskinan tertinggi ada di Tabalong, yang 15 persen wilayahnya adalah tambang batu bara.
“Artinya, masyarakat di wilayah tersebut dia tidak punya keterampilan untuk bisa masuk ke pasar tenaga kerja pertambangan. Makanya, perusahaan di sana merekrut pekerja dari daerah lain,” kata Ariyo.
Agar masyarakat setempat bisa ikut menikmati hasil pertambangan dan mengurangi kemiskinan, penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi harus dilakukan. Untuk membantu mereka, Ariyo merekomendasikan pemerintah agar melakukan pemetaan keterampilan, baik dari sisi kebutuhan industri maupun ketersediaan pekerja di daerah.
“Perlu juga penguatan untuk sekolah vokasi di sektor pertambangan,” katanya.
Selain memberdayakan masyarakat, menurut Aryo, pemerintah dan perusahaan tambang juga harus bertanggung jawab terhadap kualitas hidup masyarakat sekitar. Mereka harus ikut memperbaiki area tambang yang sudah tereksplorasi sehingga warga tak perlu bergelut dengan polusi.
Sumber: beritagar.id
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang