Amicus Curiae, Suara untuk Keberlanjutan
Berita
Amicus Curiae, Suara untuk Keberlanjutan
Oleh JATAM
21 Desember 2017
Kematian Ibu Patmi dari Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang turut dalam unjuk rasa pasung semen menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Kendeng merupakan noktah hitam dalam kerumitan dan kelamnya masalah lingkungan di negeri ini.
Korban jiwa juga terjadi di Provinsi Kalimantan Timur yang seolah membiarkan satu demi satu anak-anak meninggal akibat jatuh di lubang tambang di beberapa kabupaten sejak 2012. Tahun ini, Novita Sari menjadi korban ke-27. Tidak ada penegakan hukum yang menyasar kepada perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab. Data dari Jaringan Advokasi Tambang menyebutkan, hanya dalam satu kasus, perusahaan diminta membayar administrasi Rp 1.000 dan kurungan dua pekan untuk petugas keamanan perusahaan.
Ketakutan dan kekhawatiran rakyat akan kehilangan wilayah kelola mereka sebagai ruang hidup merebak di berbagai wilayah. Ancaman kehilangan wilayah kelola, terlebih wilayah adat, terjadi di ujung timur Indonesia. Revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Papua Barat 2013-2033 dirasakan minim partisipasi masyarakat. Sebesar 58 persen luas hutan ada di pola ruang dengan fungsi budidaya, sementara fungsi lindung 48 persen.
Koordinator Pantau Gambut Papua, Anes Akwan, mengaku amat khawatir dengan degradasi lahan gambut Papua Barat. Menurut dia, sebagian dari konsesi untuk pengusahaan hutan alam, baik untuk pertambangan maupun perkebunan, di atas lahan gambut. Luas hutan Papua sekitar 29 juta hektar atau sekitar 35 persen luas total hutan Indonesia. Wilayah Papua, menurut dia, ”setiap jengkal ada pemiliknya”, yaitu masyarakat adat. Namun, dari sembilan surat pengakuan dan pemberian hak pengelolaan hutan adat pada Oktober lalu, tidak satu pun masyarakat adat Papua menerimanya.
Tentang penyelamatan lahan gambut yang diupayakan Badan Restorasi Gambut, hingga tahun ini target belum tercapai. Target pemulihan 600.000 hektar pada 2016 belum tuntas, dan tahun ini menargetkan 400.000 hektar. Pencapaian belum jelas. Di sisi lain justru perusahaan raksasa PT Riau Andalan Pulp and Paper mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) terkait kewajiban mengubah rencana kerja usaha (RKU) untuk konsesi yang berada di lahan gambut.
Selain kasus-kasus yang terus dibawa oleh masyarakat terdampak ke permukaan wacana publik, beberapa kasus awet tersimpan di pinggir ingatan. Dalam kategori tersebut, kasus pencemaran minyak Montara di Laut Timor, Nusa Tenggara Timur, kembali terangkat ke permukaan karena Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Binsar Luhut Pandjaitan, akhir tahun lalu, bersedia membawa kasus tersebut ke pengadilan. Namun, sampai sekarang perkara ini tak kunjung naik ke meja hijau akibat terjadi kesalahan dalam penyebutan tergugat. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni terus menginformasikan bahwa justru gugatan masyarakat melalui pengadilan Australia telah beberapa kali dikabulkan.
Keprihatinan akademisi
Tahun ini ditandai dengan keluarnya pernyataan keprihatinan yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng berunjuk rasa menolak keberadaan pabrik semen di kawasan mereka dengan menyemen kaki di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/3). para akademisi, Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan). Yang keluar terbaru adalah keprihatinan akan kasus RAPP yang menolak untuk mengubah RKU yang diwajibkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa perusahaan lain yang terkena kewajiban serupa tidak menyatakan keberatan.
April lalu, 189 akademisi dari sejumlah perguruan tinggi dari Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari menyuarakan seruan moral tentang pembangunan dan dampaknya terhadap pelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Mereka menyatakan perlunya mitigasi, pemantauan, dan evaluasi pembangunan secara komprehensif (Kompas, 6/4).
”Ini seruan moral agar (pemerintah) jangan membuat keputusan gegabah yang berpotensi berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan,” kata antropolog lingkungan dari Universitas Indonesia, Suraya Afif, waktu itu. Kasus Kendeng hanya pemicu untuk melihat persoalan dampak pembangunan terhadap lingkungan dan ekosistem secara lebih luas.
Landasannya pun jelas, yaitu Pasal 33 UU 1945 di mana ayat 3 berbunyi: ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sementara ayat 4 berbunyi: ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Menegakkan amanat konstitusi perlu keberpihakan. Kesejahteraan bukan semata berlandaskan ekonomi yang disempitkan dalam artian uang. Kesejahteraan adalah ketersediaan air untuk bertani, udara bersih untuk hidup sehat, hasil hutan non-kayu yang menghidupi, jejaring ekosistem dengan segala makhluknya yang saling menghidupi, dan seterusnya.
Uang takkan mampu membayar bencana masif yang bakal tercipta dari menghilangnya sumber air, kekeringan yang memicu kebakaran hebat, banjir bandang yang menghancurkan desa, dan seterusnya. Semua uang yang dihasilkan dari penghancuran lingkungan itu mampukah membayar semua bencana yang bakal dan pasti terjadi?
Keprihatinan para akademisi seharusnya menjadi keprihatinan kita semua termasuk pembuat kebijakan. Keprihatinan yang muncul dari kesadaran bahwa lingkungan dan ekosistem adalah bukan semata barang komoditas yang hanya ditentukan dari kondisi biofisiknya: tegakan pohon, gundukan batuan gamping, batuan mengandung emas, dan sebagainya.
Lebih luas, ekosistem adalah sebuah ruang hidup bagi segala macam makhluk yang ada di dalamnya: mulai dari mikroorganisme, mamalia besar, hingga manusia. Berbicara lingkungan dan ekosistem adalah berbicara wilayah kelola rakyat, hak atas hutan adat rakyat, yang menggenapi aspek keberlanjutan dalam konsep SDGs: aspek lingkungan dan sosial.
Sumber: Kompas
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang