Ambruknya Keselamatan Rakyat dan Infrastruktur Ekologis Sepanjang Jokowi – JK Berkuasa
Kertas Posisi
Ambruknya Keselamatan Rakyat dan Infrastruktur Ekologis Sepanjang Jokowi – JK Berkuasa
Oleh JATAM
30 Desember 2018
Catatan Akhir Tahun JATAM 2018
“Selama empat tahun Joko Widodo – Jusuf Kalla berkuasa, begitu banyak produk kebijakan dan produk hukum yang tidak menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan. Sebaliknya, ada upaya pembiaran atas proses penghancuran ruang hidup dan keselamatan rakyat yang, ujungnya berdampak pada keuntungan bagi korporasi tambang”
[Jakarta, 30 Desember 2018] – Pada 2018 ini, masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI genap empat tahun berkuasa. Politisi-politisi yang mengemban tugas rakyat di dua institusi ini, merupakan hasil Pemilu 2014 lalu.
Selama hampir empat tahun memegang jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, juga sebagai Wakil Rakyat di Senayan, berbagai kebijakan dan produk hukum dari dua lembaga negara ini, terutama dalam sektor pertambangan dan energi, menjadi salah satu fokus amatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
JATAM menemukan segudang catatan penting terkait keberadaan dua institusi ini, dalam konteks kebijakan dan produk hukum di satu sisi, dan upaya pembiaran atas risiko-risiko yang dialami masyarakat dan lingkungan akibat kebijakan dan produk hukum itu di sisi yang lain.
Dari sekian banyak kebijakan, produk hukum, dan upaya pembiaran itu, JATAM bersama Simpul dan Jaringan di seluruh Indonesia telah menemukan tren, pola, dan aktor, yang berdampak pada satu hal: merosotnya keselamatan rakyat dan ambruknya infrastruktur ekologis di sekujur kepulauan Indonesia.
Pesta Elektoral sebagai Pintu Masuk
Penerbitan izin tambang yang demikian masif di Indonesia sesungguhnya memiliki korelasi yang kuat dengan pesta elektoral itu sendiri. Hal ini terkait kewenangan pemerintah daerah, mulai dari Bupati/Walikota hingga Gubernur, sebagaimana amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kini, kewenangan tersebut telah dipangkas, dengan berlakunya UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana hanya Gubernur yang berwenang menerbitkan izin tambang.
Namun, pemberlakuan UU Minerba No 4 tahun 2009 itu telah menjadi peluang emas bagi para kepala daerah yang rakus dengan serampangan menggelontorkan izin tambang, tak terkendali. Dalam Periode 2004-2016, misalnya, tercatat ada lebih dari 16.000 izin tambang di Indonesia. Dari total izin tambang tersebut, sebanyak 10.821 IUP (82,68%) diterbitkan pada momentum pesta elektoral, yakni tahun 2009-2011. Sebanyak 3.240 di antaranya diterbitkan menjelang Pilkada.
Fenomena ini [yang kami sebut sebagai ijon politik, di mana terjadi transaksi jahat antara politisi dan partai politik dengan pelaku bisnis yang sama-sama berkepentingan dan terjadi di ruang gelap, tanpa pantauan publik], juga terjadi pada tahun politik 2017-2018. Pada periode ini, terdapat 171 SK izin tambang yang dikeluarkan oleh para kepala daerah, mulai dari Jawa Tengah (120 IUP), Jawa Barat (34 IUP), Sumetera Selatan (3 IUP), Lampung (3 IUP), NTT (3 IUP), Sulawesi Tenggara (4 IUP), dan beberapa daerah lainnya.
Praktik ijon politik yang marak dalam momentum tahun politik ini, kemudian berdampak buruk pada keselamatan rakyat dan ruang hidupnya; mulai dari perampasan lahan, pencemaran air dan udara, pengrusakan hutan, kriminalisasi dan intimidasi, bahkan tak sedikit rakyat meregang nyawa.
Fenomena yang sama berpotensi besar kembali terjadi, mengingat Indonesia akan menggelar Pemilu pada 2019. Politik Elektoral ini sebagai sebuah kesempatan yang dimanfaatkan oleh sekelompok elit politik dan para pebisnis untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dalam membuat, mengendalikan dan menjalankan kebijakan demi memperbesar dan mempertahankan keuntungan kelompoknya.
Politik elektoral, baik Pemilu maupun Pilkada, yang menghabiskan uang rakyat dalam jumlah besar itu justru menghancurkan upaya-upaya warga dalam menjaga dan menyelamatkan sumber penghidupan mulai dari kampung, lahan pangan, sumber air dan hutan.
Pangan Tergerus Tambang
Berbagai kebijakan pemerintah yang berbasis lahan skala besar seperti pertambangan, sesungguhnya telah berdampak buruk dengan semakin menyusutnya ruang produksi masyarakat. Konflik tata guna lahan tersebut memengaruhi kemampuan negara itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya yang terus bertumbuh.
Pertambangan batubara, misalnya, kini beroperasi pada lahan seluas 4 juta hektar yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia, dengan mayoritas di Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Aktivitas pertambangan batubara ini meninggalkan tanah yang tandus, daerah tangkapan air yang tercekik dan terpolusi, dan air tanah yang habis.
Penelitian JATAM pada kurun waktu 2016/2017, menunjukkan pertambangan dan eksplorasi batubara merupakan alokasi tata guna tanah berklasifikasi industri (net industrial land use) terbesar di Indonesia, mencakup hampir 17,5 juta hektar.
Konsesi batubara mencakup 19 persen dari lahan pertanian padi di Indonesia yang sudah dipetakan, serta 23 persen dari lahan yang diidentifiaksi mampu diolah untuk pertanian padi. Sebagian besar dari lahan yang diidentifiaksi mampu dimanfaatkan untuk cocok tanam padi diokupasi oleh industri perhutanan dan perkebunan kelapa sawit.
JATAM memperkiarakan bahwa sekitar 1,7 juta ton beras per tahun hilang akibat pertambangan batubara. Selain itu, 6 juta ton produksi beras per tahun di tanah garapan terancam hilang per tahun. Jika terhadi pertambangan di konsesi batubara yang berada di tanah yang diidentifikasi mampu dimanfaatkan untuk cocok tanam padi, akan ada tambahan 11 juta ton beras per tahun yang hilang.
Kondisi ini memang tidak mengherankan. Sebab, perusahan-perusahaan tambang batubara ini menghindar tunduk pada regulasi yang terbatas pada rehabilitasi dan perlindungan air. Saat ini saja, terdapat 3.033 lubang tambang batubara dibiarkan menganga di Indonesia. Tanpa rehabilitasi dan pemulihan, apalagi untuk bicara penegakan hukum.
Di Kalimantan Timur, air-air di lubang tambang ini masih dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik warga, termasuk untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian. Hasil uji laboratorium yang dilakukan JATAM terhadap 17 sampel air di tambang-tambang batubara beserta jalur air di sekelilingnya di Kalimantan Timur menunjukkan 15 sampel mengandung konsentrasi aluminium, besi, mangan, juga tingkat pH yang kemungkinan besar berdampak pada produksi tanaman dan budi daya ikan.
Adapun peraturan kualitas air di Indonesia tidak menetapkan batas maksimum konsentrasi logam berat dalam air yang diperbolehkan untuk budidaya perikanan atau pertanian; sebuah kelalaian serius. Bahkan pemerintah Indonesia tidak meregulasi jumlah maksimum konsentrasi aluminium yang dapat larut (soluble aluminum) di dalam empat kelas di atas.
Hal ini mau menunjukkan bahwa Indonesia sedang di bawah tekanan besar untuk meningkatkan produksi pangannya agar mengurangi indikator-indikator malnutrisi. Apalagi populasi Indonesia diestimasikan akan meningkat hampir 30 persen pada tahun 2050, menjadi 366 juta orang.
[Laporan lengkap, silahkan klik Hungry Coal: Pertambangan Batubara dan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan]
Luasan dan Sebaran Konflik
Hampir seluruh cerita masuknya perusahaan tambang di Indonesia selalu diwarnai dengan konflik, baik antara masyarakat dan perusahaan, masyarakat dengan pemerintah, serta antar masyarakat itu sendiri. Sebagian konflik ini tampak by design, yang bertujuan untuk memecah kekuatan perlawanan rakyat, bahkan yang lebih ekstrim, mematikan daya resistensi warga. Tujuannya cuma satu, agenda bisnis perusahaan tambang, berikut kebijakan pemerintah berjalan mulus, tanpa hambatan apapun.
JATAM mencatat, dalam rentang waktu antara 2014 hingga 2018, terdapat 56 konflik antara masyarakat penolak tambang versus pemerintah dan perusahaan tambang. Kasus-kasus tersebut terjadi pada lahan seluas 733.440 hektar atau setara dengan satu setengah kali luas Negara Brunei Darussalam yang luasnya 576.500 hektar.
Dari total konflik yang tercatat tersebut, terdapat tiga daerah dengan kasus tertinggi, yakni Provinsi Kalimantan Timur (13 kasus), Provinsi Jawa Timur (8 kasus), dan Provinsi Sulawesi Tengah (6 kasus). Konflik-konflik tersebut mayoritas terkait dengan keberadaan pertambangan emas (20 kasus), pertambangan batubara (20 kasus), dan pertambangan pasir besi (11 kasus).
Jenis-jenis konflik pun beragam, mulai dari penembakan oleh aparat negara (12 kasus), bentrokan fisik (11 kasus), dan aksi-aksi blokir jalan tambang (7 kasus).
Kriminalisasi dan Serangan terhadap Pejuang Anti Tambang
Seiring dengan mulai meningkatnya daya kritis masyarakat korban di berbagai wilayah di Indonesia, upaya kriminalisasi dan serangan terhadap warga negara yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya pun terus meningkat tajam. Beragam kekerasan struktural maupun kekerasan fisik pun dilakukan, dan hampir semuanya melibatkan tangan negara.
Sepanjang 2014 sampai 2018, tercatat ada 22 kasus kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang anti-tambang di Indonesia. Warga negara yang menjadi korban dari kriminalisasi dan serangan ini sebanyak 85 orang. Rata-rata terkait protes penolakan pertambangan batubara, pertambangan emas, dan pertambangan batu gamping untuk kepentingan pabrik semen.
Adapun sebaran wilayah kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang anti tambang ini terbanyak di Kalimantan Timur dan Jawa Tengah (4 kasus), diikuti Bangka Belitung (2 kasus), Maluku (2 kasus), Jawa Timur (1 kasus), Sumatera Utara (1 kasus), Sumatera Barat (1 kasus), Kalimantan Selatan (1 kasus), dan beberapa wilayah lainnya.
Pola-pola yang digunakan dalam kasus kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang anti-tambang di atas juga variatif. Pertama, kriminalisasi langsung kepada warga menggunakan pasal-pasal karet dalam undang-undang ITE dan tuduhan mengada-ada seperti pelecehan terhadap lambang/simbol negara serta tuduhan irasional menyebarkan paham komunisme melalui KUHP. Hal ini bisa terlihat dalam kasus Budi Pego, warga Bayuwangi, Jawa Timur yang berjuang menolak tambang emas PT Bumi Suksesindo serta Sawin, Sukma, dan Nanto dalam kasus penolakan PLTU Batubara di Indrmayu Jawa Barat.
Kedua, kriminalisasi kepada para ahli atau akademisi seperti yang terjadi pada Prof. Basuki Wasis dan Prof. Bambang Hero. Basuki Wasis memberikan keterangan dalam persidangan kasus pemberian izin usaha pertambangan yang melibatkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Basuki dihadirkan sebagai saksi ahli untuk menghitung kerugian dampak lingkungan pada lokasi pertambangan di Pulau Kabaena.
Sedangkan Bambang Hero digugat perusahaan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) yang dihukum kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bambang diminta menjadi saksi ahli oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kriminalisasi terhadap dua akademisi ini menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hukum terhadap ahli dalam persidangan, sekaligus juga berdampak pada ketakutan bagi ahli untuk memberikan keterangan dalam persidangan. Padahal, memberikan keterangan ahli di persidangan merupakan pelaksanaan kewajiban hukum yang sudah semestinya dilindungi.
Ketiga, serangan langsung secara fisik, seperti yang menimpa JATAM Kalimantan Timur. Serangan langsung secara fisik ini menyasar para aktivis dan sekretariat sebagai pusat aktivitas, yang dilakukan kelompok-kelompok preman dan ormas tertentu dan diduga atas campur tangan perusahaan tambang dan pemerintah itu sendiri. Dalam konteks ini, negara yang semestinya hadir untuk melindungi warga negara justru masa bodoh, dan hal ini terus berlangsung hingga saat ini.
Tambang Sarang Korupsi
Karut marut persoalan tambang di Indonesia juga tak terlepas dari persoalan korupsi. Pertambangan seperti lahan basah yang rawan dengan praktik korupsi, baik yang melibatkan elit politik, maupun korporasi itu sendiri.
Dalam kurun waktu 2014-2018, setidaknya terdapat 23 kasus dugaan korupsi yang estimasi nilai kerugian negaranya mencapai Rp. 210,001,550,556,000 atau sekitar 210 trilliun rupiah. Tiga kasus dugaan korupsi tambang yang memiliki nilai kerugian besar, antara lain 1) Dugaan kasus korupsi dan kerugian negara akibat tambang batubara di Kawasan Konservasi Tahura Bukit Soeharto, Provinsi Kalimantan Timur sebesar 18 trilliun rupiah; 2) Dugaan korupsi dan kerugian negara akibat operasi pertambangan emas di Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Tahura, Poboya, Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 4,8 trilliun rupiah; dan 3) Dugaan korupsi dan kerugian negara akibat penyalahgunaan kawasan hutan oleh operasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua sebesar 185 trilliun rupiah.
Selain tiga kasus dugaan korupsi yang besar di atas, kasus-kasus serupa lain juga terjadi di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta.
Aktor-aktor yang terlibat dalam dugaan korupsi pertambangan ini didominasi oleh Kepala daerah (27 orang), Perusahaan Tambang dan Migas, yang melibatkan manager hingga direktur utama (30 orang), dan Calon Kepala Daerah (4 orang).
Trend dan besarnya potensi kerugian pendapatan negara akibat praktik korupsi dalam sektor pertambangan ini tidak diikuti dengan langkah pencegahan dan penegakan hukum yang tegas dan transparan. Bahkan pemberantasan korupsi selama ini masih sebatas dimensi kerugian di ranah pengurus negara atau pemerintah, seperti transaksi perizinan, dokumen palsu pengangkutan barang, dan tunggakan pajak, belum secara serius menyentuh kerugian sebenarnya dari unsur yang lain seperti rakyat atau warga negara dan wilayah.
Padahal kerugian yang dialami unsur negara lainnnya, yaitu rakyat dan wilayah, begitu nyata, seperti yang terjadi di Makroman, Kalimantan Timur yang sawahnya gagal panen berkali-kali akibat limbah batubara CV Arjuna, atau warga Desa Mulawarman di Kalimantan Timur yang terpaksa berpindah karena tergerus tambang batubara.
Lubang Tambang Merenggut Nyawa
Merosotnya keselamatan rakyat dan ambruknya infrastruktur ekologis juga ditemukan dalam kasus lubang-lubang tambang di seluruh Indonesia. JATAM mencatat terdapat 3.033 lubang tambang bekas batubara yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi atau pemulihan. Lubang-lubang tambang ini beracun, mengandung logam berat.
Sebaran lubang-lubang tambang batubara, misalnya, terbanyak di Provinsi Kalimantan Timur (1.754 lubang), Provinsi Kalimantan Selatan (814 lubang), dan Provinsi Sumatera Selatan (163 lubang). Lubang-lubang tambang batubara ini tercatat telah merenggut nyawa puluhan orang, seperti di Kalimantan Timur (32 orang), Sumatera Selatan (1 orang), dan Riau ( 1 orang).
Selain tambang batubara, tambang dengan komoditas lain seperti emas, pasir, dan timah juga telah memakan korban dalam jumlah yang banyak. Mulai dari Provinsi Bangka Belitung (57 orang), Provinsi Jambi (20 orang), Jawa Barat (12 orang), Jawa Timur (6 orang), Aceh (4 orang), Sulawesi Selatan (2 orang), Bengkulu (2 orang), dan Jawa Tengah (1 orang),.
Jumlah korban meninggal yang mencapai 138 orang itu, belum termasuk dengan korban-korban lain yang belum berhasil diidentifikasi sepanjang 2014-2018. Ribuan lubang tambang ini bak bom waktu yang sewaktu-waktu meledak. Meski begitu, dana jaminan reklamasi pasca tambang yang menjadi kewajiban dari seluruh perusahaan tambang untuk melakukan reklamsi tidak jelas keberadaan dan manfaatnya. Patut diduga, dana jaminan reklamsi yang jumlahnya tidak sedikit ini juga telah menjadi ladang korupsi yang baru dalam sektor pertambangan.
Pemilu Tak Menjawab Krisis
Persoalan tambang yang kian pelik di Indonesia nyatanya tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Justru yang terjadi empat tahun terakhir ini, proses masuknya investasi pertambangan begitu mudah, tanpa hambatan. Kebijakan pertambangan, berikut produk hukum yang dihasilkan pun tidak dibuat untuk menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan, tetapi lebih mengakomodasi kepentingan korporasi dan pemerintah itu sendiri.
Adapun peraturan perundang-undangan dibuat, tidak diikuti langkah implementatif yang tegas. Contoh nyata bisa kita temukan dalam kasus pertambangan di dalam kawasan konservasi yang jumlahnya mencapai 369 izin tambang. Selain itu, juga di kawasan hutan lindung yang jumlah izinnya mencapai 1.710 IUP.
Tak sebatas itu, pulau-pulau kecil di Indonesia yang memiliki tingkat kerentatan yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam, tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai, memiliki daya dukung terbatas — terutama ketersediaan air tawar – juga menjadi sasaran empuk dari investasi pertambangan.
JATAM mencatat, setidaknya sudah 154 konsesi tambang mineral dan batubara yang tengah mengobrak-abrik 52 pulau kecil di Indonesia, mulai dari Pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Mabuli di Provinsi Maluku Utara, Pulau Romang, Pulau Wetar, Taliabu di Provinsi Maluku, Pulau Bangka di Sulawesi Utara, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, dan puluhan pulau kecil lainnya di Indonesia.
Niat baik yang digadang-gadang pemerintah justru menjadi mimpi buruk bagi kebrlanjutan masyarakat dan lingkungan di pulau kecil. Padahal, pulau-pulau kecil ini memiliki banyak sumberdaya yang sesungguhnya mampu menunjang pembangunan dan kebutuhan pangan, baik untuk kebutuhan domestiknya, maupun skala nasional. Keberadaan penduduknya pun mampu berperan sebagai pelaku penting dalam mengakses sumberdaya alam, semisal distributor pangan yang berada di sekitar pulau-pulau kecil, dengan berbagai pemanfaatan seperti ikan-ikan karang, aspek pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan serta komponen-komponen yang memiliki potensi finansial bagi daerah yang, semuanya tertuju pada kemandirian masyarakat pulau kecil itu sendiri.
JATAM berpandangan, bahwa selama empat tahun rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla tak ada upaya serius untuk kemudian bisa menjamin ruang hidup warga negara terselamatkan, yang terjadi adalah persoalan sistemik ini dibiarkan, bahkan tak jarang menambah persoalan baru dengan membuka kran investasi yang sama, selebar-lebarnya.
Kondisi ini tentu akan semakin parah mengingat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019, memiliki korelasi yang kuat dengan industri pertambangan.
Di lingkaran kubu Jokowi-Ma’ruf, misalnya, terdapat sejumlah nama penting yang selama ini tercatat ikut berbisnis dan berkaitan dengan pertambangan batubara di Indonesia, mulai dari Luhut Binsar Pandjaitan dengan perusahaan Toba Bara Sejahtera, yang terlibat bisnis pertambangan batubara, migas, pembangkit tenaga listrik, kehutanan dan kelapa sawit, property, dan perindustrian.
Selain Luhut Binsar Pandjaitan, terdapat nama Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam yang menempat posisi wakil bendahara di TKN Jokowi-Ma’ruf. Haji Isam sendiri memiliki bisnis batubara melalui Jhonlin Baratama Group di Kalimantan Selatan.
Sementara di lingkaran kubu Prabowo-Sandi juga begitu gamblang, di mana keduanya juga bagian dari bisnis batubara itu sendiri. Prabowo Subianto, melalui Nusantara Group, berinvestasi di sektor tambang batubara, kelapa sawit, kehutanan, kertas dan bubur kertas, dan perusahaan jasa. Sedangkan, Sandiaga Uno memiliki sejumlah bisnis tambang, mulai dari Saratoga Group yang sahamnya baru saja dijual kepada Perusahaan Milik Luhut Panjaitan, Toba Bara. Sandiaga juga tercatat sebagai pemilik saham di salah satu perusahaan terbesar Batubara, yakni Adaro Group.
[Laporan lengkap, silahkan klik Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara]
Mencermati sepak terjang dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, berikut elit politik dan pebisnis di lingkaran masing-masing kubu pasangan calon, tampaknya Pemilu 2019 tidak berdampak signifikan pada upaya menyelamatkan ruang hidup rakyat yang tersisa.
Pemilu 2019 cenderung diselimuti kepentingan para elit politik dan pebisnis, yang tentu saja berkepentingan untuk mengamankan, sekaligus memperbesar bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Sementara rakyat, tetap akan berjuang sendirian, menyelamatkan ruang hidup dari cengkeraman investasi pertambangan, yang semuanya menggunakan jubah pembangunan, tapi bukan untuk kemashlatan warga negara.
Narahubung:
Merah Johansyah – Koordinator JATAM — +62 813 4788 2228
Melky Nahar – Kepala Kampanye JATAM — +62 813 1978 9181
Aini Wilinsen – Divisi Database JATAM — + 62 812 9842 7043
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang